Orang bijak bilang: satu-satunya obat patah hati adalah jatuh hati...
#mencarihati
Friday, 30 October 2015
Monday, 5 October 2015
Till we meet again, Mah....
Hari ini, tepat 18 tahun Papah pergi meninggalkan kami semua dalam kecelakaan tak terduga dan tepat 6 hari lalu Mamah pergi dalam sakitnya. Keduanya sudah pergi kembali menghadap pencipntaNya.
Sudah satu bulan ini Mamah kembali ke Bandung setelah sejak Juni lalu tinggal di Depok, agar ada yang selalu menunggui katanya. Minggu lalu, 27 September 2105, tiba-tiba adik ipar telpon meminta kami semua berkumpul, Mamah yang minta katanya. Dengan perasaan nggak karuan kami memenuhi permintaan Mamah. Padahal siang itu adik yang nomor 3 baru saja tiba di Depok untuk mengambil obat dan perlengkapan untuk beliau. Akhirnya kami pun bersama langsung berangkat ke Bandung. Sayangnya memang tidak semua bisa berkumpul pada saat yang bersamaan. Ada yang menganggap permintaan ini terlalu berlebihan, sehingga menganggap ini nggak terlalu penting.
Saat bertemu, kondisi Mamah sudah sangat memburuk. Napasnya tersenggal karena kanker hati yang dideritanya ternyata sudah menyebar hingga ke paru-paru. Makanan sudah sangat sulit masuk, bahkan menelan air minum pun sudah sulit.
Malam itu kami (saya, seorang kakak sepupu, dan adik yang nomor 3) bergantian menunggu beliau. Sepanjang malam beliau sangat gelisah. Menjelang saya bertukar giliran dengan adik, beliau memegang lengan saya dan mengatakan maapin mamah. Tenggorokan saya rasanya tersekat. Ah, maapin Rani, Mah. Belum bisa berbuat banyak. Malam itu kami kira adalah saat terakhir beliau bersama kami. Bersama kami menuntun beliau mengucapkan syahadat, tahlil, dan istigfar.
Seharian esoknya kami bertiga bergantian menunggu beliau. Hari itu beliau akhirnya mau makan, walau hanya beberapa suap bubur susu yang sangat encer. Untuk saya, itu sudah merupakan pertanda baik. Apalagi setelah mandi pagi, beliau juga bisa duduk bersandar sebentar sambil mengobrol. Menjelang malam kami bersama-sama dengan beberapa tetangga melantunkan Yasin dan Ar Rahman, she seems to be at peace. Sebelum tidur kami masih sempat mengobrol. Malam itu beliau bisa istirahat lebih nyenyak.
Selasa siang saya berpamitan kembali ke Depok. Beliau yang kemarin untuk menggeser tubuhpun sangat berat, tiba-tiba duduk dan memandang saya lama sekali. Jujur saya merinding, belum pernah beliau memandangi saya seperti itu. I wish I know, itulah saat terakhir pertemuan kami. I wish I know itulah saat terakhir saya pamitan mencium tangan dan pipi beliau.
Rabu berjalan seperti mimpi. Rasanya koq hening sekali. Malam itu saya dan adik masih bertelepon. Masih terdengar suara beliau minta dipindahkan bantalnya. Dan ketika Kamis siang itu telepon berdering mengabarkan bahwa Mamah baru saja pergi rasanya ada yang tercabut dari dalam hati. Hilang, kosong. Sang Pencipta sudah memanggilnya kembali.
Baru kali ini merasa kehilangan. Walau banyak waktu kami habiskan berdebat, marah, berbeda pendapat, namun setiap kali saya merasa rindu, saya tinggal angkat telepon atau langsung berangkat mengunjungi beliau. Atau kalau saya malas atau sedang kesal, beliau pasti telpon saya once in a while. Mudah sekali. Sekarang? Ke mana rasa rindu ini harus kuarahkan? Sungguh berbeda rasanya, terlebih saat mengantar beliau pergi ke tempat istirahatnya yang terakhir. Jarak kami sudah terpisah dunia, jasadnya kini sudah ditimbun tanah, kembali ke penciptaNya.
Innalillahi wa innaillaihi rajiun, Mamah. In sha Allah kami ikhlas, Allah lebih sayang dan tidak ingin membuat Mamah sakit lebih lama. I know Mamah pun merasa kesal karena selama ini selalu mandiri dan kuat namun saat sakit sama sekali tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Now you are free, Mamah. In sha Allah khusnul khatimah. Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa Kami akan selalu sayang dan you'll always be in my heart. Till we meet again, Mah....
Sudah satu bulan ini Mamah kembali ke Bandung setelah sejak Juni lalu tinggal di Depok, agar ada yang selalu menunggui katanya. Minggu lalu, 27 September 2105, tiba-tiba adik ipar telpon meminta kami semua berkumpul, Mamah yang minta katanya. Dengan perasaan nggak karuan kami memenuhi permintaan Mamah. Padahal siang itu adik yang nomor 3 baru saja tiba di Depok untuk mengambil obat dan perlengkapan untuk beliau. Akhirnya kami pun bersama langsung berangkat ke Bandung. Sayangnya memang tidak semua bisa berkumpul pada saat yang bersamaan. Ada yang menganggap permintaan ini terlalu berlebihan, sehingga menganggap ini nggak terlalu penting.
Saat bertemu, kondisi Mamah sudah sangat memburuk. Napasnya tersenggal karena kanker hati yang dideritanya ternyata sudah menyebar hingga ke paru-paru. Makanan sudah sangat sulit masuk, bahkan menelan air minum pun sudah sulit.
Malam itu kami (saya, seorang kakak sepupu, dan adik yang nomor 3) bergantian menunggu beliau. Sepanjang malam beliau sangat gelisah. Menjelang saya bertukar giliran dengan adik, beliau memegang lengan saya dan mengatakan maapin mamah. Tenggorokan saya rasanya tersekat. Ah, maapin Rani, Mah. Belum bisa berbuat banyak. Malam itu kami kira adalah saat terakhir beliau bersama kami. Bersama kami menuntun beliau mengucapkan syahadat, tahlil, dan istigfar.
Seharian esoknya kami bertiga bergantian menunggu beliau. Hari itu beliau akhirnya mau makan, walau hanya beberapa suap bubur susu yang sangat encer. Untuk saya, itu sudah merupakan pertanda baik. Apalagi setelah mandi pagi, beliau juga bisa duduk bersandar sebentar sambil mengobrol. Menjelang malam kami bersama-sama dengan beberapa tetangga melantunkan Yasin dan Ar Rahman, she seems to be at peace. Sebelum tidur kami masih sempat mengobrol. Malam itu beliau bisa istirahat lebih nyenyak.
Selasa siang saya berpamitan kembali ke Depok. Beliau yang kemarin untuk menggeser tubuhpun sangat berat, tiba-tiba duduk dan memandang saya lama sekali. Jujur saya merinding, belum pernah beliau memandangi saya seperti itu. I wish I know, itulah saat terakhir pertemuan kami. I wish I know itulah saat terakhir saya pamitan mencium tangan dan pipi beliau.
Rabu berjalan seperti mimpi. Rasanya koq hening sekali. Malam itu saya dan adik masih bertelepon. Masih terdengar suara beliau minta dipindahkan bantalnya. Dan ketika Kamis siang itu telepon berdering mengabarkan bahwa Mamah baru saja pergi rasanya ada yang tercabut dari dalam hati. Hilang, kosong. Sang Pencipta sudah memanggilnya kembali.
Baru kali ini merasa kehilangan. Walau banyak waktu kami habiskan berdebat, marah, berbeda pendapat, namun setiap kali saya merasa rindu, saya tinggal angkat telepon atau langsung berangkat mengunjungi beliau. Atau kalau saya malas atau sedang kesal, beliau pasti telpon saya once in a while. Mudah sekali. Sekarang? Ke mana rasa rindu ini harus kuarahkan? Sungguh berbeda rasanya, terlebih saat mengantar beliau pergi ke tempat istirahatnya yang terakhir. Jarak kami sudah terpisah dunia, jasadnya kini sudah ditimbun tanah, kembali ke penciptaNya.
Innalillahi wa innaillaihi rajiun, Mamah. In sha Allah kami ikhlas, Allah lebih sayang dan tidak ingin membuat Mamah sakit lebih lama. I know Mamah pun merasa kesal karena selama ini selalu mandiri dan kuat namun saat sakit sama sekali tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Now you are free, Mamah. In sha Allah khusnul khatimah. Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa Kami akan selalu sayang dan you'll always be in my heart. Till we meet again, Mah....
Subscribe to:
Posts (Atom)