Friday, 22 April 2016

I am proud of beeing who I am

Seorang teman berpendapat kalau wanita sekarang banyak yang berkarya di luar sehingga anak-anak jadi terlantar. Plus tambahan komen: seharusnya sebagai wanita beragama menyadari fitrah bahwa wanita lebih baik berada di rumah di sisi anak-anaknya dan mengabdi pada suami.
Jujur ketika membaca komentar itu rasanya sedih banget. Rasanya saya menjadi ibu yang durhaka dan tidak peduli pada anak. Rasanya saya nggak layak mendapat sebutan Ibu.

Sepagian itu hati saya mulai bertanya-tanya, apakah salah kalau saya bekerja dan mencari nafkah karena memang saya satu-satunya penanggung jawab di keluarga kecil kami? Apakah itu berarti melenceng dari ajaran agama? Apakah jika karena satu dan lain hal menjadi ibu tunggal lantas hanya boleh menangisi diri, menyesali keadaan, dan menunggu keadaan berubah ? Apakah lantas anak yang dibesarkan oleh ibu yang bekerja itu pasti akan tidak sehebat anak yang dibesarkan oleh ibu yang memang memiliki pilihan untuk jadi fulltime mom? Apakah berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga itu salah, walaupun dengan usaha tersebut bisa memberikan jaminan pendidikan, kesehatan, dan (mungkin) masa depan?

Jika saya memiliki pilihan serta kemampuan untuk berkarya dari rumah dan tetap bisa memenuhi kebutuhan kami dengan baik, tentu akan saya ambil pilihan itu. Ketika akhirnya saya harus langkahkan kaki lebih jauh, berusaha membangun masa depan yang lebih baik tentu saya sangat sadar dengan risiko dan konsekuensi yang harus saya terima: kehilangan banyak momen spesial dengan putra saya terutama di awal-awal usianya. Tentunya ada banyak saat yang membuat saya harus menguatkan hati: ketika saya harus berada jauh dari rumah sementara anak saya tiba-tiba sakit, ketika saya harus menitipkan putra saya di rumah seorang kerabat sementara saya harus tugas ke luar kota. Bukan hal yang mudah bagi saya untuk melakukan itu semua. Yang membuat saya kuat adalah karena saya hanya berpikiran bahwa tujuan saya melangkahkan kaki adalah untuk memastikan putra saya mendapatkan jaminan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, bukan melakukan pekerjaan yang memalukan. Saya berusaha menebus setengah waktu yang dihabiskan di luar dengan tetap membimbingnya saat belajar, atau di waktu libur saya, dan saya berusaha untuk ada di saat-saat pentingnya.

Lelah? Tentu saja sangat lelah. Tapi saya yakin bahwa apa yang saya lakukan halal dan baik. Saya yakin Allah akan lihat itu. Bagi saya, sebuah pelukan dan ucapan I love you Ibu di setiap malam sebelum kami berdua terlelap sudah bisa menjadi pengobat lelah. Ucapan terima kasih dari mulut mungilnya saat ia mendapatkan sesuatu cukup membuat hari saya jadi lebih baik. Melihat Titan tumbuh sehat, cerdas, saleh, dan penyayang sudah menjadi bayaran yang tak terhingga untuk saya. Dan untuk semua itu saya nggak mau perdulikan lagi komentar teman saya itu. Saat ini saya bangga menjadi diri saya sendiri. Dan saya, somehow, yakin putra saya pun bangga dengan saya sebagai ibunya.

Depok, 21 April 2016

Selamat Hari Kartini

Friday, 8 April 2016

Belajar Wirausaha

Sudah beberapa hari ini Titan membujuk saya untuk membuatkan makanan yang bisa ia bawa dan jual di kelasnya. Awalnya saya ragu, pertama karena kurang paham apakah ini dibolehkan dilakukan di kelas. Kedua, Titan ini tergolong sering gak pede dalam beberapa hal. Jadi, saya bayangkan dia pasti enggan kalau harus menawarkan dagangan pada teman-temannya. Namun dia gigih sekali membujuk saya. Akhirnya saya tanya mau jualan apa. Setelah berpikir dan bolak balik berubah pikiran dia memutuskan mau jualan macaroni panggang. Dia bilang buatan ibu enak, pasti teman-teman suka. Berikutnya saya tanya, kamu mau jual berapa? Dia berpikir dan mulai nego harga sampai akhirnya ketemu harga yang pas, 2000 rupiah (saya sih nyengir mengingat masak iya harga macaroni panggang hanya 2000 rupiah hahahaha). Pertanyaan berikutnya berapa banyak yang mau dibawa? Dia bilang coba 10 cup.

Akhirnya malam-malam sepulang kerja saya siapkan, sekalian buat cemilannya dia. Saya juga sempat tanya sama wali kelasnya mengenai kebijakan sekolah tentang hal ini. Ternyata, apa yang disampaikan kepala sekolah saat saya interview waktu memilih sekolah adalah benar. Sekolah ini mendorong anak-anak untuk belajar wirausaha sejak dini. Jadi, kegiatan seperti ini sangat didorong selama tidak menganggu kegiatan belajar dan barang atau makanan yang dijual tidak membawa dampak buruk untuk anak-anak. Baiklah, ayo nak belajar berwirausaha...

Pagi-pagi saya panggang agar dia bawa ke sekolah dalam kondisi hangat. Deg-degan seharian saya menunggu ceritanya saat pulang sekolah. Dan sore ketika dia pulang (dia pulang diantarkan jemputannya ke kantor setiap sore), tadaa dia bilang macaroninya habis, teman-teman suka dan besok minta dibuatkan lagi. Wahhh, senangnya. Dia cerita awalnya katanya susah mau jualan. Akhirnya Titan bilang aja di kelas: Titan bawa macaroni panggang, harganya 2000. Ada yang tadinya nggak mau eh ternyata malah jadi mau..begitu ceritanya.

Yang buat saya lebih senang adalah ketika Titan menyampaikan analisis hasil jualan hari ini, bahwa kelihatannya temannya tidak suka saus tomat, jadi coba besok kalau jualan lagi ibu bawakan saus cabe...Ternyata dia belajar mengalisis...

Saya teringat pengalaman saya sendiri. Sejak kecil, ibu saya mengajarkan saya untuk mandiri. Selain karena memang keluarga kami bukan keluarga berada juga supaya saya terbiasa berusaha untuk apapun yang saya inginkan. Ketika sekolah dulu saya sering membawa makanan buatan ibu saya untuk ditawarkan kepada teman-teman. Mulai dari molen, keripik singkong balado, sampai pastel dan keripik bawang. Sore hari terkadang juga saya menjajakan kue ke tetangga. Dengan cara itu saya mendapatkan uang jajan tambahan. Kebiasaan itu terbawa hingga saya kuliah. Saya kuliah sambil nyambi jadi guru privat, juga terkadang membantu teman yang membutuhkan jasa penerjemah bahan makalah, atau bikin kue buat dijual ke teman-teman kuliah. Malah pernah saya membantu menuliskan jurnal praktikum kakak angkatan yang beda jurusan dengan upah cokelat banyak-banyak hahahahaha...

Sekarang saya mulai menularkan ini kepada putra saya. Doa saya, untuk putra saya yang hari ini berhasil menjual spagheti di sekolah sampai akhirnya dia membeli spagheti buat dia sendiri di kantin, adalah agar kelak bisa menjadi pengusaha yang sukses dan berkah serta bisa memberikan kebaikan bagi orang di sekelilingnya. Amiin..

I'm so proud of you, son.