Wednesday, 13 December 2017

Menjejak Tapal Batas: a short trip to Jayapura



Pagi sudah tinggi saat pesawat yang kami tumpangi merendah di atas di Bandara Sentani. Pemandangan indah Danau Sentani dan Pegunungan Cyclops menyergap mata, menyajikan harmoni warna alam yang indah.

Bandara Sentani tidak terlalu besar, namun penerbangan masuk dan keluar sepertinya cukup padat. Runway pesawat yang agak menjorok ke Danau Sentani menyajikan pemandangan indah saat take off dan landing. Sementara Pegunungan Cyclops di latar belakang seakan memagari bandara dari danau. Panas menyergap tubuh saat kami keluar bandara. Selamat datang di Pulau paling Timur Indonesia.

Driver dari rental kendaraan sudah menjemput sehingga kami bisa langsung ke jalan-jalan. Tubuh agak penat mengingat sepanjang penerbangan saya nyaris enggak bisa tidur. Selain karena harus transit di Makassar pukul 01 pagi juga karena rasanya berisik sekali di pesawat. Jadi, pagi ini dengan semangat yang sedikit melorot karena lelah ditambah enggak bisa mandi (Bandara Sentani ini agaknya harus diperbesar dan diperbaiki fasilitasnya), tapi saya tetap bertekad menikmati liburan.
Tujuan pertama adalah ke Fort Mac Arthur. Lokasinya enggak terlalu jauh dari bandara, di dalam kompleks Rindam XVIII TRIKORA. Memasuki kompleks militer kami harus melapor dan meninggalkan KTP di pintu masuk. Selama berada di dalam kompleks kami harus selalu membuka kaca jendela mobil dan tidak boleh memakai kacamata hitam. 

Pagi itu gerbang ke area tugu masih tutup. Hari memang masih lumayan pagi, jadi kami pergi menunggu di satu tebing dekat Fort MacArthur. Di situ mata kami dimanjakan pemandangan indah Danau Sentani dari ketinggian.
Di depan saya membentang Danau Sentani yang jernih dan tenang. Di sekelilingnya dipagari oleh Cyclops Mountain dengan warna hijaunya yang  bergradasi. Dari kejauhan kami bisa memandang ke arah Bandara Sentani yang walau kecil tapi sibuk. Pesawat besar kecil terbang dan mendarat melintasi danau. Suasana pagi yang benderang namun tenang benar-benar mendamaikan hati.
Pukul 9 kami ke Fort MacArthur lagi. Untunglah ada penduduk setempat yang bertugas membersihkan lapangan membukakan gerbang, jadi kami bisa masuk. Terima kasih, Pace.
Tempat ini luar biasa cantik. Begitu turun dari mobil kami disambut pemandangan indah. Ah, rasanya saya bisa hanya duduk di sini berjam-jam menikmati indahnya pemandangan Danau Sentani yang berpagar Pegunungan Cyclops. Damai sekali. 
 


Fort MacArthur adalah pusat komando pasukan A.S. yang saat itu masuk ke Jayapura untuk melumpuhkan tentara Jepang saat PD II. Di sinilah lokasi pendaratan Jendral Douglas MacArthur selaku Kepala Staf Angkatan Darat A.S yang juga tokoh PD1, PD II, dan Perang Korea. Di sini jugalah MacArthur merencanakan penyerbuan Pangkalan Jepang di Filipina.
Di sini sebenarnya ada pusat informasi mengenai Fort MacArthur, namun sayangnya saat kami di sana tempatnya masih tutup, jadi kami tidak bisa masuk.

Puas memandang Danau Sentani dari sini kami beranjak menuju Kampung Asey. Menuju Kampung Asey ini kami harus menyeberang sejauh 500 meter ke Pulau Asey. Saya enggan menyewa perahu jadi saya memilih nyebrang bareng-bareng penduduk lokal pakai perahu klotok. Biaya penyebrangan hanya Rp6.000,00 per orang dan saya rasa ini akan menyenangkan duduk di antara penduduk lokal.
Perahu mengalun tenang di permukaan Danau Sentani. Di kejauhan sudah terlihat jajaran rumah penduduk pulau-pulau kecil yang ada di kawasan Danau Sentani. Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di Pulau Asey. Dan langsung menuju pendopo. Pulau ini adalah sentra kerajinan kulit kayu Papua. Di sini penduduknya mengolah Kayu Ombou yang banyak tumbuh liar di wilayah ini. Kulit kayu ombou diambil dengan cara menguliti batangnya dan diratakan dengan batu, lalu dilukis dengan motif khas Papua. Warna yang digunakan umumnya warna alami: merah, hitam, dan putih. Merah berasal dari Buah Merah, hitam berasal dari arang, dan putih berasal dari kapur tohor (kapur ini juga digunakan untuk menginang).


Saat saya singgah di sana, beberapa penduduk sedang belajar membuat desain kap lampu dan hiasan berbentuk pohon natal dari kulit kayu. Ternyata ada beberapa petugas dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang datang untuk membina penduduk agar tidak hanya menghasilkan lukisan kulit kayu, namun juga membuat aneka benda yang memiliki nilai guna dan nilai jual, seperti tas kulit kayu, dompet, kap lampu, aneka benda lainnya.
Kayu ombou ini banyak tumbuh liar di wilayah ini, saat saya tanya kenapa tidak dibudidayakan supaya tetap ada, salah satu penduduk menjelaskan bahwa sudah pernah dicoba oleh dinas kehutanan, namun kualitas kayu yang dihasilkan kurang bagus. Pohonnya banyak memiliki bisul sehingga kulitnya tidak mulus. Beda dengan pohon yang tumbuh liar, kulitnya mulus sehingga memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kanvas lukis.

Melihat sekeliling pendopo yang dikelilingi rumah-rumah penduduk, anak-anak berlarian di lapangan sebelah pendopo. Babi dan anjing peliharaan penduduk berkeliaran bebas. Beberapa ibu sedang mengerjakan pekerjaan rumah tanggga. Sementara beberapa warga lain asik membuat kerajinan kulit kayu sambil bercengkrama dan menginang.
Menginang, ini adalah tradisi turun temurun penduduk Papua. Tua muda pria wanita mengunyah buah pinang dicampur dengan kapur sambil mengigit buah sirih (bentuknya seperti buncis) menghasilkan warna merah di mulut. Kebiasaan unik dan agak sedikit jorok mengingat mereka kadangkala meludah sembarangan (ludah campur sari buah pinang yang warnanya merah ini gak mudah hilang sehingga menimbulkan bercak bercak merah di tanah, aspal, beton, jalan). Tak heran memang di beberapa tempat saya melihat rambu: Dilarang Membuang Ludah Pinang Sembarangan. Rambu ini hanya saya temukan di Papua hahaha.

Puas di Kampung Asey, kami kembali ke mainland dan menuju ke Museum Provinsi Papua. Sayangnya musieum itu tutup! Batal sudah, akhirnya kami menuju rumah makan Yogwa. Di sana kami makan sambil menunggu Jumatan. Yogwa ini terdapat di tepi Danau Sentani. Jadi sambil makan kami puas memandang danau. Makanan utamanya memang ikan, terutama ikan mujair. Di danau banyak terdapat budidaya ikan mujair dalam keramba. Nah, untuk harga makanan di Jayapura ini memang spektakuler. Sepotong ikan mujair bakar ukuran sebesar telapak tangan harganya 85k, kalau yang lebih besar tentu lebih mahal. Jadi, untuk makan bertiga paling tidak merogoh 350K sekali makan.
Sehabis makan, saya menunggu Titan dan driver jumatan dulu. Setelah itu kami menuju Danau Imfote alias danau love. Danau ini mendapat namanya dari bentuknya yang heart shape. Lokasinya di Kecamatan Ebungfau di Kabupaten Jayapura. Lumayan jauh perjalanan ke sana, sekitar 1 jam kami berkendara melalui jalan-jalan kecil (tapi sudah beraspal) di tengah antah berantah. Tapiiiiii pemandangan sepanjang perjalanan cantik banget.
Setiba di sana, lelah perjalanan terbayarkan oleh keindahan danau dan sekelilingnya. Danau Imfote berada di lembah, dikelilingi bukit-bukit bagian Pegunungan Cyclops. Danau berbentuk hati ini memiliki air yang jernih dan permukaan air yang tenang. Di sekelilingnya tidak ada permukiman penduduk sama sekali. Quiet, serene, menyenangkan. Dibatasi bukit, terlihat permukaan Danau Sentani dengan airnya yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sementara kemanapun mata saya memandang saya akan melihat bagian Pegunungan Cyclops yang kehijauan. Saya jatuh cinta dengan keindahan tempat ini. Breathtaking view. Saya bilang, warga sini amat dimanjakan Tuhan dengan alamnya yang luar biasa cantik.


Agak lama saya menikmati keindahan di Danau Imfote sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan yang meliuk liuk naik turun mata saya dimanjakan oleh pemandangan sekitar Danau Sentani. Begitu meninggalkan Abepura dan masuk ke Jayapura pemandangan Teluk Yos Sudarso (dulu namanya Teluk Humbolt dan sering disebut Teluk Hamadi) menyambut pandangan mata. Driver mengajak kami ke salah satu titik tertinggi di Jayapura yang namanya Jayapura City atau sering disebut Jayapurawood. Di sana terhampar pandangan Teluk Yos Sudarso dari ketinggian. Kota ini cantik walau tata kotanya semrawut tapi pemandangannya luar biasa. Dari titik ini saya bisa melihat kota Jayapura yang menghampar di bawah saya. 


Teluk Yos Sudarso (agaknya nama ini diperoleh dari nama Pahlawan yang membela Irian Barat saat Operasi Trikora), tidak terlalu besar dan melindungi daratan Jayapura dari terjangan ombak Samudra Pasifik. Akibatnya, perairannya begitu tenang, nyaris tak berombak. Di bawah saya, Pelabuhan Jayapura yang tidak terlalu besar namun cukup ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai tempat.
Puas memandang Jayapura dari atas, kami mengunjungi toko Aneka Batik. Di toko ini tersedia aneka batik bermotif khas Papua. Motifnya cantik-cantik dan harganya enggak terlalu mahal. Hanya saya sayangnya ukurannya big size semua, sehingga saya hanya dapat 1 rok lilit dan satu tempat pensil saja. Tapi beneran, batiknya keren-keren.
Puas jalan-jalan kami segera menuju hotel. Rasanya sudah lengket 24 jam enggak mandi. Sehabis mandi barulah terasa bahwa kami sangat lelah. Namun perut lapar memaksa kami beranjak mencari makan. Untungnya hotel tempat kami menginap dikelilingi banyak tempat makan. Dan mengikuti rekomendasi kami makan di salah satu rumah makan di tepian pantai. Makanannya tentu saja ikan bakar. Makanannya enak, apalagi ikan bakar disajikan dengan aneka sambal. Dari sambal mentah, sambal goreng, sambal kecap, dan bumbu kuning disajikan dalam mangkuk-mangkuk kecil sebagai pelengkap ikan bakar yang kami pesan. Rasanya? Pastilah enak. Dan satu potong besar ikan bakar plus cumi asam manis segera lenyap kami santap.

Malam sudah beranjak, saya lupa bahwa di sini waktunya 2 jam lebih cepat. Kami segera menuju hotel dan terlelap dengan segera. Lelah dan puas membuat tidur kami begitu lelap.

Selamat pagi Jayapura! Begitu terbangun saya langsung menuju jendela, dan ... hujan!!! Arggghh padahal kami hari ini akan menuju Desa Skouw. Pukul 8 lebih kami sudah dijemput driver untuk menuju Desa Skouw. Perjalanan ke sana lumayan jauh, 2 jam perjalanan melalui jalanan yang berliku-liku. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan pantai. Pulau ini memang cantik, ke manapun mata memandang kami mendapatkan pemandangan unik. Jayapura sendiri sudah sangat modern. Nyaris enggak ada bedanya dengan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan saya rasa ini lebih ramai dibanding Manado, Purwokerto, atau Jambi. Jalanan di sini mengikuti kontur pulaunya yang berbukit-bukit. Ada 3 jalur jalan: jalur bawah dekat pantai, jalur tengah, dan jalur atas. Saya paling suka jalur atas soalnya bisa melihat keindahan teluk tanpa banyak halangan.
Sepanjang jalan menuju Desa Skouw hujan terus merintik. Saat memasuki Desa Skouw kami melapor di check point. Di sana kami meninggalkan KTP dan mengisi buku tamu. Check point ini dijaga oleh TNI AD. Selepas dari sana kami menuju bangunan imigrasi. Di sini kami harus berjalan kaki. Bangunan yang baru diresmikan Oktober lalu ini bagus dan modern, namun sayangnya kebersihannya enggak terjaga. Tamannya juga kurang dirawat. Sayang sekali.
Di imigrasi kami hanya melewati jalur lokal tanpa harus menunjukkan paspor atau ID apapun. Jadi kami bisa berjalan menuju ke gerbang perbatasan dengan PNG. Banyak penduduk PNG yang masuk ke wilayah Indonesia untuk berbelanja di Pasar Skouw karena lebih dekat dan lebih murah. Penduduk PNG masuk ke Skouw membawa gerobak pasir sebagai troli belanja. Dan saya mau tertawa lihat belanjaan favorit mereka: mie instan dan pop mie hahahaha.
Di antara gerbang masuk RI dan PNG saya melihat banyak yang sedang transaksi. Agak takut saya mendekat sedekat mungkin, ingin lihat apa yang diperjualbelikan mengingat koq seperti disembunyikan. Setelah saya perhatikan ternyata mereka jual beli buah vanili. Dijual dalam ikatan-ikatan dan ditimbang. Menurut petugas jaga, vanili ini harganya sangat mahal. Yang membawa petani dari PNG. Harganya per kilo bisa mencapai angka 4 juta. Wowwww!!! Padahal saya udah ngiler mau ikutan beli buat bikin kue hahahaha.
Sayangnya kami enggak bisa ke Pasar Skouw mengingat sangat becek dan bagian utama pasar sedang dalam proses pemugaran. Jadinya saya batalkan masuk ke pasar dan langsung kembali ke Jayapura.



Di perjalanan menuju Jayapura kami singgah di Pantai Holtekamp. Pantainya tenang dan indah dan persis berada di tepi jalan. Di salah satu bagian pantai (tepatnya di Kampung Holtekamp) inilah lokasi PLTU Holtekamp yang baru diresmikan pertengahan taun ini. Kami juga mampir sejenak di Pasar Youtefa. Sayangnya karena baru habis hujan, pasarnya becek sekali. Namun demikian, saya berhasil dapat buah matoa kelapa. Saya langsung membelinya dari penduduk lokal yang menjual hanya buah matoa, buah pinang, dan buah sirih. Agaknya hasil panen dari kebun sendiri. Buah-buah ini dijual dalam tumpukan-tumpukan tanpa timbangan. 1 tumpuk buah matoa dijual seharga 20k. Saya sempat mengobrol sebentar dengan mace yang jualan. Akhiranya setelah ditertawakan karena saya tidak tahu bagaimana cara memecahkan kulit buah matoa yang keras (ternyata ya kayak makan rambutan atau lengkeng) saya membeli 5 tumpuk. Banyak!! Saya sempat mencicipi satu buah dan rasanya manis, antara rasa lengkeng dan wangi durian. Sedap!!! Sempat saya berkeliling pasar melihat bagian luarnya saja karena becek luar biasa. Paling banyak saya temukan adalah penjual aneka umbi. Mengingat ini adalah makanan utama penduduk Papua maka banyak sekali penjual umbi-umbian. Satu hal, seluruh umbi yang dijual (talas, ubi jalar, yam, dan entah apa lagi jenisnya) sudah dalam keadaan bersih. Seperti di supermarket, enggak belepotan tanah dan ukurannya jumbo semua. Sepertinya beli ubi merah di sini untuk kolak yummmmm rasanya. Di bagian daging saya lihat potongan kepala babi yang sudah dikuliti lengkap dengan kupingnya, hiiiii.... 



Dari sana kami menuju RM Maros untuk makan siang. Dan menu hari ini adalah gurame bakar (lagi). Enggak lama kami lanjut ke Pasar Hamadi membeli beberapa souvenir untuk oleh-oleh. Di Pasar ini banyak penjual souvenir khas Papua: koteka, lukisan kayu ombouw, aneka gelang dan kalung, noken, hingga totem-totem Suku Asmat. Keren-keren. Saya senang sekali melihat ukiran, lukisan bermotif khas Papua.

Dari pasar Hamadi kami menuju Pantai Base G di Jayapura. Pantai ini agak berombak karena langsung menghadap ke Samudra Pasifik. Ah, bunyi deru ombak, suasana yang menyenangkan membuat saya betah duduk berlama-lama di tepiannya. Anak-anak dan penduduk lokal berenang menikmati dinginnya air laut. Pantainya sendiri berpasir putih, bersih, dan agak curam. Tidak jauh dari pantai terlihat gosong karang yang menghampar luas. 

Puas menikmati Pantai Base G, kami lanjut kembali ke pusat kota melewati jalur atas. Di Jalan Kasuari saya ditunjukkan satu cafe yang khusus menyajikan kopi single origin Wamena. Langsung saja saya minta belok ke sana. Pit’s Corner Cafe namanya. Saya mesan v60 Wamena. Dan senangnya saya karena barista membolehkan saya menyeduh kopi sendiri dengan arahan barista. Jadilah saya menikmati kopi hasil kolaborasi barista gadungan dan barista aslinya hahahaha. Rasanya sedap walau harganya lumayan mahal untuk ukuran Bandung. Segelas V60 Wamena harganya 60k (saya beli juga bijinya seharga 90K untuk 200gr). 



Hari sudah sore dan rasa lelah sudah mulai menyergap. Akhirnya kami putuskan kembali ke hotel. Sebelumnya kami mampir di Manokwari Bakery membeli Roti gulung abon. Makanan satu ini konon adalah oleh-oleh khas Jayapura. 2 kotak besar roti gulung langsung masuk kantong. Kami juga membeli beberapa buah untuk dinikmati di hotel. Dan ketika saya cicipi rasanya emang luar biasa enak. Roti yang lembut berpadu dengan abon sapi yang manis dan banyakkkkk rasanya emang uenak pakai banget (jangan tanya berapa kalorinya). 

Hari terakhir di Jayapura. Saya enggak bisa tidur karena di luar ramai sekali. Malam minggu di sini rasanya berisik sekali. Hari ini kami akan kembali ke Jakarta. Penerbangan agak siang sehingga kami bisa menikmati sarapan dengan santai. Pagi itu kami memilih sarapan di tepi laut. Hotel kami memang berada di tepi pelabuhan, tepat di seberang tulisan Jayapura City (sayangnya selama kami di sana kami tidak lihat lampunya menyala). Jadi, dari meja makan kami bisa memandang pelabuhan dan Teluk Yos Sudarso. Usai sarapan kami bersiap untuk menuju bandara. 



Usai sudah liburan singkat di Jayapura. Singkat, namun meninggalkan kesan yang dalam: keindahan alam. keramahan penduduk, persahabatan yang manis. Awalnya saya agak kuatir pergi ke sini. Namun semua kekuatiran saya hilang tak berbekas. Orang Papua ternyata ramah, alam Papua juga ramah dan cantik. Tadinya saya ketakutan dengan nyamuk malaria. Hampir saya memaksa semua orang minum pil kina sebelum berangkat hahahaha. I will definitelly balik lagi ke bagian pulau yang lain. Insha Allah.

Tuntas sudah saya menginjakkan kaki di lima pulau besar utama di Indonesia. Bucket list saya masih panjang, saya masih ingin ke Sorong dan Merauke untuk menginjakkan kaki di ujung paling timur Indonesia, menuntaskan syair lagu Dari Sabang sampai Merauke.  Saya juga masih ingin menginjakkan kaki saya di tempat cantik lainnya di Indonesia. My country is so wonderful. I love Indonesia.



Tuesday, 14 November 2017

Manado: di mana pisang berpadu dengan dabu-dabu

Beberapa waktu lalu saya ditugaskan ke Sulawesi, dari ujung selatan nyebrang ke ujung utara. Dari Makassar ke Manado. Kalau Makassar sudah beberapa kali saya kunjungi. Manado ini baru kali ini.

Manado sudah gelap gulita saat kami landing dari Makassar. Lapar dan lelah menyergap. Perjalanan dari Bandara menuju hotel juga lumayan jauh, jadi rasanya udah malas mau ngapa-ngapain. Namun, mengingat perut sangat lapar maka akhirnya memaksakan juga nyeret kaki untuk pergi makan. Berhubung sama sekali enggak punya referensi tempat makan yang enak di Manado, juga sudah malas nyari-nyari akhirnya diputuskan saja pergi ke Wisata Bahari (referensi dari orang hotel). Itu adalah resto sea food yang agaknya cukup terkenal di Manado. Lokasinya di mal, tepat di tepi pantai, tapi berhubung udah gelap ya enggak keliatan juga.

Sampai sana agak kaget, meja makannya buesarrr banget. Kalau duduk sebrangan kayaknya kudu pake toa kalau mau ngobrol. Lebih kaget lagi pas pesanan makanan datang: Semangkuk besar tom yam gung (itu cukup buat 5 orang), sepiring buncis daging sapi (ini walau banyak kami sikat habis karena buncisnya luar biasa uenakkk), seekor ikan bakar, satu mangkuk besar salad buah (ini juga kami sikat habis karena rasanya enak bangettttt). Hanya nasi yang enggak saya sentuh. Sudah kenyang sangat. Usut punya usut, saya dikasih tau sama sopir taksi online dan orang kantor bahwa orang Manado ini suka makan dan suka pesta (dan betul kalau diperhatikan semua meja di resto ini terisi penuh dengan keluarga-keluarga besar, hanya kami yang mejanya hanya terisi dua orang saja).

Pagi itu kami memulai tugas. Rupanya kantor tempat kami presentasi terletak tepat di tepi pantai, Marina namanya. Pagi ini,  kami cukup menikmati dari jauh saja birunya ombak dan langit. Hingga menjelang senja kami selesaikan tugas di kantor. Barulah selesai tugas kami bisa melipir ke toko oleh-oleh dan mencari cakalang fufu sekaligus pengen coba klappertart yang asli Manado. Dan memang setelah dicoba rasanya luar biasa enakkk.




Malamnya barulah kami coba mencari makanan khas Manado. Bermodalkan GPS akhirnya dapat juga satu rumah kopi yang jaraknya sekitar 2km dari hotel. Lumayan juga keluar masuk gang sampe ketemu tempatnya.

Rumah kopi itu sebutan warung kopi di Manado. Tempat nongkrong yang selain menyediakan kopi juga menyediakan aneka makanan khas manado. Langsung saja saya pesan tinutuan (bubur khas Manado yang isinya kangkung, ubi, dan labu kuning yang dibumbui rempah dan dilengkapi dabu dabu roa), pisang dabu dabu dan sejenis peyek ikan (saya lupa namanya tapi rasanya enak banget). Si nona hitam manis yang jadi server di rumah kopi itu semangat sekali menawarkan aneka makanan. Ada yang lucu, si nona hitam manis menawarkan onde-onde. Saya pikir onde-onde itu seperti di sini, ternyata yang disebut onde-onde adalah kelepon yang berukuran jumbo. Saya membayangkan ketika digigit itu gula akan langsung muncrat dari mulut (abisan keleponnya guede banget). Selain kelepon makanan lain yang pasti ada di rumah kopi adalah mie cakalang (seperti mie ayam, tapi pakai cakalang instead of ayam), dan garoho (sejenis keripik pisang, dinikmati dengan dabu dabu roa). Hebatnya lagi, seluruh makanan di sini disajikan dalam keadaan baru dimasak alias fresh. Wah, kalau seminggu di sini saya bisa nambah bobot berapa kilo ya?



Pagi sebelum ke bandara saya sempatkan melihat sedikit kota Manado. Satu-satunya tempat yang bisa kami datangi hanya Jembatan Sukarno. Jembatan yang berada di wilayah Marina ini adalah salah satu icon kota Manado. Kebetulan hari itu Sabtu pagi sehingga ada car free day. Banyak warga yang olahraga di sini. Jembatannya mirip seperti Jembatan Pasopati di Bandung. Dari arah Marina jembatan ini berada persis di atas pelabuhan Manado (kalau mau ke Bunaken nyebrangnya dari sini) dan Pasar Ikan. Senang saya menikmati kesibukan di Pasar Ikan walau kalau harus turun pasti ogah mengingat baunya yang lumayan hahaha. Jadi dengan senang hati saya asyik menikmati kesibukan dari atas jembatan ditimpahi suara musik yang menghentak dari penduduk yang ternyata senang menikmati musik dengan volume super keras dari audio mobilnya. Cukup mengguncang pagi yang hening.











Ada satu pedagang yang menarik perhatian saya. Pedagang ikan sotong. Cara berjualannya yang tanpa timbangan menarik untuk diperhatikan. Ikan sotong yang ia taruh dalam ember-ember diletakkan setumpuk-setumpuk di atas meja jualannya. Alat ukurnya adalah kedua telapak tangannya. Jadi setumpuk itu adalah hasil raupan kedua telapak tangannya. Ketika datang pembeli dia ambil tumpukkan yang diinginkan pembeli, dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan dibayar. Done! Dan jualannya cepat sekali habis.



Tak terasa matahari semakin tinggi. Saya harus bergegas meninggalkan kota ini. Hanya 2 malam di sini dan hanya bagian kecil kota ini saja yang sempat saya lihat dan nikmati, tapi buat saya kota ini menyenangkan. Manado, I will definitelly datang lagi. Saya makin suka dengan kota ini juga gara-gara Hujan Bulan Juni. Next time saya akan datang, tentu dengan my Titan untuk menjelajah ke Tondano, Tomohon, dan Bunaken. Insha Allah.

Monday, 30 October 2017

5 Hari 7 Bandara 3 (+2) Kota itu Lemas

Awal Oktober ini saya ditugaskan untuk ke Kalimantan. Jadualnya luar biasa padat, bukan hanya mengunjungi satu, namun sekaligus 3 kota dalam waktu 5 hari! Jujur saya awalnya ragu apa iya akan sanggup nih wara-wiri pindah kota dalam waktu singkat terlebih penerbangan untuk pindah kota harus transit ke Pulau Jawa.

Kalimantan ini pulau yang menarik. Dulu image saya tentang Kalimantan adalah hutan..hutan..dan hutan... Namun, saya salah. Setelah beberapa kali datang ke Kalimantan ada banyak hal menarik yang bisa saya dapatkan saat saya mengunjungi Kalimantan, sekalipun waktu saya untuk jalan-jalan amat sangat terbatas.

Senin pagi saya, bersama seorang senior yang saya anggap seperti abang saya sendiri, berangkat menuju Balikpapan. Sebelumnya saya sudah 3x mengunjungi Balikpapan, bahkan sempat mengunjungi Penangkaran Buaya di sana beberapa tahun lalu. This time, jadual kami luar biasa padat.
Penerbangan pagi itu tepat waktu dan kami tiba di Balikpapan menjelang siang. Dari bandara kami langsung menuju kantor untuk memulai pekerjaan. Menjelang senja  kami baru diantar ke hotel.
Lokasi hotel tempat kami menginap cukup strategis. Setelah cek materi plus menyiapkan perlengkapan untuk esok hari kelar, kami pergi makan. Niatnya makan kepiting kenari yang terkenal itu. Berdasarkan informasi dari resepsionis hotel, kami memutuskan untuk makan di Ocean. Lokasinya sekitar 1km dari hotel, jadi kami putuskan untuk jalan kaki biar sekalian olahraga.

Tempat makannya enak banget, tepat di tepi laut. Sayang memang karena sudah agak gelap jadinya enggak keliatan lautnya. Namun, makan ditemani suara debur ombak itu enak banget. Dan saking enaknya, maka pesanan kami pun enggak kira-kira banyaknya (antara lapar dan kalap memang bedanya tipis banget).

 


Selesai mengobrak abrik kepiting dan ikan kami lanjut mencari warung kopi. Setelah berputar-putar jalan kaki (modalnya hanya GPS), kami dapat juga satu kedai kopi kecil. Tempatnya nyempil tapi lumayan enak dan nyaman. Setelah keringatan maka satu-satunya yang saya ingin adalah menyesap ice americano. Dan memang ice americano dengan biji kopi Gayo itu rasanya juara. Jempol deh buat baristanya yang ramah dan jago ngeracik kopi.

Habis ngopi kami melanjutkan jalan kaki menuju hotel, dan masalah mulai muncul. Rupanya entah karena kondisi drop atau memang saya enggak tahan makan kepiting sebanyak itu, saya mulai gatal-gatal. Lumayan juga jalan kaki sambil menahan gatal. Saya pikir ini akan bisa diatasi dengan loratadine yang saya bawa sehingga saya memutuskan buru-buru kembali ke hotel. Sampai di hotel ternyata makin gatal sehingga terpaksa mencari incidal (terima kasih yang mencarikan incidal). Namun, rupanya obatnya bekerja sangat lambat. Hasilnya adalah incidal saya makan dan saya bangun dengan kepala pening di pagi hari (sepertinya itu obat berantem sama kopi dan kantuknya baru muncul menjelang pagi hahahaha). Hari itu setelah presentasi rasanya pengen gejubrak aja tidur.

Sayangnya lagi itu hanya cita-cita mengingat perjalanan masih sangat jauh. Selesai kasih materi tanpa makan siang kami buru-buru ke bandara lagi. Kami harus pindah kota ke Pontianak melalui Surabaya. Sampai di bandara barulah kami sempat nyemil2 di lounge. Transit di Surabaya agak lama karena juga sempat delay. Kami tiba di Pontianak menjelang malam dan disambut hujan yang lumayan lebat.
Beruntung kami menginap di area Gajah Mada, di mana warung kopi ada di sepanjang jalan. Tempat ngopi tepat berada di seberang hotel. Berhubung enggak sempat dapat proper lunch, kami memutuskan cari makan setelah check in. Di Pontianak tentu harus makan kuetiaw goreng sapi. Dan Apolo adalah tempat yang pas. Kuetiaw goreng sapi yang meruap panas plus jeruk murni hangat (dari perasan jeruk ponti), memang bisa mengubah mood yang tadinya udah turun jadi membaik.



Sehabis makan kami lanjut menikmati kopi tubruk di salah satu warung kopi yang tersebar di sepanjang Gajah Mada. Kagetnya saya mendapatkan segelas kopi hitam yang ruarrr biasa pahit hahahaha. Pekatnya minta ampun. Bahkan sepotong pisang goreng yang diolesi selai kaya tidak sanggup menghilangkan pahitnya itu kopi.


Hujan masih turun saat kami kembali berjalan kaki ke hotel. Masalah baru muncul, baru saja masuk kamar tiba-tiba listrik padam. Gelap gulita, posisi handphone jauh, di tempat asing, dan sendiri membuat saya seperti membeku. Saya beranikan diri buka pintu, namun suasana gelap gulita di lorong hotel buat saya tambah takut, terlebih ketika saya masuk banyak sekali kaum adam di lorong hotel (sepertinya ada rombongan perusahaan yang meeting di sini). Akhirnya saya mematung memegangi pintu hingga generator menyala membackup listrik. Rasanya mau mati beku karena takutnya. Saya rasa itu semenit terlama dalam hidup saya. Begitu generator menyala saya buru-buru cari telepon dan ternyata Abang senior sempat terjebak di lift hotel. Bah! Masuk hotel koq seram begini.
Dan malam itu saya dag dig dug melulu, terlebih listrik mati sampai 2x dalam jangka waktu yang enggak terlalu jauh. Udah ngeri aja kalau tengah malam aliran listrik padam lagi. Minta ampun deeeh.

Pagi itu, kembali kami menyampaikan materi di kantor dan langsung ke bandara (lagi). This time transit di Jakarta untuk penerbangan lanjutan besok ke Banjarmasin. Penerbangan ke Jakarta lumayan on time dan kami tiba di Soeta sudah malam. Malam itu kami menginap di salah satu hotel bandara supaya dekat, mengingat besok subuh sudah harus terbang ke Banjarmasin. Sebelum ke hotel kami makan malam di salah satu resto cepat saji Bandara. Yang penting makan deh. Abis itu baru ke hotel. Abisan mandi kami sempat ngupi-ngupi di lounge hotel.
Hanya 3 jam kami tidur, jam 04.00 pagi kami sudah bertemu di tempat sarapan. Bah! Berasa makan sahur. Akhirnya yang sanggup masuk hanya kopi dan beberapa potong buah saja. Setelah itu kami sudah harus berangkat ke bandara.
Hampir pukul 8 pagi kami tiba di Banjarmasin. Kami langsung menuju kantor untuk menyampaikan materi hingga senja menjelang, baru kami diantar ke hotel.
Hujan turun di Banjarmasin sore itu. Berhubung perut lapar, kami memutuskan mencari soto banjar. Sayang memang soto banjar Pak Amat yang kami incar sudah habis, persis sesaat sebelum kami tiba. Akhirnya kami makan di tempat lain. Masih di tepi Sungai Martapura. Sotonya biasa saja, tapi suasana menjelang senja di tepi sungai itu rasanya damai banget. Mentari sudah merebah, yang terdengar hanya suara burung-burung yang akan kembali ke peraduan ditimpali suara obrolan beberapa pengunjung di warung soto dan sesekali ditimpali suara perahu klotok. Ah, kalau sudah begini rasanya enggak pengen beranjak deh. Kalau saja belum gelap pengennya masih duduk di sini. Damai banget.



Banjarmasin termasuk kota yang saya suka. Ketika pertama kali tugas ke kota ini saya sempat mampir di Martapura dan pasar apung. Sayangnya kunjungan kali ini tidak memungkinkan. Waktu yang sangat terbatas membuat kami tidak bisa menikmati suasana kota. Namun demikian, subuh sebelum ke bandara kami sempat berjalan kaki ke Siring (itu pusat Kota Banjarmasin). Jaraknya hanya 700 meter dari hotel. Siring pada akhir minggu adalah salah satu pusat keramaian Banjarmasin. Biasanya ada pasar terapung di akhir minggu. Jadi, kalau tidak sempat ke Lok Baintan bisa menikmati suasana pasar terapung di sini. Sayangnya, saat kami di sana belum weekend, jadi kami hanya berjalan menyusuri Sungai Martapura. Beruntungnya kami, subuh itu sang purnama masih bersinar terang. Di bagian ini, sungai sangat bersih dan bagian tepinya juga rapi. Banyak yang sedang olahraga pagi di sepanjang sungai pagi itu, juga banyak yang sedang menunggu angkutan perahu klotok menuju tempat kerja. Hanya sebentar kami di sana, kami sudah harus kembali ke hotel dan buru-buru bersiap ke bandara.



Perjalanan tugas mengitari 3 (+2 kota) itu pun berakhir sudah. Can't wait to go home. Rasanya lelah sangat, walau sepanjang perjalanan banyak sekali hal-hal menyenangkan namun tetap enggak ada tempat seindah rumah.

Bandung-Balikpapan-(Surabaya)-Pontianak-(Jakarta)-Banjarmasin-Bandung
Satu hal, kota ini harus dikunjungi kembali. Next time dengan Titan. Dia pasti suka menikmati jalan-jalan di sepanjang sungai dan berperahu klotok sepanjang sungai menuju Lok Baintan. Banjarmasin, I will definitelly will be back, soon.