Nyaris seumur-umur saya bukan termasuk pelanggan air PDAM alias air ledeng, kecuali di kantor (ketauan gak sih angkatan berapa kalau menyebut air PDAM dengan air ledeng?).
Ketika saya kecil dulu, sumber air di rumah adalah sumur timba. Saya senang sekali kalau disuruh nimba air di sumur. Kayaknya keren banget kalo nimba (berasa fitnes), soalnya adem dan bisa siram2an air sesukanya. Saking senangnya dengan air sumur, saya pernah kecemplung dan menggantung di ember timba sampai ibu saya panik luar biasa.
Ketika era sumur berakhir, sumber air di rumah kami diganti sumur pompa. Yang ini kurang asik dan rada berbahaya, mengingat teman sebangku saya saat SD giginya nyaris rontok terhantam gagang pompa. Saat dia memompa air, tiba-tiba gagang pompa terlepas dari tangan dan membalik ke atas menghantam dagunya sehingga merontokkan beberapa gigi dan menyebabkan beberapa jahitan. Tapi....saya paling suka mandi di bawah air pompa, siapa lagi kalau bukan ayah saya yang jadi sukarelawan mompa.
Hingga saya kuliah, air di rumah masih mengandalkan sumur pompa yang kalau kemarau sangat panjang terpaksa pakai dipancing dulu biar airnya muncul.
Saya baru merasakan air PDAM ketika merantau ke Jakarta. Sumber air di tempat kost mengunakan PDAM. Airnya mengalir suka2. Kalau tiba2 mati tanpa pemberitahuan bisa menyebabkan kepanikan masal: nggak mandi, enggak nyuci, kalau ke toilet kudu super irit pakai air sisa-sisa di ember.
Ketika akhirnya punya rumah sendiri, saya menggunakan air tanah sebagai sumber air. Alhamdulillah, pengalaman saya baik dengan air tanah, karena mendapatkan lingkungan yang punya sumber air bagus dan selalu mengalir sepanjang tahun. Masalah satu-satunya adalah kalau mesin pompa rusak. Jadi, saya memang kudu mencari kenalan tukang pompa yang bisa dipercaya. Rese juga kalau pakai ngangkut air dari rumah tetangga.
Nah, ketika saya pindah ke kota ini, rumah yang saya tinggali menggunakan air PDAM sebagai satu-satunya sumber air. Aliran airnya super malu-malu sampai harus didorong menggunakan pompa supaya masuk ke tangki penampungan. Jangan ditanya lagi aliran air di keran kamar mandi yang super imut, sehingga mandi itu menjadi ritual penyiksaan alih-alih sebagai sarana relaksasi. Bayangkan harus berlama-lama di bawah keran air dingin, yang mungkin hanya sedikit lebih hangat dibandingkan air es itu, yang mengalir super kecil supaya sabun bisa dibersihkan atau minimal enggak licin kayak belut deh. Dan sejujurnya saya jadi kuatir jika seperti yang dialami beberapa teman saat air PDAM mati, pasti jadi drama deh.
Dan drama itu pun akhirnya memang terjadi. Beberapa waktu lalu saya baru pulang dari luar kota. Dari bandara saya berencana singgah di rumah untuk naruh pakaian kotor plus makan siang di rumah. Pagi-pagi sebelum boarding udah telepon si bibi ngasih tau supaya masak buat makan siang. Setiba di hometown, saya enggak mikir ada masalah. Eh, begitu buka handphone, muncul serentetan pesan. Rupanya bibi di rumah sudah panik karena air PDAM mati. Akhirnya boro-boro makan siang (si bibi enggak bisa masak dan mandi), yang ada begitu datang terpaksa saya menelepon PDAM untuk membeli air. Sampai 20x ditelepon tidak juga ada sahutan, sehingga saya putuskan untuk datang ke lokasinya. Beruntung petugasnya ada dan ramah. Si Mba yang jaga bilang, pesawat telepon di penjualan air PDAM ****ung rusak sejak kemarin, dan baru akan diperbaiki. Waduuhh, pantasannnnnnnnn.
Saya kemudian menanyakan ketentuan pembelian air. Warga bisa membeli langsung di sana, hanya saja sayangnya PDAM ini hanya melayani pembelian besar, minimal 3.500 liter seharga 157.500 rupiah. Secara saya enggak punya tangki dengan ukuran sebesar itu, saya menyerah. Seharusnya sih bisa berbagi dengan tetangga sebelah sebelah. tapi ternyata para tetangga ini punya sumber air tanah yang walaupun kecil seimprit tapi enggak pusing saat air PDAM mati. Si embak yang baik memberikan satu nama penyedia air bersih swasta yang bisa melayani eceran, paling tidak saya bisa membeli 1 kubik air. Harganya 170 ribu saja untuk 1.1100 liter. Buset deh. berhubung panik terpaksa saya beli dan saya masih harus menambah lagi 10.000 untuk sewa selang agar aliran air dari tangki bisa mencapai toren di belakang. Setelah bersepakat akhirnya drama air terselesaikan dan rumah kami kembali punya air bersih. Saya pun bisa kembali ke kantor dengan tenang dengan perut lapar menggelora minta diisi.
Drama air bersih ini menyebalkan. Demi kemaslahatan seluruh penghuni rumah, bulan ini saya TERPAKSA membayar air 2x lipat dari biasanya. PDAM tidak berfungsi, PDAM juga yang dibayar (beli airnya di PDAM juga). Lucu juga ya... (wajah meringis). Kalau bgini sering-sering mah berat di ongkos nih....Belum lagi deg degan takut tiba2 mati lagi (enggak pakai pemberitahuan pula), sementara air ini kan keperluan utama. Ini mah judulnya saya harus modal toren tambahan supaya tidak terlalu masalah dengan air bersih. Luar biasa memang drama air ini mengalahkan drama korea!!!!
Untuk info: di kota ini ada 2 penyedia air bersih (untuk area pusat kota dan arah utara), yaitu yang resmi dari pemerintah dan dari swasta. Kalau kepepet (misalnya karena pesawat telepon di kantor PDAM unit pelayanan pembelian air rusak), bisa langsung datang ke Surapati, ramah koq pelayanannya.
Friday, 18 August 2017
Wednesday, 9 August 2017
Seketika ku merindu....
Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Titan tanya tentang percakapan saya dengan beberapa sahabat saat kami berjalan-jalan bareng. Rupanya dia nguping obrolan kami tentang teman-teman dan pengalaman saat kuliah dulu. Setengah memaksa dia minta saya bercerita siapa sih yang dimaksud, apa sih ceritanya Ibu. Dia bilang untuk kenang-kenangan. Saya mau tertawa campur jengkel karena dia maksa. Saya bilang buat apaan nanya yang begitu. Mending tanya yang lain aja...dan dia sempat ngambek. Dia bilang ibu payah nggak mau cerita nih...
Gara-gara pertanyaan itu saya jadi keingat-ingat lagi masa-masa kuliah dulu. Masa ketika hal yang paling sulit adalah menyelesaikan persamaan dengan integral lipat tiga. Bahkan, begadang bikin peta stratigrafi geologi fisik aja masih lumayan mudah mengingat ada mas asisten yang baik hati yang ada maunya, yang selalu rajin kasih bocoran peta (walhasil yang bahagia adalah teman-teman saya, sementara saya masih sombong banget mau bikin sendiri aja hahaha).
Saya ingat awal-awal kuliah di institut yang banyak cowoknya itu sebenarnya bukan pilihan utama saya. Sejak kecil saya sudah jatuh cinta pada laut, jadi ketika cita-cita saya sebagai polwan (serius, dulu saya gagah dan mantap kalau ditanya nanti mau jadi apa. Jawaban saya hanya satu dan konsisten: Polwan!) kandas gara-gara saya harus pakai kacamata sejak kelas 2 SMP, mendadak saya bercita-cita jadi ahli kelautan. Saya bayangkan keren banget kalau saya bisa menjelajahi laut di manapun. Ketika menjelang akhir SMA saya ditanya mau kuliah di mana, gagah sekali saya jawab Teknik kelautan di ITS. Langsung saja almarhum om saya protes keras, ngapain kamu ke sana? Di ITB juga ada! Duarrr...saya? Yang kalo belajar malesnya enggak ada dua? Yang kupernya minta ampun, disuruh daftar ke sana? Bayangin aja enggak pernah. Tapi, walau demikian dengan segala keterbatasan saya masuk juga di situ. Dan tentu saja jumpalitan lah saya, terutama di masa awal-awal kuliah. Terkaget-kaget saya bertemu cacing-cacing integral itu. Tahun kedua saya sempat menyesali pilihan saya dan pengen pindah jurusan atau pindah kuliah aja. Saya sukanya sama biologi atau kimia, kenapa saya malah ketemu sama fisika melulu? Begitu selalu yang ada di kepala saya.
Masa kuliah yang dijalani lumayan panjang (saya baru lulus 5.5 tahun gara2 nunda-nunda tugas akhir) ternyata adalah masa paling menyenangkan dalam periode masa sekolah saya. Kesenangan itu dimulai di hari pertama penataran P4. Bukan P4-nya yang bikin saya seneng, tapi seseorang yang selalu duduk di sebelah saya selama masa penataran bahkan sampai awal-awal masa kuliah. Lebay? Pastinya, judulnya juga suka hahaha.
Jadi, walaupun sempat pengen pindah, saya mulai suka dengan apa yang saya pelajari (tapi saya tetap gak suka ngurusin integral), terutama ketika mulai kuliah jurusan. Alhasil, tahun demi tahun walaupun pas-pasan bisa juga koq selesai.
Di kampus inilah, saya yang sangat kuper (bahkan saking kupernya, saya pernah tanya teman saya harus naik angkot yang mana untuk pulang. Keterlaluan sekali, bukan?) berubah jadi manusia yang suka keluyuran. Enggak ke mana-mana, enggak juga ke tempat yang aneh. Sebagian besar hidup saya dihabiskan di kampus, kalau enggak ada kuliah saya nangkring di unit atau di himpunan atau ngeluyur berenang atau sekedar muter-muter ke Lembang (minum susu doang padahal). Di antara kesintingan itu, saya nyambi jadi asisten praktikum plus jadi guru les privat, plus nyambi tukang terjemahin bahan paper teman-teman, atau nulisin jurnal kakak kelas yang males nyatet. Imbalannya, dari uang sampai cokelat seabrek-abrek! Lumayan juga, selama kuliah saya jarang sekali minta uang jajan sama orang tua.
Kalau sudah terlalu penat, kesenangan saya adalah ngendon di kamar nyokap sambil curhat, ngejugruk depan komputer maen games sampe jam 2 pagi, atau bersepeda keluyuran sampe gempor, atau jalan kaki hiking ke tempat adem.
Libur kuliah adalah saat paling enggak asik. Sebagian besar teman-teman mudik. Biasanya yang tersisa di Bandung suka mendadak bikin acara. Bisa saja tiba-tiba kami putuskan pergi ke Yogya atau Pangandaran dengan modal seadanya (saya pernah ke Yogya hanya membawa uang 50 ribu saja) rame-rame naik mobil pinjaman dari salah satu orang tua teman saya. Sumpel-sumpelan satu mobil diisi 10 orang nggak masalah. Nginep di emperan mushala ya nggak masalah juga, jalan-jalan dari rumah bude yang satu ke bude yang lain (budenya teman tentunya, bukan budenya saya) buat minta makan enggak masalah juga. Tapi, semuanya dijalani dengan senang hati. Mungkin, itulah suasana yang cocok dengan lagunya Koes Plus "..hati senang walaupun tak punya uang...".
Kuliah selesai, masuklah ke dunia nyata. Ketika saya lulus bertepatan dengan masa resesi. Cari kerja luar biasa susah, Beruntung saya diajak untuk melanjutkan tugas akhir saya jadi penelitian, sehingga saya enggak jadi pengangguran 100% plus ada uang jajan sendiri. Tambahan lagi saya dapat order menuliskan 5 jurnal tentang perikanan dan kelautan. Untuk ukuran saat itu, bayaran yang saya terima lumayan. Apalagi tak lama setelah itu saya mendapatkan pekerjaan. Walau jauh dari apa yang saya pelajari saya jalani dulu. Maka ketika ada kesempatan sebagai editor, saya coba, dan ternyata saya bertahan hingga saat ini.
Kesempatan kuliah lagi datang di tahun 2006, setelah berbagai tes di beberapa PT untuk melanjutkan S2 (termasuk salah satu di LN) saya ikuti (dan lolos), akhirnya saya ambil di UPH, kecemplung di dunia pendidikan, bukan di laut, membuat saya yakin untuk memperdalam kompetensi saya. Walau tidak semenyenangkan waktu kuliah S1, saya jalani masa kuliah S2 dengan bahagia dan tentu saja saya lulus pakai embel-embel: dengan pujian!
Pertanyaan Titan, mengingatkan saya akan keinginan untuk sekolah lagi. Mengambil bidang yang akan memperkaya kompetensi saya. Tentu saya bayangkan kalau sekarang kuliah lagi, tidak akan semenyenangkan masa kuliah S1 dulu. Akan ada banyak beban yang harus saya sandang, termasuk protes Titan, kalau ibu kuliah lagi siapa yang nemenin Titan belajar? Tapi, saya juga yakin pasti akan ada solusinya...yang pasti saat ini perasaan saya seketika merindu..merindu masa-masa menyenangkan saat kuliah dulu....
Gara-gara pertanyaan itu saya jadi keingat-ingat lagi masa-masa kuliah dulu. Masa ketika hal yang paling sulit adalah menyelesaikan persamaan dengan integral lipat tiga. Bahkan, begadang bikin peta stratigrafi geologi fisik aja masih lumayan mudah mengingat ada mas asisten yang baik hati yang ada maunya, yang selalu rajin kasih bocoran peta (walhasil yang bahagia adalah teman-teman saya, sementara saya masih sombong banget mau bikin sendiri aja hahaha).
Saya ingat awal-awal kuliah di institut yang banyak cowoknya itu sebenarnya bukan pilihan utama saya. Sejak kecil saya sudah jatuh cinta pada laut, jadi ketika cita-cita saya sebagai polwan (serius, dulu saya gagah dan mantap kalau ditanya nanti mau jadi apa. Jawaban saya hanya satu dan konsisten: Polwan!) kandas gara-gara saya harus pakai kacamata sejak kelas 2 SMP, mendadak saya bercita-cita jadi ahli kelautan. Saya bayangkan keren banget kalau saya bisa menjelajahi laut di manapun. Ketika menjelang akhir SMA saya ditanya mau kuliah di mana, gagah sekali saya jawab Teknik kelautan di ITS. Langsung saja almarhum om saya protes keras, ngapain kamu ke sana? Di ITB juga ada! Duarrr...saya? Yang kalo belajar malesnya enggak ada dua? Yang kupernya minta ampun, disuruh daftar ke sana? Bayangin aja enggak pernah. Tapi, walau demikian dengan segala keterbatasan saya masuk juga di situ. Dan tentu saja jumpalitan lah saya, terutama di masa awal-awal kuliah. Terkaget-kaget saya bertemu cacing-cacing integral itu. Tahun kedua saya sempat menyesali pilihan saya dan pengen pindah jurusan atau pindah kuliah aja. Saya sukanya sama biologi atau kimia, kenapa saya malah ketemu sama fisika melulu? Begitu selalu yang ada di kepala saya.
Masa kuliah yang dijalani lumayan panjang (saya baru lulus 5.5 tahun gara2 nunda-nunda tugas akhir) ternyata adalah masa paling menyenangkan dalam periode masa sekolah saya. Kesenangan itu dimulai di hari pertama penataran P4. Bukan P4-nya yang bikin saya seneng, tapi seseorang yang selalu duduk di sebelah saya selama masa penataran bahkan sampai awal-awal masa kuliah. Lebay? Pastinya, judulnya juga suka hahaha.
Jadi, walaupun sempat pengen pindah, saya mulai suka dengan apa yang saya pelajari (tapi saya tetap gak suka ngurusin integral), terutama ketika mulai kuliah jurusan. Alhasil, tahun demi tahun walaupun pas-pasan bisa juga koq selesai.
Di kampus inilah, saya yang sangat kuper (bahkan saking kupernya, saya pernah tanya teman saya harus naik angkot yang mana untuk pulang. Keterlaluan sekali, bukan?) berubah jadi manusia yang suka keluyuran. Enggak ke mana-mana, enggak juga ke tempat yang aneh. Sebagian besar hidup saya dihabiskan di kampus, kalau enggak ada kuliah saya nangkring di unit atau di himpunan atau ngeluyur berenang atau sekedar muter-muter ke Lembang (minum susu doang padahal). Di antara kesintingan itu, saya nyambi jadi asisten praktikum plus jadi guru les privat, plus nyambi tukang terjemahin bahan paper teman-teman, atau nulisin jurnal kakak kelas yang males nyatet. Imbalannya, dari uang sampai cokelat seabrek-abrek! Lumayan juga, selama kuliah saya jarang sekali minta uang jajan sama orang tua.
Kalau sudah terlalu penat, kesenangan saya adalah ngendon di kamar nyokap sambil curhat, ngejugruk depan komputer maen games sampe jam 2 pagi, atau bersepeda keluyuran sampe gempor, atau jalan kaki hiking ke tempat adem.
Libur kuliah adalah saat paling enggak asik. Sebagian besar teman-teman mudik. Biasanya yang tersisa di Bandung suka mendadak bikin acara. Bisa saja tiba-tiba kami putuskan pergi ke Yogya atau Pangandaran dengan modal seadanya (saya pernah ke Yogya hanya membawa uang 50 ribu saja) rame-rame naik mobil pinjaman dari salah satu orang tua teman saya. Sumpel-sumpelan satu mobil diisi 10 orang nggak masalah. Nginep di emperan mushala ya nggak masalah juga, jalan-jalan dari rumah bude yang satu ke bude yang lain (budenya teman tentunya, bukan budenya saya) buat minta makan enggak masalah juga. Tapi, semuanya dijalani dengan senang hati. Mungkin, itulah suasana yang cocok dengan lagunya Koes Plus "..hati senang walaupun tak punya uang...".
Kuliah selesai, masuklah ke dunia nyata. Ketika saya lulus bertepatan dengan masa resesi. Cari kerja luar biasa susah, Beruntung saya diajak untuk melanjutkan tugas akhir saya jadi penelitian, sehingga saya enggak jadi pengangguran 100% plus ada uang jajan sendiri. Tambahan lagi saya dapat order menuliskan 5 jurnal tentang perikanan dan kelautan. Untuk ukuran saat itu, bayaran yang saya terima lumayan. Apalagi tak lama setelah itu saya mendapatkan pekerjaan. Walau jauh dari apa yang saya pelajari saya jalani dulu. Maka ketika ada kesempatan sebagai editor, saya coba, dan ternyata saya bertahan hingga saat ini.
Kesempatan kuliah lagi datang di tahun 2006, setelah berbagai tes di beberapa PT untuk melanjutkan S2 (termasuk salah satu di LN) saya ikuti (dan lolos), akhirnya saya ambil di UPH, kecemplung di dunia pendidikan, bukan di laut, membuat saya yakin untuk memperdalam kompetensi saya. Walau tidak semenyenangkan waktu kuliah S1, saya jalani masa kuliah S2 dengan bahagia dan tentu saja saya lulus pakai embel-embel: dengan pujian!
Pertanyaan Titan, mengingatkan saya akan keinginan untuk sekolah lagi. Mengambil bidang yang akan memperkaya kompetensi saya. Tentu saya bayangkan kalau sekarang kuliah lagi, tidak akan semenyenangkan masa kuliah S1 dulu. Akan ada banyak beban yang harus saya sandang, termasuk protes Titan, kalau ibu kuliah lagi siapa yang nemenin Titan belajar? Tapi, saya juga yakin pasti akan ada solusinya...yang pasti saat ini perasaan saya seketika merindu..merindu masa-masa menyenangkan saat kuliah dulu....
Subscribe to:
Posts (Atom)