Tuesday, 14 November 2017

Manado: di mana pisang berpadu dengan dabu-dabu

Beberapa waktu lalu saya ditugaskan ke Sulawesi, dari ujung selatan nyebrang ke ujung utara. Dari Makassar ke Manado. Kalau Makassar sudah beberapa kali saya kunjungi. Manado ini baru kali ini.

Manado sudah gelap gulita saat kami landing dari Makassar. Lapar dan lelah menyergap. Perjalanan dari Bandara menuju hotel juga lumayan jauh, jadi rasanya udah malas mau ngapa-ngapain. Namun, mengingat perut sangat lapar maka akhirnya memaksakan juga nyeret kaki untuk pergi makan. Berhubung sama sekali enggak punya referensi tempat makan yang enak di Manado, juga sudah malas nyari-nyari akhirnya diputuskan saja pergi ke Wisata Bahari (referensi dari orang hotel). Itu adalah resto sea food yang agaknya cukup terkenal di Manado. Lokasinya di mal, tepat di tepi pantai, tapi berhubung udah gelap ya enggak keliatan juga.

Sampai sana agak kaget, meja makannya buesarrr banget. Kalau duduk sebrangan kayaknya kudu pake toa kalau mau ngobrol. Lebih kaget lagi pas pesanan makanan datang: Semangkuk besar tom yam gung (itu cukup buat 5 orang), sepiring buncis daging sapi (ini walau banyak kami sikat habis karena buncisnya luar biasa uenakkk), seekor ikan bakar, satu mangkuk besar salad buah (ini juga kami sikat habis karena rasanya enak bangettttt). Hanya nasi yang enggak saya sentuh. Sudah kenyang sangat. Usut punya usut, saya dikasih tau sama sopir taksi online dan orang kantor bahwa orang Manado ini suka makan dan suka pesta (dan betul kalau diperhatikan semua meja di resto ini terisi penuh dengan keluarga-keluarga besar, hanya kami yang mejanya hanya terisi dua orang saja).

Pagi itu kami memulai tugas. Rupanya kantor tempat kami presentasi terletak tepat di tepi pantai, Marina namanya. Pagi ini,  kami cukup menikmati dari jauh saja birunya ombak dan langit. Hingga menjelang senja kami selesaikan tugas di kantor. Barulah selesai tugas kami bisa melipir ke toko oleh-oleh dan mencari cakalang fufu sekaligus pengen coba klappertart yang asli Manado. Dan memang setelah dicoba rasanya luar biasa enakkk.




Malamnya barulah kami coba mencari makanan khas Manado. Bermodalkan GPS akhirnya dapat juga satu rumah kopi yang jaraknya sekitar 2km dari hotel. Lumayan juga keluar masuk gang sampe ketemu tempatnya.

Rumah kopi itu sebutan warung kopi di Manado. Tempat nongkrong yang selain menyediakan kopi juga menyediakan aneka makanan khas manado. Langsung saja saya pesan tinutuan (bubur khas Manado yang isinya kangkung, ubi, dan labu kuning yang dibumbui rempah dan dilengkapi dabu dabu roa), pisang dabu dabu dan sejenis peyek ikan (saya lupa namanya tapi rasanya enak banget). Si nona hitam manis yang jadi server di rumah kopi itu semangat sekali menawarkan aneka makanan. Ada yang lucu, si nona hitam manis menawarkan onde-onde. Saya pikir onde-onde itu seperti di sini, ternyata yang disebut onde-onde adalah kelepon yang berukuran jumbo. Saya membayangkan ketika digigit itu gula akan langsung muncrat dari mulut (abisan keleponnya guede banget). Selain kelepon makanan lain yang pasti ada di rumah kopi adalah mie cakalang (seperti mie ayam, tapi pakai cakalang instead of ayam), dan garoho (sejenis keripik pisang, dinikmati dengan dabu dabu roa). Hebatnya lagi, seluruh makanan di sini disajikan dalam keadaan baru dimasak alias fresh. Wah, kalau seminggu di sini saya bisa nambah bobot berapa kilo ya?



Pagi sebelum ke bandara saya sempatkan melihat sedikit kota Manado. Satu-satunya tempat yang bisa kami datangi hanya Jembatan Sukarno. Jembatan yang berada di wilayah Marina ini adalah salah satu icon kota Manado. Kebetulan hari itu Sabtu pagi sehingga ada car free day. Banyak warga yang olahraga di sini. Jembatannya mirip seperti Jembatan Pasopati di Bandung. Dari arah Marina jembatan ini berada persis di atas pelabuhan Manado (kalau mau ke Bunaken nyebrangnya dari sini) dan Pasar Ikan. Senang saya menikmati kesibukan di Pasar Ikan walau kalau harus turun pasti ogah mengingat baunya yang lumayan hahaha. Jadi dengan senang hati saya asyik menikmati kesibukan dari atas jembatan ditimpahi suara musik yang menghentak dari penduduk yang ternyata senang menikmati musik dengan volume super keras dari audio mobilnya. Cukup mengguncang pagi yang hening.











Ada satu pedagang yang menarik perhatian saya. Pedagang ikan sotong. Cara berjualannya yang tanpa timbangan menarik untuk diperhatikan. Ikan sotong yang ia taruh dalam ember-ember diletakkan setumpuk-setumpuk di atas meja jualannya. Alat ukurnya adalah kedua telapak tangannya. Jadi setumpuk itu adalah hasil raupan kedua telapak tangannya. Ketika datang pembeli dia ambil tumpukkan yang diinginkan pembeli, dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan dibayar. Done! Dan jualannya cepat sekali habis.



Tak terasa matahari semakin tinggi. Saya harus bergegas meninggalkan kota ini. Hanya 2 malam di sini dan hanya bagian kecil kota ini saja yang sempat saya lihat dan nikmati, tapi buat saya kota ini menyenangkan. Manado, I will definitelly datang lagi. Saya makin suka dengan kota ini juga gara-gara Hujan Bulan Juni. Next time saya akan datang, tentu dengan my Titan untuk menjelajah ke Tondano, Tomohon, dan Bunaken. Insha Allah.