Wednesday, 13 December 2017

Menjejak Tapal Batas: a short trip to Jayapura



Pagi sudah tinggi saat pesawat yang kami tumpangi merendah di atas di Bandara Sentani. Pemandangan indah Danau Sentani dan Pegunungan Cyclops menyergap mata, menyajikan harmoni warna alam yang indah.

Bandara Sentani tidak terlalu besar, namun penerbangan masuk dan keluar sepertinya cukup padat. Runway pesawat yang agak menjorok ke Danau Sentani menyajikan pemandangan indah saat take off dan landing. Sementara Pegunungan Cyclops di latar belakang seakan memagari bandara dari danau. Panas menyergap tubuh saat kami keluar bandara. Selamat datang di Pulau paling Timur Indonesia.

Driver dari rental kendaraan sudah menjemput sehingga kami bisa langsung ke jalan-jalan. Tubuh agak penat mengingat sepanjang penerbangan saya nyaris enggak bisa tidur. Selain karena harus transit di Makassar pukul 01 pagi juga karena rasanya berisik sekali di pesawat. Jadi, pagi ini dengan semangat yang sedikit melorot karena lelah ditambah enggak bisa mandi (Bandara Sentani ini agaknya harus diperbesar dan diperbaiki fasilitasnya), tapi saya tetap bertekad menikmati liburan.
Tujuan pertama adalah ke Fort Mac Arthur. Lokasinya enggak terlalu jauh dari bandara, di dalam kompleks Rindam XVIII TRIKORA. Memasuki kompleks militer kami harus melapor dan meninggalkan KTP di pintu masuk. Selama berada di dalam kompleks kami harus selalu membuka kaca jendela mobil dan tidak boleh memakai kacamata hitam. 

Pagi itu gerbang ke area tugu masih tutup. Hari memang masih lumayan pagi, jadi kami pergi menunggu di satu tebing dekat Fort MacArthur. Di situ mata kami dimanjakan pemandangan indah Danau Sentani dari ketinggian.
Di depan saya membentang Danau Sentani yang jernih dan tenang. Di sekelilingnya dipagari oleh Cyclops Mountain dengan warna hijaunya yang  bergradasi. Dari kejauhan kami bisa memandang ke arah Bandara Sentani yang walau kecil tapi sibuk. Pesawat besar kecil terbang dan mendarat melintasi danau. Suasana pagi yang benderang namun tenang benar-benar mendamaikan hati.
Pukul 9 kami ke Fort MacArthur lagi. Untunglah ada penduduk setempat yang bertugas membersihkan lapangan membukakan gerbang, jadi kami bisa masuk. Terima kasih, Pace.
Tempat ini luar biasa cantik. Begitu turun dari mobil kami disambut pemandangan indah. Ah, rasanya saya bisa hanya duduk di sini berjam-jam menikmati indahnya pemandangan Danau Sentani yang berpagar Pegunungan Cyclops. Damai sekali. 
 


Fort MacArthur adalah pusat komando pasukan A.S. yang saat itu masuk ke Jayapura untuk melumpuhkan tentara Jepang saat PD II. Di sinilah lokasi pendaratan Jendral Douglas MacArthur selaku Kepala Staf Angkatan Darat A.S yang juga tokoh PD1, PD II, dan Perang Korea. Di sini jugalah MacArthur merencanakan penyerbuan Pangkalan Jepang di Filipina.
Di sini sebenarnya ada pusat informasi mengenai Fort MacArthur, namun sayangnya saat kami di sana tempatnya masih tutup, jadi kami tidak bisa masuk.

Puas memandang Danau Sentani dari sini kami beranjak menuju Kampung Asey. Menuju Kampung Asey ini kami harus menyeberang sejauh 500 meter ke Pulau Asey. Saya enggan menyewa perahu jadi saya memilih nyebrang bareng-bareng penduduk lokal pakai perahu klotok. Biaya penyebrangan hanya Rp6.000,00 per orang dan saya rasa ini akan menyenangkan duduk di antara penduduk lokal.
Perahu mengalun tenang di permukaan Danau Sentani. Di kejauhan sudah terlihat jajaran rumah penduduk pulau-pulau kecil yang ada di kawasan Danau Sentani. Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di Pulau Asey. Dan langsung menuju pendopo. Pulau ini adalah sentra kerajinan kulit kayu Papua. Di sini penduduknya mengolah Kayu Ombou yang banyak tumbuh liar di wilayah ini. Kulit kayu ombou diambil dengan cara menguliti batangnya dan diratakan dengan batu, lalu dilukis dengan motif khas Papua. Warna yang digunakan umumnya warna alami: merah, hitam, dan putih. Merah berasal dari Buah Merah, hitam berasal dari arang, dan putih berasal dari kapur tohor (kapur ini juga digunakan untuk menginang).


Saat saya singgah di sana, beberapa penduduk sedang belajar membuat desain kap lampu dan hiasan berbentuk pohon natal dari kulit kayu. Ternyata ada beberapa petugas dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang datang untuk membina penduduk agar tidak hanya menghasilkan lukisan kulit kayu, namun juga membuat aneka benda yang memiliki nilai guna dan nilai jual, seperti tas kulit kayu, dompet, kap lampu, aneka benda lainnya.
Kayu ombou ini banyak tumbuh liar di wilayah ini, saat saya tanya kenapa tidak dibudidayakan supaya tetap ada, salah satu penduduk menjelaskan bahwa sudah pernah dicoba oleh dinas kehutanan, namun kualitas kayu yang dihasilkan kurang bagus. Pohonnya banyak memiliki bisul sehingga kulitnya tidak mulus. Beda dengan pohon yang tumbuh liar, kulitnya mulus sehingga memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kanvas lukis.

Melihat sekeliling pendopo yang dikelilingi rumah-rumah penduduk, anak-anak berlarian di lapangan sebelah pendopo. Babi dan anjing peliharaan penduduk berkeliaran bebas. Beberapa ibu sedang mengerjakan pekerjaan rumah tanggga. Sementara beberapa warga lain asik membuat kerajinan kulit kayu sambil bercengkrama dan menginang.
Menginang, ini adalah tradisi turun temurun penduduk Papua. Tua muda pria wanita mengunyah buah pinang dicampur dengan kapur sambil mengigit buah sirih (bentuknya seperti buncis) menghasilkan warna merah di mulut. Kebiasaan unik dan agak sedikit jorok mengingat mereka kadangkala meludah sembarangan (ludah campur sari buah pinang yang warnanya merah ini gak mudah hilang sehingga menimbulkan bercak bercak merah di tanah, aspal, beton, jalan). Tak heran memang di beberapa tempat saya melihat rambu: Dilarang Membuang Ludah Pinang Sembarangan. Rambu ini hanya saya temukan di Papua hahaha.

Puas di Kampung Asey, kami kembali ke mainland dan menuju ke Museum Provinsi Papua. Sayangnya musieum itu tutup! Batal sudah, akhirnya kami menuju rumah makan Yogwa. Di sana kami makan sambil menunggu Jumatan. Yogwa ini terdapat di tepi Danau Sentani. Jadi sambil makan kami puas memandang danau. Makanan utamanya memang ikan, terutama ikan mujair. Di danau banyak terdapat budidaya ikan mujair dalam keramba. Nah, untuk harga makanan di Jayapura ini memang spektakuler. Sepotong ikan mujair bakar ukuran sebesar telapak tangan harganya 85k, kalau yang lebih besar tentu lebih mahal. Jadi, untuk makan bertiga paling tidak merogoh 350K sekali makan.
Sehabis makan, saya menunggu Titan dan driver jumatan dulu. Setelah itu kami menuju Danau Imfote alias danau love. Danau ini mendapat namanya dari bentuknya yang heart shape. Lokasinya di Kecamatan Ebungfau di Kabupaten Jayapura. Lumayan jauh perjalanan ke sana, sekitar 1 jam kami berkendara melalui jalan-jalan kecil (tapi sudah beraspal) di tengah antah berantah. Tapiiiiii pemandangan sepanjang perjalanan cantik banget.
Setiba di sana, lelah perjalanan terbayarkan oleh keindahan danau dan sekelilingnya. Danau Imfote berada di lembah, dikelilingi bukit-bukit bagian Pegunungan Cyclops. Danau berbentuk hati ini memiliki air yang jernih dan permukaan air yang tenang. Di sekelilingnya tidak ada permukiman penduduk sama sekali. Quiet, serene, menyenangkan. Dibatasi bukit, terlihat permukaan Danau Sentani dengan airnya yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sementara kemanapun mata saya memandang saya akan melihat bagian Pegunungan Cyclops yang kehijauan. Saya jatuh cinta dengan keindahan tempat ini. Breathtaking view. Saya bilang, warga sini amat dimanjakan Tuhan dengan alamnya yang luar biasa cantik.


Agak lama saya menikmati keindahan di Danau Imfote sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan yang meliuk liuk naik turun mata saya dimanjakan oleh pemandangan sekitar Danau Sentani. Begitu meninggalkan Abepura dan masuk ke Jayapura pemandangan Teluk Yos Sudarso (dulu namanya Teluk Humbolt dan sering disebut Teluk Hamadi) menyambut pandangan mata. Driver mengajak kami ke salah satu titik tertinggi di Jayapura yang namanya Jayapura City atau sering disebut Jayapurawood. Di sana terhampar pandangan Teluk Yos Sudarso dari ketinggian. Kota ini cantik walau tata kotanya semrawut tapi pemandangannya luar biasa. Dari titik ini saya bisa melihat kota Jayapura yang menghampar di bawah saya. 


Teluk Yos Sudarso (agaknya nama ini diperoleh dari nama Pahlawan yang membela Irian Barat saat Operasi Trikora), tidak terlalu besar dan melindungi daratan Jayapura dari terjangan ombak Samudra Pasifik. Akibatnya, perairannya begitu tenang, nyaris tak berombak. Di bawah saya, Pelabuhan Jayapura yang tidak terlalu besar namun cukup ramai disinggahi kapal-kapal dari berbagai tempat.
Puas memandang Jayapura dari atas, kami mengunjungi toko Aneka Batik. Di toko ini tersedia aneka batik bermotif khas Papua. Motifnya cantik-cantik dan harganya enggak terlalu mahal. Hanya saya sayangnya ukurannya big size semua, sehingga saya hanya dapat 1 rok lilit dan satu tempat pensil saja. Tapi beneran, batiknya keren-keren.
Puas jalan-jalan kami segera menuju hotel. Rasanya sudah lengket 24 jam enggak mandi. Sehabis mandi barulah terasa bahwa kami sangat lelah. Namun perut lapar memaksa kami beranjak mencari makan. Untungnya hotel tempat kami menginap dikelilingi banyak tempat makan. Dan mengikuti rekomendasi kami makan di salah satu rumah makan di tepian pantai. Makanannya tentu saja ikan bakar. Makanannya enak, apalagi ikan bakar disajikan dengan aneka sambal. Dari sambal mentah, sambal goreng, sambal kecap, dan bumbu kuning disajikan dalam mangkuk-mangkuk kecil sebagai pelengkap ikan bakar yang kami pesan. Rasanya? Pastilah enak. Dan satu potong besar ikan bakar plus cumi asam manis segera lenyap kami santap.

Malam sudah beranjak, saya lupa bahwa di sini waktunya 2 jam lebih cepat. Kami segera menuju hotel dan terlelap dengan segera. Lelah dan puas membuat tidur kami begitu lelap.

Selamat pagi Jayapura! Begitu terbangun saya langsung menuju jendela, dan ... hujan!!! Arggghh padahal kami hari ini akan menuju Desa Skouw. Pukul 8 lebih kami sudah dijemput driver untuk menuju Desa Skouw. Perjalanan ke sana lumayan jauh, 2 jam perjalanan melalui jalanan yang berliku-liku. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan pantai. Pulau ini memang cantik, ke manapun mata memandang kami mendapatkan pemandangan unik. Jayapura sendiri sudah sangat modern. Nyaris enggak ada bedanya dengan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan saya rasa ini lebih ramai dibanding Manado, Purwokerto, atau Jambi. Jalanan di sini mengikuti kontur pulaunya yang berbukit-bukit. Ada 3 jalur jalan: jalur bawah dekat pantai, jalur tengah, dan jalur atas. Saya paling suka jalur atas soalnya bisa melihat keindahan teluk tanpa banyak halangan.
Sepanjang jalan menuju Desa Skouw hujan terus merintik. Saat memasuki Desa Skouw kami melapor di check point. Di sana kami meninggalkan KTP dan mengisi buku tamu. Check point ini dijaga oleh TNI AD. Selepas dari sana kami menuju bangunan imigrasi. Di sini kami harus berjalan kaki. Bangunan yang baru diresmikan Oktober lalu ini bagus dan modern, namun sayangnya kebersihannya enggak terjaga. Tamannya juga kurang dirawat. Sayang sekali.
Di imigrasi kami hanya melewati jalur lokal tanpa harus menunjukkan paspor atau ID apapun. Jadi kami bisa berjalan menuju ke gerbang perbatasan dengan PNG. Banyak penduduk PNG yang masuk ke wilayah Indonesia untuk berbelanja di Pasar Skouw karena lebih dekat dan lebih murah. Penduduk PNG masuk ke Skouw membawa gerobak pasir sebagai troli belanja. Dan saya mau tertawa lihat belanjaan favorit mereka: mie instan dan pop mie hahahaha.
Di antara gerbang masuk RI dan PNG saya melihat banyak yang sedang transaksi. Agak takut saya mendekat sedekat mungkin, ingin lihat apa yang diperjualbelikan mengingat koq seperti disembunyikan. Setelah saya perhatikan ternyata mereka jual beli buah vanili. Dijual dalam ikatan-ikatan dan ditimbang. Menurut petugas jaga, vanili ini harganya sangat mahal. Yang membawa petani dari PNG. Harganya per kilo bisa mencapai angka 4 juta. Wowwww!!! Padahal saya udah ngiler mau ikutan beli buat bikin kue hahahaha.
Sayangnya kami enggak bisa ke Pasar Skouw mengingat sangat becek dan bagian utama pasar sedang dalam proses pemugaran. Jadinya saya batalkan masuk ke pasar dan langsung kembali ke Jayapura.



Di perjalanan menuju Jayapura kami singgah di Pantai Holtekamp. Pantainya tenang dan indah dan persis berada di tepi jalan. Di salah satu bagian pantai (tepatnya di Kampung Holtekamp) inilah lokasi PLTU Holtekamp yang baru diresmikan pertengahan taun ini. Kami juga mampir sejenak di Pasar Youtefa. Sayangnya karena baru habis hujan, pasarnya becek sekali. Namun demikian, saya berhasil dapat buah matoa kelapa. Saya langsung membelinya dari penduduk lokal yang menjual hanya buah matoa, buah pinang, dan buah sirih. Agaknya hasil panen dari kebun sendiri. Buah-buah ini dijual dalam tumpukan-tumpukan tanpa timbangan. 1 tumpuk buah matoa dijual seharga 20k. Saya sempat mengobrol sebentar dengan mace yang jualan. Akhiranya setelah ditertawakan karena saya tidak tahu bagaimana cara memecahkan kulit buah matoa yang keras (ternyata ya kayak makan rambutan atau lengkeng) saya membeli 5 tumpuk. Banyak!! Saya sempat mencicipi satu buah dan rasanya manis, antara rasa lengkeng dan wangi durian. Sedap!!! Sempat saya berkeliling pasar melihat bagian luarnya saja karena becek luar biasa. Paling banyak saya temukan adalah penjual aneka umbi. Mengingat ini adalah makanan utama penduduk Papua maka banyak sekali penjual umbi-umbian. Satu hal, seluruh umbi yang dijual (talas, ubi jalar, yam, dan entah apa lagi jenisnya) sudah dalam keadaan bersih. Seperti di supermarket, enggak belepotan tanah dan ukurannya jumbo semua. Sepertinya beli ubi merah di sini untuk kolak yummmmm rasanya. Di bagian daging saya lihat potongan kepala babi yang sudah dikuliti lengkap dengan kupingnya, hiiiii.... 



Dari sana kami menuju RM Maros untuk makan siang. Dan menu hari ini adalah gurame bakar (lagi). Enggak lama kami lanjut ke Pasar Hamadi membeli beberapa souvenir untuk oleh-oleh. Di Pasar ini banyak penjual souvenir khas Papua: koteka, lukisan kayu ombouw, aneka gelang dan kalung, noken, hingga totem-totem Suku Asmat. Keren-keren. Saya senang sekali melihat ukiran, lukisan bermotif khas Papua.

Dari pasar Hamadi kami menuju Pantai Base G di Jayapura. Pantai ini agak berombak karena langsung menghadap ke Samudra Pasifik. Ah, bunyi deru ombak, suasana yang menyenangkan membuat saya betah duduk berlama-lama di tepiannya. Anak-anak dan penduduk lokal berenang menikmati dinginnya air laut. Pantainya sendiri berpasir putih, bersih, dan agak curam. Tidak jauh dari pantai terlihat gosong karang yang menghampar luas. 

Puas menikmati Pantai Base G, kami lanjut kembali ke pusat kota melewati jalur atas. Di Jalan Kasuari saya ditunjukkan satu cafe yang khusus menyajikan kopi single origin Wamena. Langsung saja saya minta belok ke sana. Pit’s Corner Cafe namanya. Saya mesan v60 Wamena. Dan senangnya saya karena barista membolehkan saya menyeduh kopi sendiri dengan arahan barista. Jadilah saya menikmati kopi hasil kolaborasi barista gadungan dan barista aslinya hahahaha. Rasanya sedap walau harganya lumayan mahal untuk ukuran Bandung. Segelas V60 Wamena harganya 60k (saya beli juga bijinya seharga 90K untuk 200gr). 



Hari sudah sore dan rasa lelah sudah mulai menyergap. Akhirnya kami putuskan kembali ke hotel. Sebelumnya kami mampir di Manokwari Bakery membeli Roti gulung abon. Makanan satu ini konon adalah oleh-oleh khas Jayapura. 2 kotak besar roti gulung langsung masuk kantong. Kami juga membeli beberapa buah untuk dinikmati di hotel. Dan ketika saya cicipi rasanya emang luar biasa enak. Roti yang lembut berpadu dengan abon sapi yang manis dan banyakkkkk rasanya emang uenak pakai banget (jangan tanya berapa kalorinya). 

Hari terakhir di Jayapura. Saya enggak bisa tidur karena di luar ramai sekali. Malam minggu di sini rasanya berisik sekali. Hari ini kami akan kembali ke Jakarta. Penerbangan agak siang sehingga kami bisa menikmati sarapan dengan santai. Pagi itu kami memilih sarapan di tepi laut. Hotel kami memang berada di tepi pelabuhan, tepat di seberang tulisan Jayapura City (sayangnya selama kami di sana kami tidak lihat lampunya menyala). Jadi, dari meja makan kami bisa memandang pelabuhan dan Teluk Yos Sudarso. Usai sarapan kami bersiap untuk menuju bandara. 



Usai sudah liburan singkat di Jayapura. Singkat, namun meninggalkan kesan yang dalam: keindahan alam. keramahan penduduk, persahabatan yang manis. Awalnya saya agak kuatir pergi ke sini. Namun semua kekuatiran saya hilang tak berbekas. Orang Papua ternyata ramah, alam Papua juga ramah dan cantik. Tadinya saya ketakutan dengan nyamuk malaria. Hampir saya memaksa semua orang minum pil kina sebelum berangkat hahahaha. I will definitelly balik lagi ke bagian pulau yang lain. Insha Allah.

Tuntas sudah saya menginjakkan kaki di lima pulau besar utama di Indonesia. Bucket list saya masih panjang, saya masih ingin ke Sorong dan Merauke untuk menginjakkan kaki di ujung paling timur Indonesia, menuntaskan syair lagu Dari Sabang sampai Merauke.  Saya juga masih ingin menginjakkan kaki saya di tempat cantik lainnya di Indonesia. My country is so wonderful. I love Indonesia.