Pagi sudah tinggi saat pesawat yang kami tumpangi merendah di atas di Bandara Sentani. Pemandangan indah Danau Sentani dan Pegunungan Cyclops menyergap mata, menyajikan harmoni warna alam yang indah.
Bandara Sentani tidak terlalu besar, namun penerbangan masuk
dan keluar sepertinya cukup padat. Runway pesawat yang agak menjorok ke Danau
Sentani menyajikan pemandangan indah saat take off dan landing. Sementara Pegunungan Cyclops di latar belakang seakan memagari bandara dari danau. Panas menyergap
tubuh saat kami keluar bandara. Selamat datang di Pulau paling Timur Indonesia.
Driver dari rental kendaraan sudah menjemput sehingga kami
bisa langsung ke jalan-jalan. Tubuh agak penat mengingat sepanjang penerbangan
saya nyaris enggak bisa tidur. Selain karena harus transit di Makassar pukul 01
pagi juga karena rasanya berisik sekali di pesawat. Jadi, pagi ini dengan
semangat yang sedikit melorot karena lelah ditambah enggak bisa mandi (Bandara
Sentani ini agaknya harus diperbesar dan diperbaiki fasilitasnya), tapi saya
tetap bertekad menikmati liburan.
Tujuan pertama adalah ke Fort Mac Arthur. Lokasinya enggak
terlalu jauh dari bandara, di dalam kompleks Rindam XVIII TRIKORA. Memasuki
kompleks militer kami harus melapor dan meninggalkan KTP di pintu masuk. Selama
berada di dalam kompleks kami harus selalu membuka kaca jendela mobil dan tidak
boleh memakai kacamata hitam.
Pagi itu gerbang ke area tugu masih tutup. Hari
memang masih lumayan pagi, jadi kami pergi menunggu di satu tebing dekat Fort MacArthur.
Di situ mata kami dimanjakan pemandangan indah Danau Sentani dari ketinggian.
Di depan saya membentang Danau Sentani yang jernih dan
tenang. Di sekelilingnya dipagari oleh Cyclops Mountain dengan warna hijaunya
yang bergradasi. Dari kejauhan kami bisa
memandang ke arah Bandara Sentani yang walau kecil tapi sibuk. Pesawat besar
kecil terbang dan mendarat melintasi danau. Suasana pagi yang benderang namun
tenang benar-benar mendamaikan hati.
Pukul 9 kami ke Fort MacArthur lagi. Untunglah ada penduduk
setempat yang bertugas membersihkan lapangan membukakan gerbang, jadi kami bisa
masuk. Terima kasih, Pace.
Tempat ini luar biasa cantik. Begitu turun dari mobil kami
disambut pemandangan indah. Ah, rasanya saya bisa hanya duduk di sini
berjam-jam menikmati indahnya pemandangan Danau Sentani yang berpagar
Pegunungan Cyclops. Damai sekali.
Fort MacArthur adalah pusat komando pasukan A.S. yang saat itu
masuk ke Jayapura untuk melumpuhkan tentara Jepang saat PD II. Di sinilah
lokasi pendaratan Jendral Douglas MacArthur selaku Kepala Staf Angkatan Darat
A.S yang juga tokoh PD1, PD II, dan Perang Korea. Di sini jugalah MacArthur
merencanakan penyerbuan Pangkalan Jepang di Filipina.
Di sini sebenarnya ada pusat informasi mengenai Fort
MacArthur, namun sayangnya saat kami di sana tempatnya masih tutup, jadi kami
tidak bisa masuk.
Puas memandang Danau Sentani dari sini kami beranjak menuju
Kampung Asey. Menuju Kampung Asey ini kami harus menyeberang sejauh 500 meter ke
Pulau Asey. Saya enggan menyewa perahu jadi saya memilih nyebrang bareng-bareng
penduduk lokal pakai perahu klotok. Biaya penyebrangan hanya Rp6.000,00 per
orang dan saya rasa ini akan menyenangkan duduk di antara penduduk lokal.
Perahu mengalun tenang di permukaan Danau Sentani. Di
kejauhan sudah terlihat jajaran rumah penduduk pulau-pulau kecil yang ada di
kawasan Danau Sentani. Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di Pulau Asey. Dan
langsung menuju pendopo. Pulau ini adalah sentra kerajinan kulit kayu Papua. Di
sini penduduknya mengolah Kayu Ombou yang banyak tumbuh liar di wilayah ini.
Kulit kayu ombou diambil dengan cara menguliti batangnya dan diratakan dengan
batu, lalu dilukis dengan motif khas Papua. Warna yang digunakan umumnya warna
alami: merah, hitam, dan putih. Merah berasal dari Buah Merah, hitam berasal
dari arang, dan putih berasal dari kapur tohor (kapur ini juga digunakan untuk
menginang).
Saat saya singgah di sana, beberapa penduduk sedang belajar
membuat desain kap lampu dan hiasan berbentuk pohon natal dari kulit kayu.
Ternyata ada beberapa petugas dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang
datang untuk membina penduduk agar tidak hanya menghasilkan lukisan kulit kayu,
namun juga membuat aneka benda yang memiliki nilai guna dan nilai jual, seperti
tas kulit kayu, dompet, kap lampu, aneka benda lainnya.
Kayu ombou ini banyak tumbuh liar di wilayah ini, saat saya
tanya kenapa tidak dibudidayakan supaya tetap ada, salah satu penduduk
menjelaskan bahwa sudah pernah dicoba oleh dinas kehutanan, namun kualitas kayu
yang dihasilkan kurang bagus. Pohonnya banyak memiliki bisul sehingga kulitnya
tidak mulus. Beda dengan pohon yang tumbuh liar, kulitnya mulus sehingga
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kanvas lukis.
Melihat sekeliling pendopo yang dikelilingi rumah-rumah
penduduk, anak-anak berlarian di lapangan sebelah pendopo. Babi dan anjing
peliharaan penduduk berkeliaran bebas. Beberapa ibu sedang mengerjakan
pekerjaan rumah tanggga. Sementara beberapa warga lain asik membuat kerajinan
kulit kayu sambil bercengkrama dan menginang.
Menginang, ini adalah tradisi turun temurun penduduk Papua.
Tua muda pria wanita mengunyah buah pinang dicampur dengan kapur sambil
mengigit buah sirih (bentuknya seperti buncis) menghasilkan warna merah di
mulut. Kebiasaan unik dan agak sedikit jorok mengingat mereka kadangkala
meludah sembarangan (ludah campur sari buah pinang yang warnanya merah ini gak
mudah hilang sehingga menimbulkan bercak bercak merah di tanah, aspal, beton,
jalan). Tak heran memang di beberapa tempat saya melihat rambu: Dilarang Membuang
Ludah Pinang Sembarangan. Rambu ini hanya saya temukan di Papua hahaha.
Puas di Kampung Asey, kami kembali ke mainland dan menuju ke
Museum Provinsi Papua. Sayangnya musieum itu tutup! Batal sudah, akhirnya kami
menuju rumah makan Yogwa. Di sana kami makan sambil menunggu Jumatan. Yogwa ini
terdapat di tepi Danau Sentani. Jadi sambil makan kami puas memandang danau.
Makanan utamanya memang ikan, terutama ikan mujair. Di danau banyak terdapat
budidaya ikan mujair dalam keramba. Nah, untuk harga makanan di Jayapura ini
memang spektakuler. Sepotong ikan mujair bakar ukuran sebesar telapak tangan
harganya 85k, kalau yang lebih besar tentu lebih mahal. Jadi, untuk makan
bertiga paling tidak merogoh 350K sekali makan.
Sehabis makan, saya menunggu Titan dan driver jumatan dulu.
Setelah itu kami menuju Danau Imfote alias danau love. Danau ini mendapat
namanya dari bentuknya yang heart shape. Lokasinya di Kecamatan Ebungfau di
Kabupaten Jayapura. Lumayan jauh perjalanan ke sana, sekitar 1 jam kami
berkendara melalui jalan-jalan kecil (tapi sudah beraspal) di tengah antah
berantah. Tapiiiiii pemandangan sepanjang perjalanan cantik banget.
Setiba di sana, lelah perjalanan terbayarkan oleh keindahan
danau dan sekelilingnya. Danau Imfote berada di lembah, dikelilingi bukit-bukit
bagian Pegunungan Cyclops. Danau berbentuk hati ini memiliki air yang jernih
dan permukaan air yang tenang. Di sekelilingnya tidak ada permukiman penduduk
sama sekali. Quiet, serene, menyenangkan. Dibatasi bukit, terlihat permukaan
Danau Sentani dengan airnya yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sementara
kemanapun mata saya memandang saya akan melihat bagian Pegunungan Cyclops yang
kehijauan. Saya jatuh cinta dengan keindahan tempat ini. Breathtaking view.
Saya bilang, warga sini amat dimanjakan Tuhan dengan alamnya yang luar biasa
cantik.
Agak lama saya menikmati keindahan di Danau Imfote sebelum
melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan
yang meliuk liuk naik turun mata saya dimanjakan oleh pemandangan sekitar Danau
Sentani. Begitu meninggalkan Abepura dan masuk ke Jayapura pemandangan Teluk
Yos Sudarso (dulu namanya Teluk Humbolt dan sering disebut Teluk Hamadi)
menyambut pandangan mata. Driver mengajak kami ke salah satu titik tertinggi di
Jayapura yang namanya Jayapura City atau sering disebut Jayapurawood. Di sana
terhampar pandangan Teluk Yos Sudarso dari ketinggian. Kota ini cantik walau
tata kotanya semrawut tapi pemandangannya luar biasa. Dari titik ini saya bisa
melihat kota Jayapura yang menghampar di bawah saya.
Teluk Yos Sudarso (agaknya nama ini diperoleh dari nama
Pahlawan yang membela Irian Barat saat Operasi Trikora), tidak terlalu besar
dan melindungi daratan Jayapura dari terjangan ombak Samudra Pasifik. Akibatnya,
perairannya begitu tenang, nyaris tak berombak. Di bawah saya, Pelabuhan
Jayapura yang tidak terlalu besar namun cukup ramai disinggahi kapal-kapal dari
berbagai tempat.
Puas memandang Jayapura dari atas, kami mengunjungi toko
Aneka Batik. Di toko ini tersedia aneka batik bermotif khas Papua. Motifnya
cantik-cantik dan harganya enggak terlalu mahal. Hanya saya sayangnya ukurannya
big size semua, sehingga saya hanya dapat 1 rok lilit dan satu tempat pensil
saja. Tapi beneran, batiknya keren-keren.
Puas jalan-jalan kami segera menuju hotel. Rasanya sudah
lengket 24 jam enggak mandi. Sehabis mandi barulah terasa bahwa kami sangat
lelah. Namun perut lapar memaksa kami beranjak mencari makan. Untungnya hotel
tempat kami menginap dikelilingi banyak tempat makan. Dan mengikuti rekomendasi
kami makan di salah satu rumah makan di tepian pantai. Makanannya tentu saja
ikan bakar. Makanannya enak, apalagi ikan bakar disajikan dengan aneka sambal. Dari
sambal mentah, sambal goreng, sambal kecap, dan bumbu kuning disajikan dalam mangkuk-mangkuk
kecil sebagai pelengkap ikan bakar yang kami pesan. Rasanya? Pastilah enak. Dan
satu potong besar ikan bakar plus cumi asam manis segera lenyap kami santap.
Malam sudah beranjak, saya lupa bahwa di sini waktunya 2 jam
lebih cepat. Kami segera menuju hotel dan terlelap dengan segera. Lelah dan puas
membuat tidur kami begitu lelap.
Selamat pagi Jayapura! Begitu terbangun saya langsung menuju
jendela, dan ... hujan!!! Arggghh padahal kami hari ini akan menuju Desa Skouw.
Pukul 8 lebih kami sudah dijemput driver untuk menuju Desa Skouw. Perjalanan ke
sana lumayan jauh, 2 jam perjalanan melalui jalanan yang berliku-liku.
Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan pantai. Pulau ini memang cantik,
ke manapun mata memandang kami mendapatkan pemandangan unik. Jayapura sendiri
sudah sangat modern. Nyaris enggak ada bedanya dengan kota-kota lain di
Indonesia. Bahkan saya rasa ini lebih ramai dibanding Manado, Purwokerto, atau
Jambi. Jalanan di sini mengikuti kontur pulaunya yang berbukit-bukit. Ada 3
jalur jalan: jalur bawah dekat pantai, jalur tengah, dan jalur atas. Saya
paling suka jalur atas soalnya bisa melihat keindahan teluk tanpa banyak
halangan.
Sepanjang jalan menuju Desa Skouw hujan terus merintik. Saat
memasuki Desa Skouw kami melapor di check point. Di sana kami meninggalkan KTP
dan mengisi buku tamu. Check point ini dijaga oleh TNI AD. Selepas dari sana
kami menuju bangunan imigrasi. Di sini kami harus berjalan kaki. Bangunan yang
baru diresmikan Oktober lalu ini bagus dan modern, namun sayangnya
kebersihannya enggak terjaga. Tamannya juga kurang dirawat. Sayang sekali.
Di imigrasi kami hanya melewati jalur lokal tanpa harus
menunjukkan paspor atau ID apapun. Jadi kami bisa berjalan menuju ke gerbang
perbatasan dengan PNG. Banyak penduduk PNG yang masuk ke wilayah Indonesia
untuk berbelanja di Pasar Skouw karena lebih dekat dan lebih murah. Penduduk
PNG masuk ke Skouw membawa gerobak pasir sebagai troli belanja. Dan saya mau
tertawa lihat belanjaan favorit mereka: mie instan dan pop mie hahahaha.
Di antara gerbang masuk RI dan PNG saya melihat banyak yang
sedang transaksi. Agak takut saya mendekat sedekat mungkin, ingin lihat apa
yang diperjualbelikan mengingat koq seperti disembunyikan. Setelah saya
perhatikan ternyata mereka jual beli buah vanili. Dijual dalam ikatan-ikatan
dan ditimbang. Menurut petugas jaga, vanili ini harganya sangat mahal. Yang
membawa petani dari PNG. Harganya per kilo bisa mencapai angka 4 juta.
Wowwww!!! Padahal saya udah ngiler mau ikutan beli buat bikin kue hahahaha.
Sayangnya kami enggak bisa ke Pasar Skouw mengingat sangat
becek dan bagian utama pasar sedang dalam proses pemugaran. Jadinya saya
batalkan masuk ke pasar dan langsung kembali ke Jayapura.
Di perjalanan menuju Jayapura kami singgah di Pantai
Holtekamp. Pantainya tenang dan indah dan persis berada di tepi jalan. Di salah
satu bagian pantai (tepatnya di Kampung Holtekamp) inilah lokasi PLTU Holtekamp
yang baru diresmikan pertengahan taun ini. Kami juga mampir sejenak di Pasar Youtefa.
Sayangnya karena baru habis hujan, pasarnya becek sekali. Namun demikian, saya
berhasil dapat buah matoa kelapa. Saya langsung membelinya dari penduduk lokal
yang menjual hanya buah matoa, buah pinang, dan buah sirih. Agaknya hasil panen
dari kebun sendiri. Buah-buah ini dijual dalam tumpukan-tumpukan tanpa
timbangan. 1 tumpuk buah matoa dijual seharga 20k. Saya sempat mengobrol
sebentar dengan mace yang jualan. Akhiranya setelah ditertawakan karena saya
tidak tahu bagaimana cara memecahkan kulit buah matoa yang keras (ternyata ya
kayak makan rambutan atau lengkeng) saya membeli 5 tumpuk. Banyak!! Saya sempat
mencicipi satu buah dan rasanya manis, antara rasa lengkeng dan wangi durian.
Sedap!!! Sempat saya berkeliling pasar melihat bagian luarnya saja karena becek
luar biasa. Paling banyak saya temukan adalah penjual aneka umbi. Mengingat ini adalah makanan utama penduduk Papua maka banyak sekali penjual umbi-umbian. Satu hal, seluruh umbi yang dijual (talas, ubi jalar, yam, dan entah apa lagi jenisnya) sudah dalam keadaan bersih. Seperti di supermarket, enggak belepotan tanah dan ukurannya jumbo semua. Sepertinya beli ubi merah di sini untuk kolak yummmmm rasanya. Di bagian daging saya lihat potongan kepala babi yang sudah
dikuliti lengkap dengan kupingnya, hiiiii....
Dari sana kami menuju RM Maros untuk makan siang. Dan menu
hari ini adalah gurame bakar (lagi). Enggak lama kami lanjut ke Pasar Hamadi
membeli beberapa souvenir untuk oleh-oleh. Di Pasar ini banyak penjual souvenir
khas Papua: koteka, lukisan kayu ombouw, aneka gelang dan kalung, noken, hingga
totem-totem Suku Asmat. Keren-keren. Saya senang sekali melihat ukiran, lukisan
bermotif khas Papua.
Dari pasar Hamadi kami menuju Pantai Base G di Jayapura. Pantai ini agak berombak karena langsung menghadap ke Samudra Pasifik. Ah, bunyi deru ombak, suasana yang menyenangkan membuat saya betah duduk berlama-lama di tepiannya. Anak-anak dan penduduk lokal berenang menikmati dinginnya air laut. Pantainya sendiri berpasir putih, bersih, dan agak curam. Tidak jauh dari pantai terlihat gosong karang yang menghampar luas.
Dari pasar Hamadi kami menuju Pantai Base G di Jayapura. Pantai ini agak berombak karena langsung menghadap ke Samudra Pasifik. Ah, bunyi deru ombak, suasana yang menyenangkan membuat saya betah duduk berlama-lama di tepiannya. Anak-anak dan penduduk lokal berenang menikmati dinginnya air laut. Pantainya sendiri berpasir putih, bersih, dan agak curam. Tidak jauh dari pantai terlihat gosong karang yang menghampar luas.
Puas menikmati Pantai Base G, kami lanjut kembali ke pusat
kota melewati jalur atas. Di Jalan Kasuari saya ditunjukkan satu cafe yang
khusus menyajikan kopi single origin Wamena. Langsung saja saya minta belok ke
sana. Pit’s Corner Cafe namanya. Saya mesan v60 Wamena. Dan senangnya saya
karena barista membolehkan saya menyeduh kopi sendiri dengan arahan barista.
Jadilah saya menikmati kopi hasil kolaborasi barista gadungan dan barista
aslinya hahahaha. Rasanya sedap walau harganya lumayan mahal untuk ukuran
Bandung. Segelas V60 Wamena harganya 60k (saya beli juga bijinya seharga 90K
untuk 200gr).
Hari sudah sore dan rasa lelah sudah mulai menyergap.
Akhirnya kami putuskan kembali ke hotel. Sebelumnya kami mampir di Manokwari Bakery
membeli Roti gulung abon. Makanan satu ini konon adalah oleh-oleh khas
Jayapura. 2 kotak besar roti gulung langsung masuk kantong. Kami juga membeli
beberapa buah untuk dinikmati di hotel. Dan ketika saya cicipi rasanya emang
luar biasa enak. Roti yang lembut berpadu dengan abon sapi yang manis dan
banyakkkkk rasanya emang uenak pakai banget (jangan tanya berapa kalorinya).
Hari terakhir di Jayapura. Saya enggak bisa tidur karena di
luar ramai sekali. Malam minggu di sini rasanya berisik sekali. Hari ini kami
akan kembali ke Jakarta. Penerbangan agak siang sehingga kami bisa menikmati
sarapan dengan santai. Pagi itu kami memilih sarapan di tepi laut. Hotel kami
memang berada di tepi pelabuhan, tepat di seberang tulisan Jayapura City
(sayangnya selama kami di sana kami tidak lihat lampunya menyala). Jadi, dari
meja makan kami bisa memandang pelabuhan dan Teluk Yos Sudarso. Usai sarapan
kami bersiap untuk menuju bandara.
Usai sudah liburan singkat di Jayapura. Singkat, namun
meninggalkan kesan yang dalam: keindahan alam. keramahan penduduk, persahabatan yang manis. Awalnya saya agak kuatir pergi ke sini. Namun
semua kekuatiran saya hilang tak berbekas. Orang Papua ternyata ramah, alam
Papua juga ramah dan cantik. Tadinya saya ketakutan dengan nyamuk malaria.
Hampir saya memaksa semua orang minum pil kina sebelum berangkat hahahaha. I
will definitelly balik lagi ke bagian pulau yang lain. Insha Allah.
Tuntas sudah saya menginjakkan kaki di lima pulau besar
utama di Indonesia. Bucket list saya masih panjang, saya masih ingin ke Sorong
dan Merauke untuk menginjakkan kaki di ujung paling timur Indonesia,
menuntaskan syair lagu Dari Sabang sampai Merauke. Saya juga masih ingin menginjakkan kaki saya
di tempat cantik lainnya di Indonesia. My country is so wonderful. I love Indonesia.