Kalau berdasarkan rencana mestinya ini adalah summit kedua dari tujuh puncak yang direncanakan akan dikunjungi tahun ini oleh geng Trekker 92. Rencana sudah disusun dengan baik, bahkan team survey Didik, Paheu, Tribud, dan mas Pras sudah memastikan rute dan perkiraan waktu perjalanan. Tanggal 21 Feb, sudah dipastikan kita berangkat. Bahkan saya sudah dapat tebengan buat berangkat ke Ciwidey (matur suwun, Didik) dan Titan juga bilang mau ikut.
Nyaris semingguan dari sebelum imlek cuaca cerah ceria, eh dilalah dua hari sebelum berangkat hujan mendera di mana-mana. Beberapa wilayah di Bandung dan Jabodetabek malah kena banjir. Hari Jumat dan Sabtu hujan mengguyur sejak malam hingga pagi. Jadi was was, gimana kalau cuaca hari Minggu tetap begini? Beberapa teman yang tadinya mau ikut terpaksa membatalkan karena terkepung banjir. Tapi ada juga yang kabur sekalian ngungsi gara-gara kena banjir jadi tetep bisa trekking.
Eniwei, jam 3 pagi di hari Minggu saya terbangun karena suara hujan. Wah, deras bener ini hujan. Hati saya menciut membayangkan ini kalau seharian begini bakalan gagal rencana hari ini. Sambil berharap cemas, saya bersiap dan membangunkan Titan biar dia siap-siap juga. Jam 4.20 kami berangkat dari rumah menuju tikum penjemputan di kantor. Hujan masih rinai membasuh (bukan luka tapi) bumi. Dingin benerr.
Jam lima pagi kami berempat bareng Pepy dan Bontor sudah siap menunggu jemputan. Begitu Didik datang kami langsung bergerak menuju Ciwidey diiringi gerimis mengundang buat bobo lagi. Bismillah.
Perjalanan lancar berhubung masih pagi banget dan cuaca juga enggak dukung buat keluyuran. Awan tebal menggantung, belum lagi kabut juga tebal bikin jarak pandang jadi terbatas, apalagi memasuki Ciwidey. Wah, kebayang ini dinginnya bakal menusuk. Tapi ada secercah harapan melihat prakiraan cuaca di accuweather, Ciwidey hari ini akan sedikit cerah walau agak berawan.
Jam 7 pagi kami tiba di parkiran bawah Kawah Putih. Peserta sudah bermunculan. Trekking kali ini enggak hanya diikuti oleh 92 tapi juga diikuti oleh berbagai angkatan lain sebanyak 64 peserta dari 80 hingga 2013! Jadi, enggak heran kalau ramai banget dan banyak makanan sih yang pasti hihi. Nah, pagi-pagi saya dapat sarapan lontong buatan Mba Retno (terima kasih, lontong sayurnya enak).

Kami start dari arah perkebunan teh Rancabali menuju Desa Cipanganten. Rute awal masih berupa jalan batu yang terhampar di antara pohon-pohon teh. Eh baru juga mulai jalan, belum ada 1K rasanya, tetiba Bontor bilang kalau sepatunya jebol. Itu sol sepatu lepas. Alamaaak, mana enggak ada lem atau lakban. Untung saya bawa tali webbing (next time ketika trekking kudu bawa lakban buat jaga-jaga), jadi sementara sol sepatu diikat ke sepatu pakai tali webbing. Tapi jadinya tiap berapa meter kudu dikencengin karena bergeser terus. Makanya, Jangan pakai sepatu bosok (Didik, 2021), Tor hahahaha.
Sambil tertawa-tawa membully Bontor (dan kami sudah disalip 2 rombongan yang di belakang kami) kami tetap lanjutkan jalan. Pemandangan cantik menghampar di sisi kiri kanan depan dan belakang, sayang kayaknya kalau terburu-buru (alasan padahal emang jalannya lambat haha), kabut sudah mulai terangkat dan matahari walau masih malu-malu sudah muncul kami jalan menuju perhentian pertama di depan Geotermal (saya lupa pula enggak nanya ini Geotermal apa).
![]() |
Geotermal, by Uttank |
Ketika Didik dan Bontor muncul kami baru tahu ternyata sekarang bukan hanya satu, tapi sepasang sepatu solnya udah lepas semua. Aduh ini epik banget, jadilah sekarang sepatu kiri dan kanan diikat webbing. Tadinya mau ganti sandal tapi ternyata ketinggalan, Ntop yang bawa sandal udah keburu jalan jauh di depan. Dengan dihibur penjaga geotermal yang bilang kalau sebentar lagi masuk kampung dan ada warung yang jual sandal jepit, akhirnya kami lanjut jalan.
Sampe di Desa Cipanganten kami mampir di warung, alhamdulillah akhirnya si Titan nemu bala bala yang walaupun udah dingin tapi lumayan lah, secara sejak pagi dia cariin Tarto van keresek yang biasanya bawa bekel aneka gorengan. Dari situ kami akan segera memasuki jalan tanah yang menanjak menuju ke parkiran Sunan Ibu Sunrise Point.
Memasuki jalan tanah tanjakan mulai berasa. Si Titan mulai mogok dah dia, walhasil sepanjang jalan merepet terus biar dia semangat. Jalan tanah ini sebenernya menarik karena diapit pohon pinus, kebun penduduk (di sini banyak tanaman stroberi dan seledri). Baru kali ini saya nemu kebun seledri seluas ini. Walau tanamannya imut-imut, semerbak wangi seledri meruap di sekeliling kebun. Jadi kebayang ke sini bawa gerobak cuanki atau satu panci bubur ayam hahaha. Sayang memang kebun seluas itu seledrinya sudah menguning ketuaan. Kata Bang Herli, ini seledri enggak dipanen karena harga jualnya jauh di bawah biaya produksinya. Mereka merugi, jadi lebih baik dibiarkan tidak dipanen ketimbang menambah kerugian. Too bad, saya membayangkan di Jabar ini banyak lahan subur seandainya ada yang membina dan membantu para petani tradisional untuk diversifikasi tanaman yang memiliki nilai jual tinggi misalnya celery stick instead of daun seledri biasa, atau wortel brastagi yang gede-gede ketimbang wortel biasa, dan sekaligus mengarahkan pemasarannya mungkin nasib mereka akan jauh berubah. Sigh... (teori mah gampang yak, praktiknya susyah).
Balik ke jalur trekking. Di ujung kebun seledri, setelah dihibur oleh lagu Suci dalam Debu dan lagunya Vina yang entah apa judulnya (ini sinting emang, Kendi sama Paheu nyanyi sahutan pakai HT), sambil menghirup aroma seledri kami mulai bongkar-bongkar bekal. Lapar. Kue balok yang bentuknya udah pletat pletot karena kegencet di ransel dikeluarkan, ubi cilembu bawaan Mamun ditawarkan, air sereh bawaan dari rumah mulai dialihkan ke gelas-gelas, wedang uwuhnya Effie dibagikan (abis itu masih ada juga yang buka bekel epic: Uttank bawa sate kambing hahaha). Alhamdulillah, lumayan buat nambahin tenaga abis itu kami lanjut lagi.
Jalan rasanya jauh banget. Menurut info katanya sih ini tinggal 500 meter lagi sampe ke kebun teh yang mengarah ke parkiran Sunan Ibu. Tapi eh tapi udah dikaliin 3, itu jaraknya tiap nanya masih tetep 500 meter hahahaha. Untunglah memasuki kebun teh, jalurnya relatif datar, pemandangan juga cantik. Dari kejauhan kami bisa melihat Situ Patenggang yang agak berkabut, di lembah di antara kebun teh ada desa kecil (saya lupa nama desanya), cuaca cerah, langit biru walau tertutup gerombulan awan, tapi keren lah.
Akhirnya, setelah melalui mungkin 4x500 meter kami sampai di parkiran Sunan Ibu (penduduk lokal menyebut area ini dengan Gunung Sepuh. Puncak Sunan Ibu adalah sunrise point tercantik di Patuha). Alhamdulillah. Dengan senang hati kami ngejeprok sambil membuka bekal. Ketan serundeng dikeluarkan Tarto, Mamun kembali mengeluarkan ubi cilembu, di mobilnya Didik sudah ada teh kotak, air mineral, kurma bahkan katanya ada molen haneut (eh saya teu kabagian ini). Saya bukan penggemar teh kotak tapi hari ini rasanya enak banget. Alhamdulillah cukup lah buat ganti makan siang yang telat
Dari parkiran kami naik ke Puncak Sunan Ibu (Titan enggak mau ikut jadi nunggu di parkiran ditemenin Paheu). Sebelum naik kami membayar biaya masuk. Resminya sih tarif masuk ke Sunan Ibu adalah 11.000 rp. Tapi akhirnya nego-nego dikit kami bayar per orang 10rb rupiah tanpa tiket. Untuk menuju ke Sunan Ibu kami naik tangga sekitar 10-15 menit. Lumayan juga bikin otot paha terasa panas dan napas tersenggal. Tapi begitu sampai di dermaga pandang yang berada di tengah antara gerbang dan puncak Sunan Ibu viewnya breathtaking. Dari sini pengunjung bisa melihat keseluruhan Kawah Putih dari atas walau masih tersaput kabut tipis.
Kawah Putih adalah danau kawah yang terbentuk akibat letusan pertama Gunung Patuha di masa lampau (ada yang bilang abad ke 9 ada yang bilang abad 10). Warna danau kawah yang hijau putih kebiruan ini membuat Kawah Putih stand out dari lingkungan sekeliling yang warnanya cenderung kelabu. Kawah Putih ini kabarnya ditemukan pertama kali oleh Junghuhn tahun 1837. Sebelum ditemukan Jughuhn kawasan ini dikenal sebagai kawasan yang angker. Penduduk menganggap angker wilayah ini bahkan burung yang lewat di atas kawah akan langsung mati. Ketika Junghuhn menemukan kawasan ini ia melihat bahwa Kawah Putih mengandung kadar sulfur yang sangat tinggi (kalau masuk kawasan wisata ini ada papan bertuliskan pengunjung berada di kawasan Kawah Putih maksimal 15 menit untuk alasan kesehatan) yang membuat burung atau hewan yang melintasi kawah ini mati.
Penduduk setempat menyebut kawasan Gunung Patuha sebagai Gunung Sepuh. Ini berkaitan dengan adanya makam sesepuh yang berada di wilayah ini. Di Puncak Sunan Ibu terdapat makam Sunan Ibu sementara di Puncak Patuha ada petilasan Sunan Rama (kalau saya baca keliatannya ini Prabu Siliwangi).
Naik ke atas menuju Puncak Sunan ibu diapit pohon-pohon yang terlihat seperti bekas terbakar. Tahun 2019 api membakar 5 hektar hutan di kawasan ini. Menurut berita, api dicurigai berasal dari puntung rokok (Grrrrrhhh pengen nyeburin orang yang buang puntung rokok sembarangan ke dalam Kawah Putih deh) yang dibuang sama pengunjung Sunan Ibu. Sedih liatnya, pohon-pohon gosong. Perlu berapa tahun itu buat ganti pohon-pohonnya?
Dari atas Sunan Ibu kami bisa melihat Puncak Patuha yang menjulang. Untuk menuju Puncak Patuha pengunjung harus melintasi jalan menurun dari Sunan Ibu lalu naik kembali ke jalur Patuha. Buat saya yang udah keabisan tenaga rasanya sudah cukup dulu deh sampe Sunan Ibu saja. Next time harus remed dari Sunan Ibu menuju Patuha. Dari Puncak Sunan Ibu kami juga melihat danau kecil di bawah. Awalnya saya kira ini Patenggang, tapi letaknya sangat dekat. Ternyata ini adalah danau buatan yang berada di area camping ground di sebelah parkiran.
Abis dari Patuha kami diangkut menuju ke Kawah Putih. Tadinya mau jalan, tapi kemudian akhirnya naik mobil. Untungnya sih enggak jadi jalan, karena ternyata kabut sudah turun sehingga jarak pandang jadi sangat tidak jelas.
Memasuki Kawah Putih aroma belerang sangat terasa. Siang ini Kawah Putih tidak terlalu ramai. Di depan jalur masuk berjejer penduduk yang mencari nafkah dengan menjual jasa memotret pengunjung. Ah, kasian juga lihat mereka yang tergerus teknologi smartphone. Pengunjung rata-rata sudah enggak pakai jasa mereka ini karena minimal mereka memotret dengan smartphone tambah lagi masa pandemik sekarang semua tempat wisata sepi, susah untuk dapat uang. Untuk 1 file foto mereka memberi harga 10ribu rupiah (mereka pakai DSLR, file ditransfer ke smartphone pengunjung).
Karena alasan ini dan supaya bisa foto barengan akhirnya kami minta salah satu buat motretin kami. Lumayan lah hasilnya, sambil itung-itung bantuin mereka juga .
Enggak lama di Kawah Putih kami kembali ke parkiran, selain hidung sudah sakit karena aroma belerang tiba-tiba turun hujan. Jadilah kami buru-buru keluar. Dari Kawah Putih kami balik ke parkiran bawah tempat kami ngumpul pertama naik ontang anting. Ontang anting ini adalah angkot yang mengangkut pengunjung dari parkiran bawah ke pintu masuk Kawah Putih. Keliatannya sih ini modifikasi dari mobil bak yang dikasih bangku tudung hahaha. Kursinya berderet tiga ke belakang, masing-masing deret bisa diisi antara 3-4 penumpang. Tarif per orang untuk sekali jalan adalah 15rb rupiah. Kalau lihat di papan petunjuk, tarif resminya adalah 23rb rupiah untuk bolak balik. Walau bentuknya mengenaskan, angkot oranye ini bisa ngebut di tikungan. Kata Titan, baru kali ini liat angkot nyalip-nyalip di tikungan katanya hahaha.
Sampe parkiran kami masih belok beli stroberi, lumayan besar-besar dengan harga yang murah (sekilo mereka nawarkan 45K, dan boleh milih sendiri). Abis itu kami mampir di warung, sejak tadi saya sudah membayangkan semangkuk indomie telur. Dan akhirnya itu terealisasi, bahkan Titan minta 2 porsi! Alamaak, 2 bulan ini kamu libur makan mie instan ya.
Terkait jarak ada beberapa beda hasil pencatatan. Menurut si Garmin yang saya pakai, trip kali ini sejauh 7,45K dengan elevasi 580m. Namun ada yang mencatat jaraknya hampir 9K. Kalau selisih bbrp ratus itu karena kami cheating mulai jalan lebih ke atas sedikit hihihi, tapi ini selisihnya banyak. Mungkin si garmin juga lelah haha. Tapi bagaimanapun, rasanya ini lebih melelahkan dibandingkan ke TP. Sewaktu ke TP, dengan jarak jauh lebih panjang dan elevasi lebih tinggi, kami bisa menempuh lebih cepat.
Trip ini terlepas dari deg degan masalah cuaca cukup asik. Sayang memang enggak banyak berinteraksi dengan angkatan lain karena terpisah pisah (selain karena jaga prokes, juga kecepatannya beda). Satu lagi yang disayangkan adalah saya enggak bisa naik ke Puncak Patuha, jadi masih harus remed supaya sah udah naik ke Patuha. Terima kasih buat semua yang sudah organize trekking kali ini. See you next trip.