Tuesday, 24 November 2015

Aku dan Hujan


Each time I see those piece of clouds
I used to smile and make a wish
that it would turn to rain....


Entah kenapa sedari dulu aku selalu suka hujan.
Entah itu lagu yang terkait hujan, suasana yang dibawa hujan, memandangi hujan, bahkan bermain di bawah hujan.
Hujan selalu menimbulkan rasa yang sulit diterjemahkan dalam bahasa apapun...terkadang sedih, terkadang haru, terkadang lucu, terkadang perasaan bodoh.

Teringat betapa aku hampir selalu bahagia setiap kali hujan turun, walau basah kuyup. Hujan membuatku bisa mencium wangi aroma tanah yang meruap ditimpa hujan. Membuat mataku memandang tak berkedip kala dedaunan membasah berkilau ditimpa beningnya hujan. Membuat hatiku teringat banyak hal manis dan sedih pada saat yang sama.

Aku rindu wangi tanah dan daun yang sehabis hujan.... Aku rindu wangi udara yang tercium saat hujan...

Teringat beberapa tahun lalu, saat masih kuliah di Bandung. Senja itu gerimis mendera, cenderung lebat. Langit tambah gelap. Suatu perbincangan senja itu membuat hati rasanya ingin mencebur di bawah hujan, membuat aku nekad jalan kaki menembus hujan dari Ganesha ke Gatot Subroto. Tanpa payung, berharap hujan menyembunyikan mataku yang membasah. Perjalanan bodoh dan nekad mengingat semua orang mencariku...




Thursday, 19 November 2015

Rindu kamu

Siang ini Bandung cerah sekali, seharusnya ini juga secerah hatiku. Tapi, sayangnya bias cahaya yang menerobos sela-sela jendela ruang meeting ini sama sekali nggak bisa hapuskan bias rinduku padamu.

Cintaku, aku jatuh cinta padamu sejak pertama aku menimang dan memandang wajahmu yang tampak pucat. Duhai belahan jiwaku, aku sangat sayang padamu sejak aku tahu kamu menjadi bagian diriku 7 tahun lalu. Aku sayang padamu dalam bahagiamu, ceriamu, bahkan sedih, dan marahmu.

Kini, hari ini, aku duduk terpisah darimu. Rinduku padamu begitu menggebu, membuncah, dan membumbung. Aku tahu ini akan menembus lapisan awan biru di angkasa sana. Aku harap desau angin yang hangat siang ini akan membisikan angin bahwa aku rindu padamu, anakku.

Thursday, 12 November 2015

He was not perfect, but he is my father

Pagi tadi seperti biasa berangkat kantor nyetir sambil denger radio. Topik pagi ini adalah hari ayah, tentang  kenangan yang paling menyenangkan dengan ayah.

Ah, jadi keingetan dulu waktu kecil. Papah itu orangnya sangat galak. Di membesarkan saya seperti tentara, terlebih saya anak sulung dan besar harapannya kalau anak sulungnya adalah laki-laki. Sejak kecil saya dididik sebagaimana anak laki-laki, tidak tahu pakai rok, jalan dan lari seperti anak laki-laki. Dia tidak pernah masalahkan saya keluyuran ke mana-mana dengan celana pendek, manjat genteng, manjat pohon, kebut-kebutan naik sepeda di siang bolong. Tapi, kalau saya enggan belajar atau mengerjakan PR, atau keasikan nangkep capung di kebun orang,  atau berani membantah, maka saya harus bersiap berdiri di pojokan ruang tengah dengan kaki sebelah diangkat dengan tangan memegang kedua daun telinga.

Masih jelas teringat kegiatan setiap minggu subuh ketika saya SD dulu. Bandung saat itu masih dingin luar biasa. Namun, setiap minggu subuh, papah sudah membangunkan kami untuk lari pagi ke Alun-Alun Bandung.  Saya dan adik berlari, papah mengiringi pelan dengan motornya. Sebenarnya jaraknya lumayan jauh, tapi karena menyenangkan, capeknya nggak berasa. Sampai di Alun-Alun kami paling duduk-duduk, lempar2an bola, lanjut jajan bubur ayam atau lontong kari. Ketika matahari mulai bersinar benderang kami pulang berboncengan.

Sampai saya SD kelas 3, saya masih suka mandi di bawah kucuran air pompa yang segar. Yang mompa tentu saja papah. Kalau sedang senang main air, saya nyemplung masuk bak mandi sampai akhirnyna diomeli karena air satu bak penuh terpaksa harus dibuang.

Setiap kali papah punya uang lebih, ia suka membelikan kami makanan. Makanan kesukaan kami adalah mie karmino (saya suka mie itu sampai sekarang, walau rasanya sudah nggak seenak dulu).  Kalau beli mie karmino tidak tanggung-tanggung: sebungkus besar (yang bisa dinikmati untuk 4 orang) hanya dibagi berdua. Dia senang kalau anak-anaknya kekenyangan. Nggak cuman mie karmino, saya pernah mabuk durian gara-gara dibelikan durian seorang satu. Karena ada sepupu yang nggak suka, saya makan juga jatahnya dia sehingga berakhir dengan mabuk durian.
Kalau pergi ke luar kota, oleh-olehnya aneh-aneh, kadang semangka sampe 1 mobil (sampai tetangga sepanjang jalan di mana kami tinggal kebagian) atau lutung. Ya, saya dibawakan lutung dari Palembang. Lutung kecil yang saya pelihara dengan sayang. Waktu akhirnya lutungnya mati karena dijatuhkan salah seorang saudara, saya nangis berkepanjangan. Sampai akhirnya dibelikan seekor monyet sebagai gantinya. Walhasil rumah kami berantakan karena si monyet kecil ngacak-ngacak seantero rumah.

Sewaktu saya SMA, bandel saya masih banyak. Saat itu, saya kelas 1 SMA,  papah mengajari saya naik motor. Saya sih kesenengan. Nah, malam minggu itu saya pinjam motornya dan bilang kalau yang bawa bukan saya, tapi tetangga. Papah kasih kunci motornya sambil wanti-wanti nggak boleh bawa sendiri, selain belum bisa juga belum cukup usia. Awalnya iya, yang bawa teman saya yang sudah bisa bawa motor dan punya SIM. Tapi, subuh-subuh saya curi-curi ke luar rumah. Motor saya dorong sampai agak jauh baru dinyalakan setelah cukup jauh dari rumah. Awalnya lancar saja, tapi makin lama makin keenakan menekan gas, motor melaju kencang. Saya membonceng sepupu saya. Hingga tiba di perempatan saya belok tanpa menginjak rem. Dengan kecepatan tinggi, tanpa ampun motor saya naik ke trotoar dan berhenti setelah menabrak tembok, menghempaskan saya hingga melayang menimpa motor yang jatuh duluan. Sepupu saya yang lompat begitu motor naik trotoar membuat seorang bapak yang sedang menunggu bis terloncat dan langsung mengangkat saya. Ketika berdiri dan pandangan saya menumbuk motor yang ketiban badan saya, yang terbayang adalah papah akan murka semurka murkanya. Mana papah galaknya minta ampun pula. Belum terasa sakitnya dahi yang sudah membengkak sebesar telur ayam dan sebelah  alis mata yang ternyata sedikit membengkok plus badan yang memar-memar. Yang saya pikir saat itu adalah bagaimana caranya pulang dengan aman.

Kebetulan seorang tetangga lewat membawa gerobak kosong. Ia baru saja mengantarkan tempe buatannya ke pasar. Akhirnya dia menawarkan motornya naik gerobak. Saya serta sepupu pulang pakai angkot. Pesan saya ke dia adalah ketuk pintu pelan-pelan supaya papah nggak bangun. Eh, nasib memang, sampai rumah papah sudah bangun dan mencari saya dan motor yang menghilang. Begitu saya tiba dengan wajah babak belur plus senut2 reaksinya di luar dugaan. Dia tidak marah. Pun ketika melihat pelek depan motor yang berbentuk hati dan body motor yang babak belur. Yang ia lakukan adalah meminta mamah mengantar saya ke dokter termasuk ke dokter mata di Cicendo karena ternyata di mata saya ada pendarahan akibat benturan. Dia sendiri panggil montir untuk memperbaiki motor. Dan ketika motornya kelar, saya sama sekali nggak dilarang untuk kembali mengendarai motor, bahkan dia kembali mengajari saya. Ah….ternyata…..

Belum cukup kebandelan saya, selama satu minggu saya terpaksa seperti bajak laut dengan mata ditutup sebelah, saya pergi hiking walau dilarang. Karena pandangan yang gak normal berkali-kali saya jalan nabrak pohon dan tiang. Ketika saya cerita papah hanya tertawa ngakak. Tapi, ketika tahu saya diam-diam pacaran, murkanya nggak ada dua…

Sampai ketika saya kuliah, sampai tingkat 2 papah masih suka antar saya ke kampus dengan motor kesayangan, binter mercy yang sudah dimodifikasi. Bangga ia mengantarkan anaknya ke ITB. Bangga dia berkata ke teman-temannya kalau kelak dia akan antar anaknya wisuda, bahkan sejak tahun pertama ia sudah menyiapkan satu baju untuk mengantar saya wisuda. Satu cita-cita yang nggak tercapai karena pada tahun terakhir kuliah papah kecelakaan dan meninggal .


Sekarang, 18 tahun sudah papah pergi. Tiba-tiba seluruh kenangan itu menyeruak berlomba keluar. Papah bukan orang yang halus, bukan orang yang sabar, bukan juga orang yang sempurna. Ada banyak saat kami berbantahan, bertengkar, hingga musuhan. Ada banyak saat ketika saya luar biasa benci sama papah. Tapi satu hal yang akhirnya saya sadari sekarang, papah ini sayang sekali dengan anak-anaknya, tapi enggak tahu bagaimana menyampaikannya. Untuk saya, dia adalah papah terbaik. He wasn't perfect, but he is my father. I miss you so much, papah. Semoga Allah mengampuni semua dosamu, menerima seluruh kebaikanmu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik. Semoga papah akan bangga pada saya….

Wednesday, 4 November 2015

a note to myself

One loves company even if it is only that of a small burning candle.

Ya, nggak ada manusia yang mau sendirian di dunia ini. Kecuali manusia aneh, karena pada hakekatnya manusia itu diciptakan sebagai makhluk sosial.

Namun, jika kebersamaan itu ternyata membuat sakit, salahkah jika akhirnya lebih memilih jalan yang berbeda melanjutkan hidup sendirian? Apalah arti kebersamaan jika hanya menumpahkan tangis? Karena seharusnya kebersamaan itu saling mengisi dan saling memberi. Kebersamaan itu seharusnya membahagiakan

#menantikankebersamaanyangmembahagiakan

Tuesday, 3 November 2015

Dialog gak jelas

Hidup ini sulit.
Siapa bilang enggak? Kalau hidup ini mudah tentu Mario Teguh gak akan bisa jadi motivator hebat dong.
Terus, kalau udah tau hidup ini sulit kenapa? Mau berhenti hidup? Mau pindah ke dunia lain? Atau mau melarikan diri?
Ya enggak lah. Hidup emang sulit, tapi bukan berarti kita bisa memutuskan seenak jidat untuk berhenti hidup dong.
Lah, katanya sulit, tapi mau diterusin? Kenapa?
Ada banyak alasan kenapa hidup yang sulit ini harus dilanjutkan. Bukan hanya banyak, malah tak terhitung alasannya...

Bayangkan setiap pagi sekalipun dikatakan sulit masih bisa menghirup udara segar. Bandingkan dengan saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan yang beberapa waktu lalu bernapas aja sulit. Kita masih bisa menghirup oksigen yang notabene gratis.

Berangkat kerja macet? Iyalah, tapi setidaknya nggak harus ditempuh dengan jalan kaki, kan? Atau bahkan dengan merangkak karena nggak punya kaki, kan? Macet, tapi masih bisa duduk manis di kendaraan (malah bisa sambil denger musik dan merasakan udara sejuk AC) itu jauh lebih baik dibandingkan dengan nggak bisa ke mana-mana karena sakit, atau nggak punya kaki, atau nggak punya duit.

Tapi kan bangunnya harus pagi banget, capek!
Ya iyalah, tapi coba bayangin lebih capek mana dengan orang yang nggak tidur semaleman karena nggak punya rumah? Atau orang yang nggak bisa tidur karena tubuhnya sakit?

Sampe kantor masih diomelin bos pula. Kan sebel! Udah capek-capek kerja masih aja diomeli.
Kalau nggak mau diomeli bos ya buka kantor sendiri, buka usaha sendiri biar jadi bos. Paling diomelin klien kalo kerjaan kita dodol (sama kan diomeli). Masih bagus kalo hanya diomelin, setidaknya masih punya kerjaan yang baik dan halal, masih punya gaji. Bayangkan kalau nggak punya kerjaan...Kalau nggak mau diomeli ya kerja lebih baik aja lah...

Bosen tapi kerjaan gini-gini aja...gimana dong?
Kalo bosen ya pindah kerja, atau cari tantangan lain. Belum dapet? Coba sekali-sekali arahkan kepala ke jendela atau coba jalan-jalan sebentar (pasti dibolehin si bos ketimbang dia liat tampang buluk elo kalo lagi bete kan) cari inspirasi. Kalo susah ya pergi nongkrong di WC juga boleh...Siapa tau balik ke meje elo udah dapet ide baru.

Oke deh, gue paham. Nah, ini lagi, sampe rumah gue masih direcokin urusan rumah. Pusiiing.
Lah, masih bagus lah ada yang ngerecokin. Coba kalo elo idup sendiri. Sepi tau, nggak enak, nggak bisa bagi cerita, nggak bisa berbagi seru, nggak ada rebutan remot  tipi, nggak ada rebutan sisa makanan, nggak rebutan kamar mandi, kalo sedih nggak ada yang hibur elo, nggak asik....

#eh

Friday, 30 October 2015

Orang bijak bilang: satu-satunya obat patah hati adalah jatuh hati...
#mencarihati

Monday, 5 October 2015

Till we meet again, Mah....

Hari ini, tepat 18 tahun Papah pergi meninggalkan kami semua dalam kecelakaan tak terduga dan tepat 6 hari lalu Mamah pergi dalam sakitnya. Keduanya sudah pergi kembali menghadap pencipntaNya. 

Sudah satu bulan ini Mamah kembali ke Bandung setelah sejak Juni lalu tinggal di Depok, agar ada yang selalu menunggui katanya. Minggu lalu, 27 September 2105, tiba-tiba adik ipar telpon meminta kami semua berkumpul, Mamah yang minta katanya. Dengan perasaan nggak karuan kami memenuhi permintaan Mamah. Padahal siang itu adik yang nomor 3 baru saja tiba  di Depok untuk mengambil obat dan perlengkapan untuk beliau. Akhirnya kami pun bersama langsung berangkat ke Bandung. Sayangnya memang tidak semua bisa berkumpul pada saat yang bersamaan. Ada yang menganggap permintaan ini terlalu berlebihan, sehingga menganggap ini nggak terlalu penting.

Saat bertemu, kondisi Mamah sudah sangat memburuk. Napasnya tersenggal karena kanker hati yang dideritanya ternyata sudah menyebar hingga ke paru-paru. Makanan sudah sangat sulit masuk, bahkan menelan air minum pun sudah sulit. 

Malam itu kami (saya, seorang kakak sepupu, dan adik yang nomor 3) bergantian menunggu beliau. Sepanjang malam beliau sangat gelisah. Menjelang saya bertukar giliran dengan adik, beliau memegang lengan saya dan mengatakan maapin mamah. Tenggorokan saya rasanya tersekat. Ah, maapin Rani, Mah. Belum bisa berbuat banyak. Malam itu kami kira adalah saat terakhir beliau bersama kami. Bersama kami menuntun beliau mengucapkan syahadat, tahlil, dan istigfar. 

Seharian esoknya kami bertiga bergantian menunggu beliau. Hari itu beliau akhirnya mau makan, walau hanya beberapa suap bubur susu yang sangat encer. Untuk saya, itu sudah merupakan pertanda baik. Apalagi setelah mandi pagi, beliau juga bisa duduk bersandar sebentar sambil mengobrol. Menjelang malam kami bersama-sama dengan beberapa tetangga melantunkan Yasin dan Ar Rahman, she seems to be at peace. Sebelum tidur kami masih sempat mengobrol. Malam itu beliau bisa istirahat lebih nyenyak. 

Selasa siang saya berpamitan kembali ke Depok. Beliau yang kemarin untuk menggeser tubuhpun sangat berat, tiba-tiba duduk dan memandang saya lama sekali. Jujur saya merinding, belum pernah beliau memandangi saya seperti itu. I wish I know, itulah saat terakhir pertemuan kami. I wish I know itulah saat terakhir saya pamitan mencium tangan dan pipi beliau.  

Rabu berjalan seperti mimpi. Rasanya koq hening sekali. Malam itu saya dan adik masih bertelepon. Masih terdengar suara beliau minta dipindahkan bantalnya. Dan ketika Kamis siang itu telepon berdering mengabarkan bahwa Mamah baru saja pergi rasanya ada yang tercabut dari dalam hati. Hilang, kosong. Sang Pencipta sudah memanggilnya kembali.

Baru kali ini merasa kehilangan. Walau banyak waktu kami habiskan berdebat, marah, berbeda pendapat, namun setiap kali saya merasa rindu, saya tinggal angkat telepon atau langsung berangkat mengunjungi beliau. Atau kalau saya malas atau sedang kesal, beliau pasti telpon saya once in a while. Mudah sekali. Sekarang? Ke mana rasa rindu ini harus kuarahkan? Sungguh berbeda rasanya, terlebih saat mengantar beliau pergi ke tempat istirahatnya yang terakhir. Jarak kami sudah terpisah dunia, jasadnya kini sudah ditimbun tanah, kembali ke penciptaNya.

Innalillahi wa innaillaihi rajiun, Mamah. In sha Allah kami ikhlas, Allah lebih sayang dan tidak ingin membuat Mamah sakit lebih lama. I know Mamah pun merasa kesal karena selama ini selalu mandiri dan kuat namun saat sakit sama sekali tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Now you are free, Mamah. In sha Allah khusnul khatimah. Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa Kami akan selalu sayang dan you'll always be in my heart. Till we meet again, Mah....

Monday, 10 August 2015

sepotong harap

Sebulan belakangan ini isi kepala dibombardir dengan kata kanker. Ya, it's horrible. Terlebih ketika itu menimpa orang terdekat saya. Sebulan lalu, tepat menjelang lebaran, ibu saya divonis kanker hati oleh dokter. Rupanya pembengkakan perut dan rasa mual yang bekepanjangan itu adalah salah satu gejalanya. Kaget? Tentu saja, bukan hanya kaget tapi juga bingung. Saya langsung terbayang rangkaian pengobatan yang menyebabkan rasa sangat tidak nyaman.

Dan sejak itu pencarian aneka obat herbal (karena ibu saya tidak mau dirawat di rs) akhirnya dimulai. Browsing kiri kanan, bertanya tanya, jalan ke sini ke sana hingga akhirnya saya menemukan herbal yang katanya cukup ampuh untuk membunuh sel kanker. Doa dan harapan kami panjatkan untuk kesembuhan Ibu, juga upaya untuk membesarkan hati dan menyemangatinya.

Pada awalnya it seems to work. Ibu saya terlihat membaik. Nafsu makannya baik, mau bercanda, bahkan mau diajak berjalan kaki di sekitar rumah. Hingga seminggu lalu, justru pada ulangtahunnya yang ke 62. Entah kenapa sepertinya beliau langsung drop, kehilangan semangat. Saya merasa bersalah karena tidak bisa merawat sepenuhnya mengingat seharian saya berada di kantor dan beliau ditinggal sendiri di rumah. Mungkin juga kesedihan karena tidak ada anak atau cucu yang menemaninya sehari hari membuatnya kehilangan semangat dengan cepat. Putra saya, satu-satunya cucu yang di sini berada di sekolah seharian. Paling embak yang bersih-bersih yang datang setiap menjelang sore atau ibu tetangga sebelah yang kadang menemaninya ngobrol . Yang bisa saya lakukan adalah menyiapkan segala keperluannya sebelum berangkat dan setelah kembali ke rumah agar beliau mudah menjangkau semuanya. Tapi, hanya sebatas itu yang bisa saya lakukan dengan segala keterbatasan saya.

Sangat berbeda kondisinya dengan salah satu kolega saya di kantor lama yang baru-baru ini juga divonis kanker paru stadium 4. Usia medisnya hanya diperkirakan 6 bulan saja. Ketika saya akan menjenguk beliau, yang saya bayangkan adalah kondisi yang sama dengan ibu saya, Tapi saya salah besar. Yang saya lihat adalah orang tegar yang sangat yakin kalau penyakitnya akan sembuh. Begitu tenang dan begitu damai. Pasrah menyerahkan hasil usahanya pada Allah, tapi tak henti berupaya.

Jujur saya tertohok, Saya orang yang sangat yakin kalau sikap positif dapat mengeluarkan orang dari kubangan luka hati, dari kesedihan, bahkan dari kesakitan. Saya mengalaminya sendiri, menjalaninya sendiri. Tanpa sikap positif itu, tentu saya sudah terpuruk seperti zombie saat saya kehilangan banyak hal dalam kehidupan saya.
Saya berupaya membesarkan hati ibu, memintanya agar lebih banyak berdoa dan beristigfar, tapi sepertinya nggak berhasil. Saya tahu sakitnya sudah parah, tapi saya selalu yakin jika Allah menginginkan kesembuhan tentu itu akan terjadi.
I know that pain is only demand to be felt.

Saat ini saya sudah berada dalam titik pasrah. Upaya itu tetap akan saya jalankan, harapan itu tetap akan saya pupuk. Tapi, jika Allah menentukan lain, saya bersiap untuk iklas. Ya Allah, jika Engkau menghendaki lain, dan aku yakin kehendakMu yang terbaik, tetapkanlah agar ibu kembali padaMu dalam keadaan khusnul khotimah yang dijanjikan surgamu, ya Allah.


Friday, 15 May 2015

Titan and Travelling: Bali itu keren ya

Bali itu memang keren. Semua yang mungkin dicari oleh petualang atau siapapun yang menginjakkan kakinya di sana, tersedia dan dikemas dengan cukup baik.
Budaya, keindahan alam dari dataran pantai, dataran tinggi, hingga alam bawah laut, serta makanannya benar-benar membuat banyak orang ketagihan untuk pergi ke Pulau Dewata ini. Termasuk Titan.

Ini adalah kunjungan pertamanya ke Bali. Begitu menginjakkan kaki di Bandara, wangi dupa yang dibakar menyergap penciumannya. Bau apa sih ini, Bu? Saya bilang, ini dupa. Dupa ini digunakan untuk berdoa umat Hindu yang ada di Bali (dan mulailah sedikit mengulang pengetahuan tentang agama-agama yang ada di Indonesia). Pemandangan sekitar Bandara Ngurah Rai yang juga khas dan berbeda dari semua bandara yang sudah pernah dia singgahi menarik perhatiannya (untuk Titan bandara terkeren saat ini masih Changi). Begitu sampai bandara, awaannya mau lari ke sana ke sini, melihat semua.

Hari pertama di Bali, Titan diajak berkenalan dengan seni. Mulai dari melukis keramik di Jenggala Ceramics sampai menyaksikan pertunjukkan tari di GWK dan diakhiri dengan menyaksikan pertunjukkan tari kecak saat sunset. Untuk Titan semuanya terasa luar biasa. Dia bilang berusaha bikin gambar spiderman di gelas keramiknya, tapi dia bingung membuat jaring laba-labanya. Dia senang lihat tari Topeng Monyer di GWK, sekalipun dia takut sekali kalau diajak ke panggung oleh penarinya. Menjelang pertunjukkan tari kecak, bolak balik dia bertanya tentang Ramayana (Mudah-mudahan kesampaian bawa dia lihat pertunjukan sendratari Ramayana di Prambanan): Kenapa Sinta diculik? Siapa itu Rahwana? Kenapa Rama tidak tolong Sinta, malah Hanoman yang tolong? Kenapa Hanoman dibakar? dan banyak pertanyaan lain. Di akhir pertunjukkan dia bertepuk tangan keras sekali. Awesome, katanya. Ah, you're right son. Its tottaly awesome!
Melukis keramik di Jenggala Ceramics

Tadaaaa...gelas kami sudah jadi

Pura Uluwatu



Sunset di Uluwatu

Asyik lihat tari kecak
Water Blow

Hari kedua kami berpetualang menikmati indahnya pemandangan di Bali. Mulai dari berenang di Padang Bai (menunggu saya diving) sampai main di Taman Air. Titan sudah mulai suka dengan laut sejak di Sabang. Dia nggak sabar ditemani turun ke air. Untunglah selama saya nyemplung ke bawah air dengan instrukturnya, dia ditemani berenang oleh salah satu pemandu juga. Bahagianya ketika saya naik ke permukaan mendengar teriakan, tawa renyah yang dipadu dengan hebohnya cerita nelan air saat berenang. Ah, dua mata berbinar dari wajahmu yang gosong tersengat matahari adalah pemandangan luar biasa untuk ibu, nak. Bahagia dia cerita kalau lihat ikan buanyaaaak banget. Ada yang kecil-kecil ada yang gede-gede. Kayaknya yang kecil ada kali seratus ribu, Bu... Hahahahaha kayaknya sih gak sampe segitu, Tan.
bahagianya yang nyemplung

Padang Bai



Bawah air di perairan Padang Bai (kalau nggak salah di Blue Lagoon) memang luar biasa. Dibandingkan dengan di Iboih Sabang, terumbu karangnya lebih banyak dan jenis ikannya juga banyak. Walaupun jika dari segi warna masih kalah cerah dibandingkan dengan Sabang. Air di perairan ini juga nggak seasin di Sabang. Tapi, satu hal yang membuat jengkel adalah karena banyak sampah PLASTIK. Ampun deh yang buang sampah. Padahal pantainya luar biasa cantik. Biru langit dan biru air membuat cakrawala nggak berbatas! Menurut Pak Putu (instrukturnya), sampah ini terbawa dari aliran sungai. Arrrggggghhh buang sampah koq di sungai...

Tulamben juga punya pemandangan yang nggak kalah keren. Katanya di sini juga banyak diving site yang keren, bahkan katanya lebih keren dibanding Padang Bai. Next time harus bisa ke sini lagi.

Di Taman Air, Titan bahagia karena bisa main berjalan nyebrangi kolam melewati titian batu. Kami yang lihat dibuat jantungan ketika dia melompati titian batu satu demi satu, kalau meleset ya judulnya akan basah kuyup. Di Taman Air juga dia bisa kasih makan ikan. Ikannya besar-besar sekali (nggak boleh ditangkap dan dikonsumsi) jadi tumbuh sampai besar sekali.


Hari ketiga kami melihat dunia burung di Bali Bird Park. Ah, senangnya dia melihat kakaktua yang ikut-ikutan berisik saat dia ajak bicara. Titan tang tadinya ketakutan difoto sama burung akhirnya malah minta difoto lagi. Walau ekspresinya tetap meringis kena cakar parrot, tapi dia bangga karena berani. I'm proud of you, son! Dia lihat cendrawasih yang berbulu cantik, rangkong yang punya paruh unik, dan pinky flamingos.



Dari Bali Bird Park kami ke Ubud dan makan siang di Bebek Tepi Sawah. Tempat dan suasananya enak banget. Makanannya pun lumayan enak. Seporsi Ayam bumbu terasi pun licin tandas masuk perut. Sehabis makan kami menuju TirtaEmpul. Tapi sayang, tempat ini tak seperti pertama saya ke sini dulu.
Belum puas rasanya menjelajahi Bali. Belum sampe ke rumah Titan sudah bilang: Bu, kita ke Bali lagi, yuk. Ah, doakan saja kita masih mendapat kesempatan untuk jalan-jalan ke sana lagi ya, Nak. Ibu ingin menjelajahi dunia bawah laut di sana bersama-sama. Be my diving mate, be my travel mate, sunshine.

Tuesday, 28 April 2015

Bandung yang makin molek (DIPELIHARA DOOOOONG!)

Bandung itu keren!

Saya adalah keturunan Sunda asli. Walaupun sudah nyaris 15 tahun saya merantau di daerah lain dan udah nggak punya KTP Bandung, saya tetap merasa sebagai bagian dari warga Bandung.

Sudah lama sekali saya nggak menikmati jalan-jalan di Bandung. Bukan apa-apa, males sama macetnya. Belum lagi pengalaman menyebalkan ketika jalan di trotoar Bandung dan disenggol motor yang nekad ambil jalur trotoar padahal jalan di situ aja udah mepet2 sama PKL yang jadi penguasa trotoar. 
Kalaupun bisa ke  Bandung paling pada saat weekend atau liburan. Dan itu pasti barengan dengan ribuan warga DKI dan sekitarnya yang juga sering menyerbu Bandung untuk alasan yang sama: jalan-jalan, makan, atau belanja. Walhasil males ke mana-mana. Kalaupun bukan pada saat weekend paling kalau pas tugas. Judulnya juga tugas, lebih sering dihabiskan di kantor.

Nah, belakangan ini, terlebih sejak walikota dijabat oleh seorang kreatif yang bernama Ridwan Kamil, saya sering melihat berita seputaran kota Bandung. Mulai yang pembenahan taman, trotoar, PKL, sampai hal yang banyak orang bilang remeh temeh kayak Rabu Sunda, Kamis Inggris, Jumat bersepeda. Buat sebagian orang mungkin ini remeh temeh, tapi buat saya ini keren. Bikin saya pengen ada di Bandung terutama hari Rabu dan ikut menikmati Rabu Sunda lengkap dengan bahasa dan pakaian tradisional Sunda. Kuring teh asli Sunda. Dengan segala pemberitaan itu, jujur, mulai penasaran saya dengan apa yang disebut-sebut media ini, tapi apa boleh buat waktunya belum ketemu.

Saya penasaran dengan yang namanya Taman Jomblo, Taman Film, dan aneka taman lainnya. Saya juga penasaran dengan yang namanya Alun-Alun Bandung, yang sejak dibenahi baru saya lihat fotonya dari teman-teman yang posting di FB aja. Terlebih pas KAA kemaren, rasanya darah Bandung saya bergejolak. Pengen pulang dan menjadi bagian keriaan dan kehebatan itu.

Kemarin, tiba-tiba saya dapat tugas yang memungkinkan saya keliling Bandung dan bersenang-senang menikmati suasana Bandung sekarang! Senang? Tentu saja, kalau boleh saya pengen joget-joget saking senengnya. Saking senengnya saya minta izin sama gurunya Titan untuk bolos besok supaya bisa menikmatinya bersama Titan. Dia juga punya darah Bandung, hehe.

Subuh-subuh kami sudah bersiap. Bersama rombongan kecil siap keliling Bandung. Sampai Bandung jam 09 pagi disambut matahari yang gahar. Puanass. Tapi, panasnya matahari nggak bisa ngalahin semangat buat jalan-jalan. Tujuan pertama adalah Alun-Alun Bandung. 

Dulu, tahun 80-an, ketika saya duduk di bangku SD, tempat ini adalah tempat favorit hari Minggu. Setiap minggu pagi bersama adik dan almarhum Papah, kami biasa olahraga ke sini. Lari pagi dari rumah kami di Cibangkong (tepat di belakang TSM sekarang) ke Alun-Alun sementara Papah mengiringi pelan dengan motor vespanya. Kami biasa main di sana sampai puas, sarapan bubur ayam baru pulang ketika mentari sudah benderang. Saat-saat yang menyenangkan. 
Terakhir kali saya menginjakkan kaki di Alun-Alun Bandung adalah ketika ospek kampus. Saat itu para senior 'menculik' kami untuk bermain peran di Alun-Alun. Saat itu banyak kejadian lucu dan tak terduga. Seru! Saat saya ospek, Alun-Alun belum sekeren sekarang, bahkan cenderung kumuh, kotor, dan nggak menyenangkan bahkan untuk sekedar duduk-duduk.

Balik lagi ke Alun-Alun jaman sekarang. Sampai di Alun-Alun kami langsung markir di basement (kereeen, walau tempat parkirnya masih harus dibenahi karena masih semrawut dan kurang berkesan aman). Begitu naik ke atas, wowwww, kereeen. Itu komentar pertama. Hamparan rumput sintetis menyapa mata, hijau dan bersih. Melirik ke kanan ada halteu bis yang dibuat begitu sederhana, tapi keren dan memanjakan mata dengan nama yang ditulis dalam bentuk balok warna merah dan putih. Di belakang halteu bis ada jejeran bangku beton yang rapi. Sebelum masuk hamparan rumput sintetis, mata terpaku pada papan petunjuk dan larangan yang dibuat berwarna merah cerah sewarna dengan tulisan nama halteu yang dibuat merah-putih. Di pojokan Alun-Alun terdapat area anak-anak lengkap dengan mainannya. Sementara di latar belakang Masjid Agung Bandung tampak megah diapit dua menara. Pemandangan yang luar biasa.

Bahkan rambu petunjuk pun dibuat dengan cara yang kreatif

Nah, udah dikasih peringatan. Tinggal diikuti saja 

Halteu bis yang nyaman dan bersih
Masjid Agung Bandung

Kendati masih cukup pagi, ternyata di Alun-Alun ini sudah ramai. Banyak warga yang memanfaatkan area ini untuk berbincang, reuni, ngasuh anak-anak, dan bahkan kayaknya banyak yang bolos nih (kumaha ieu kalau beneran bolos? hihi). Titan bahagia sekali main di sini. Saking semangatnya, ibunya diajak balapan lari di atas hamparan rumput. Ah, senangnya jadi warga Bandung yang begitu dimanjakan.
Hamparan rumput sintetis yang bersih bikin Titan pun bahagia

Melihat sekeliling, warga duduk-duduk memenuhi bangku di tepi lapangan sambil makan, sarapan, atau hanya sekedar berbincang. Foto-foto? Jangan kuatir, tongsis dan segala jenis kamera bermunculan dari segenap penjuru. Tempat ini memang luar biasa untuk diabadikan. Bersih, terawat! Satu hal lagi, nggak ada PKL yang mangkal sembarangan dan menganggu pemandangan. Awesome!
Warga duduk-duduk di pinggiran Alun-Alun, sekedar sarapan, ngobrol, atau ngasuh anak-anak

Puas menikmati Alun-Alun, kami lanjut berjalan ke arah Jalan Asia Afrika yang minggu lalu menjadi pusat perhatian dunia dengan suasana kemegahan Peringatan KAA ke 60. Sisa-sisa kemegahan dan hasil kerja keras warga Bandung dan Walikotanya masih bisa dinikmati. Trotoar dengan bangku-bangku antiknya yang enak dipakai untuk menikmati pemandangan sekitar Asia Afrika. Batu-batu bulat yang bertuliskan nama-nama negara peserta KAA, tanaman bunga di sepanjang jalan (sayangnya sudah mulai ada yang layu, mungkin kepanasan atau belum disiram) menghias sepanjang trotoar. Warga dari anak sekolah sampai warga lanjut usia banyak yang berjalan-jalan menikmati suasana sepanjang jalan ini. Suasana yang luar biasa.
Duduk di sepanjang jalan ini asik ternyata...

Sepertinya bunganya kepanasan, agak layu. Belum disiram kah?

Sayangnya, masih aja ada warga (semoga warga norak nan kampungan ini bukan warga Bandung. Kalau warga Bandung kepruk aja biar kapok. Kalau bukan warga Bandung jangan bolehin ke Bandung lagi sampai jadi warga yang tahu sopan) yang berbuat norak manjat di atas bangku hanya buat foto-foto (norak, kan) atau buang sampah sembarangan (sumpah, pengen jitak deh rasanya). Nggak ngerti apa ya kalau banyak warga yang sudah kerja keras menjadikan Bandung sekeren ini.

Dari Asia Afrika melewati Museum KAA, menuju Braga. Sayangnya saat itu Museum KAA tutup, jadi nggak bisa masuk. Sepanjang Braga mata masih dimanjakan dengan suasana yang bersih kami menuju titik pusat Braga yang ada penanda berbentuk tulisan BRAGA warna merah menyala. Akhirnya bisa sampe sini juga. Keren!
Gak ada huruf T, A juga jadi deh

Dari situ kami berjalan memutar kembali ke arah Asia Afrika melalui Jalan Cikapundung yang masih ditutup untuk kendaraan. Sepanjang jalan ini, digunakan untuk bazar, panggung hiburan KAA, dan juga dihias dengan blok-blok yang berisi gambar (saya nggak tau namanya apa) tokoh-tokoh KAA lengkap dengan informasinya. Sangat edukatif dan informatif. Sepanjang jalan berjejer tiang bendera, di satu sisi bendera Merah Putih, di sisi lain bendera negara peserta KAA. Di muka jalan Cikapundung yang berdekatan dengan Gedung Merdeka dijajarkan figur-figur tokoh Indonesia juga tokoh Jawa Barat, termasuk Sukarno dan Ridwan Kamil, the major. Banyak warga yang berfoto di sini (nggak sama orangnya sama figurnya nggak apa-apa deh). Di panggung ada sejumlah siswa SD yang sedang memainkan angklung membawakan lagu-lagu daerah dan lagu nasional. Ah, suara alunan angklung itu buat sejuk hati dan kepala. 
The Major, and the major wanna be hehe

Pertunjukkan angklung di Jalan Cikapundung

Berkibarlah benderaku....


Gak hanya jalannya, sungai Cikapundung juga nggak luput dari pembenahan. Walaupun airnya masih sebutek bajigur, tapi alirannya bersih dari sampah. Di atas jembatan Cikapundung yang berada di Asia Afrika diberi jeruji yang dihias dengan tanaman hijau. Cantik!
Walau sebutek bajibur, tapi bebas sampah

Dipake buat mejeng juga keren koq...

Puas di sekitar Asia Afrika, kami melanjutkan perjalanan ke arah Gedung Sate. Mobil kami parkir di sebelah Taman Lansia, kami jalan kaki menuju Museum Pos. Saya baru tahu kalau ada museum ini. Posisinya persis sebelah Gedung Telkom seberang Taman Lansia. Di depan museum terdapat 2 spot foto yang keren, sejenis foto booth. Gedung ini kayaknya termasuk gedung tua, tapi kondisinya baik dan terawat.
Sejarah dan aneka benda pos ada di sini

Tukang pos jaman baheula...

Di dalam museum dipajang benda-benda pos, termasuk koleksi perangko berbagai zaman dan negara. Keren! Untuk anak sekarang, benda-benda ini termasuk benda aneh. Padahal untuk generasi saya, pos memegang peranan penting untuk komunikasi. Dulu saya suka menyimpan perangko-perangko yang unik (belum bisa dibilang filateli karena hanya sedikit) juga kertas surat yang lucu-lucu. Sekarang mana ada lagi sejak surat digantikan dengan email dan teks message via gadget. Saat kami keluar ada serombongan anak sekolah yang mengunjungi Museum Pos ini.

Dari Museum Pos kami menuju Gedung Sate, untuk motret bagian depannya. Ada yang keren yang baru saya lihat, di trotoar di depan Gedung Sate ternyata dihias dengan motif Batik khas Jawa Barat. Wahh, keren bener. Hanya sebentar di Gedung Sate, mengingat perut sudah keroncongan, kami balik ke parkir melalui Taman Lansia. Ah, rasanya dulu tempat ini nggak menarik untuk dikunjungi. Selain kotor, juga terlalu rimbun nggak jelas. Sekarang? Selain bersih, rapi, juga dilengkapi wi-fi. No wonder di siang yang terik ini banyak warga yang memanfaatkan tempat ini untuk beristirahat. Once again, nggak banyak pedagang yang berkeliaran. Sayangnya memang ada beberapa tempat sampah yang rusak dan hilang. Duh, masih aja tangan jahil ini menganggu apa yang sudah baik. 
Trotoar depan Gedung Sate yang dihias ornamen batik khas Jabar. Seandainya seluruh trotoar di Bandung bisa sekeren ini (minimal cukup buat jalan kaki dan bersih) tentu akan lebih hebat #harapan...

Taman Lansia yang ber wi fi (belum nyoba selancar di sini sih). Tapi taman ini keren dan asri

Nah, tempat sampahnya ke mana?

Makan siang kami di Ciung 11. Warung makan rumahan yang punya sup buntut enak luar biasa. Warung makan ini hanya buka pada hari kerja saja. Dan kalau datang kesiangan jangan harap masih dapat sup buntut. Habis jalan di panas terik semangkuk sup buntut plus es kelapa jeruk sukses masuk perut....ah dunia benderang kembali rasanya.
Sup buntut ala Ciung 11. Rasanya? Sedap abis deeh

Perjalanan kami lanjutkan ke arah Padasuka menuju Saung Angklung Udjo. Setibanya di sana pertunjukkan jam 13 sudah mulai. Kami langsung berbaur dengan pengunjung lain sambil motret. Pertunjukkannya lumayan interaktif. Di bagian akhir seluruh pengunjung diajak memainkan angklung mengikuti aba-aba MC. Walaupun dadakan, tapi keren. Pengunjung antusias memainkan angklungnya sesuai aba-aba. Untuk saya, ini adalah kali pertama saya memegang dan memainkan angklung. Rasanya, jadi pengen belajar main angklung. Titan bilang, Ibu payah. Titan sudah pernah main ini di sekolah (maluuuu).
Dengar musik angklung itu asik. Nggak kebayang 20 ribu angklung! Awesome Angklung!

We love Indonesia


Dari Saung Angklung kami memburu satu lokasi lagi: Taman di bawah jembatan Pasupati. Ah, tak terbayangkan kalau di bawah jembatan bisa disulap jadi tempat nangkring yang keren. Seringkali daerah bawah jembatan jadi area yang kumuh, menyeramkan, bau, nggak menarik. Tapi di Bandung, di bawah jembatan Pasupati ada 3 taman tematik yang asik: Taman Pasupati alias Taman Jomblo, Taman untuk main skateboard, dan Taman Film. Kerennya lagi taman-taman ini tampak bersih dan terawat. Di Taman Jomblo dihias oleh bangku-bangku beton yang cocok memang buat merenung hihi. Di taman sebelahnya banyak anak-anak muda asik main skateboard. Sementara turun ke bawah ada Taman Film yang memiliki tempat duduk bangku-bangku beton dan hamparan rumput sintetis dengan layar lebar. Kayaknya nobar Piala Dunia di sini bakal seru nih. Banyak warga yang sedang mengaso, diskusi, mengobrol, main di Taman Film. Lokasinya emang enak buat nangkring. Naungan jembatan lumayan meredam panas yang menghentak.




Taman yang ini ada di Jalan Ganesha. Dulu sewaktu masih kuliah di kampus seberangn taman ini, kondisinya mengenaskan. Boro-boro asri, yang ada serem, kotor, geueuman kata orang Sunda mah. Sekarang? Saya sampai kagum lihat ini taman bertransformasi jadi bginih....

Ah, Bandung sekarang keren. Dulu di saat saya tumbuh besar saya sangat suka udara dan suasana Bandung. Sepertinya rasa itu kembali lagi. Terima kasih untuk segenap warga Bandung juga walikotanya yang berhasil menjadikan Bandung kembali keren. Mudah-mudahan apa yang sudah diupayakan bisa bertahan lama, dijaga dengan baik untuk diwariskan ke penerus selanjutnya. Walaupun masih banyak area Bandung yang perlu ditata, tapi perubahan yang sudah dilakukan sudah hebat terlebih kalau bisa dijaga dengan baik.

Semoga kebaikan yang sudah dilakukan bisa menular ke area dan menyentuh aspek kehidupan yang lain, sehingga Bandung tetap menjadi mojang geulis, yang terus layak menyandang gelar sebagai Paris van Java. I really love Bandung.