Pagi tadi seperti biasa berangkat kantor nyetir sambil
denger radio. Topik pagi ini adalah hari ayah, tentang kenangan yang paling menyenangkan dengan ayah.
Ah, jadi keingetan dulu waktu kecil. Papah itu orangnya
sangat galak. Di membesarkan saya seperti tentara, terlebih saya anak sulung
dan besar harapannya kalau anak sulungnya adalah laki-laki. Sejak kecil saya
dididik sebagaimana anak laki-laki, tidak tahu pakai rok, jalan dan lari
seperti anak laki-laki. Dia tidak pernah masalahkan saya keluyuran ke mana-mana
dengan celana pendek, manjat genteng, manjat pohon, kebut-kebutan naik sepeda
di siang bolong. Tapi, kalau saya enggan belajar atau mengerjakan PR, atau
keasikan nangkep capung di kebun orang, atau berani membantah, maka saya harus bersiap
berdiri di pojokan ruang tengah dengan kaki sebelah diangkat dengan tangan
memegang kedua daun telinga.
Masih jelas teringat kegiatan setiap minggu subuh ketika
saya SD dulu. Bandung saat itu masih dingin luar biasa. Namun, setiap minggu
subuh, papah sudah membangunkan kami untuk lari pagi ke Alun-Alun Bandung. Saya dan adik berlari, papah mengiringi pelan
dengan motornya. Sebenarnya jaraknya lumayan jauh, tapi karena menyenangkan, capeknya
nggak berasa. Sampai di Alun-Alun kami paling duduk-duduk, lempar2an bola,
lanjut jajan bubur ayam atau lontong kari. Ketika matahari mulai bersinar
benderang kami pulang berboncengan.
Sampai saya SD kelas 3, saya masih suka mandi di bawah
kucuran air pompa yang segar. Yang mompa tentu saja papah. Kalau sedang senang
main air, saya nyemplung masuk bak mandi sampai akhirnyna diomeli karena air
satu bak penuh terpaksa harus dibuang.
Setiap kali papah punya uang lebih, ia suka membelikan kami
makanan. Makanan kesukaan kami adalah mie karmino (saya suka mie itu sampai
sekarang, walau rasanya sudah nggak seenak dulu). Kalau beli mie karmino tidak
tanggung-tanggung: sebungkus besar (yang bisa dinikmati untuk 4 orang) hanya
dibagi berdua. Dia senang kalau anak-anaknya kekenyangan. Nggak cuman mie karmino,
saya pernah mabuk durian gara-gara dibelikan durian seorang satu. Karena ada sepupu
yang nggak suka, saya makan juga jatahnya dia sehingga berakhir dengan mabuk
durian.
Kalau pergi ke luar kota, oleh-olehnya aneh-aneh, kadang
semangka sampe 1 mobil (sampai tetangga sepanjang jalan di mana kami tinggal
kebagian) atau lutung. Ya, saya dibawakan lutung dari Palembang. Lutung
kecil yang saya pelihara dengan sayang.
Waktu akhirnya lutungnya mati karena dijatuhkan salah seorang saudara, saya
nangis berkepanjangan. Sampai akhirnya dibelikan seekor monyet sebagai
gantinya. Walhasil rumah kami berantakan karena si monyet kecil ngacak-ngacak
seantero rumah.
Sewaktu saya SMA, bandel saya masih banyak. Saat itu, saya
kelas 1 SMA, papah mengajari saya naik
motor. Saya sih kesenengan. Nah, malam minggu itu saya pinjam motornya dan
bilang kalau yang bawa bukan saya, tapi tetangga. Papah kasih kunci motornya
sambil wanti-wanti nggak boleh bawa sendiri, selain belum bisa juga belum cukup
usia. Awalnya iya, yang bawa teman saya yang sudah bisa bawa motor dan punya
SIM. Tapi, subuh-subuh saya curi-curi ke luar rumah. Motor saya dorong sampai
agak jauh baru dinyalakan setelah cukup jauh dari rumah. Awalnya lancar saja,
tapi makin lama makin keenakan menekan gas, motor melaju kencang. Saya
membonceng sepupu saya. Hingga tiba di perempatan saya belok tanpa menginjak
rem. Dengan kecepatan tinggi, tanpa ampun motor saya naik ke trotoar dan
berhenti setelah menabrak tembok, menghempaskan saya hingga melayang menimpa
motor yang jatuh duluan. Sepupu saya yang lompat begitu motor naik trotoar
membuat seorang bapak yang sedang menunggu bis terloncat dan langsung
mengangkat saya. Ketika berdiri dan pandangan saya menumbuk motor yang ketiban
badan saya, yang terbayang adalah papah akan murka semurka murkanya. Mana papah
galaknya minta ampun pula. Belum terasa sakitnya dahi yang sudah membengkak
sebesar telur ayam dan sebelah alis mata
yang ternyata sedikit membengkok plus badan yang memar-memar. Yang saya pikir
saat itu adalah bagaimana caranya pulang dengan aman.
Kebetulan seorang tetangga lewat membawa gerobak kosong. Ia
baru saja mengantarkan tempe buatannya ke pasar. Akhirnya dia menawarkan
motornya naik gerobak. Saya serta sepupu pulang pakai angkot. Pesan saya ke
dia adalah ketuk pintu pelan-pelan supaya papah nggak bangun. Eh, nasib memang,
sampai rumah papah sudah bangun dan mencari saya dan motor yang menghilang.
Begitu saya tiba dengan wajah babak belur plus senut2 reaksinya di luar dugaan.
Dia tidak marah. Pun ketika melihat pelek depan motor yang berbentuk hati dan
body motor yang babak belur. Yang ia lakukan adalah meminta mamah mengantar
saya ke dokter termasuk ke dokter mata di Cicendo karena ternyata di mata saya
ada pendarahan akibat benturan. Dia sendiri panggil montir untuk memperbaiki
motor. Dan ketika motornya kelar, saya sama sekali nggak dilarang untuk kembali mengendarai motor, bahkan dia kembali mengajari saya. Ah….ternyata…..
Belum cukup kebandelan saya, selama satu minggu saya terpaksa
seperti bajak laut dengan mata ditutup sebelah, saya pergi hiking walau dilarang. Karena
pandangan yang gak normal berkali-kali saya jalan nabrak pohon dan tiang.
Ketika saya cerita papah hanya tertawa ngakak. Tapi, ketika tahu saya diam-diam
pacaran, murkanya nggak ada dua…
Sampai ketika saya kuliah, sampai tingkat 2 papah masih suka
antar saya ke kampus dengan motor kesayangan, binter mercy yang sudah dimodifikasi. Bangga ia
mengantarkan anaknya ke ITB. Bangga dia berkata ke teman-temannya kalau kelak
dia akan antar anaknya wisuda, bahkan sejak tahun pertama ia sudah menyiapkan
satu baju untuk mengantar saya wisuda. Satu cita-cita yang nggak tercapai
karena pada tahun terakhir kuliah papah kecelakaan dan meninggal .
Sekarang, 18 tahun sudah papah pergi. Tiba-tiba seluruh
kenangan itu menyeruak berlomba keluar. Papah bukan orang yang halus, bukan
orang yang sabar, bukan juga orang yang sempurna. Ada banyak saat kami
berbantahan, bertengkar, hingga musuhan. Ada banyak saat ketika saya luar biasa
benci sama papah. Tapi satu hal yang akhirnya saya sadari sekarang, papah ini
sayang sekali dengan anak-anaknya, tapi enggak tahu bagaimana menyampaikannya. Untuk saya, dia adalah papah terbaik. He wasn't perfect, but he is my father. I miss
you so much, papah. Semoga Allah mengampuni semua dosamu, menerima seluruh
kebaikanmu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik. Semoga papah akan bangga pada saya….