Monday, 8 February 2016

The Power of Kepepet

Bayangkan dalam situasi serba sulit, kekuatan apa yang membuat kita bisa melakukan apapun tanpa takut dan ragu? Pasti jawabannya karena kepaksa alias kepepet.

The power of kepepet ini memang luar biasa, bisa membuat yang tadinya nggak mungkin dan nggak bisa, jadi bisa. Saya mengalami sendiri banyak momen ini. Saya termasuk salah satu manusia penakut tingkat dewa. Sampai saya kuliah saya masih sangat penakut. Jangankan harus di rumah sendirian, pergi ke dapur malam-malam saya harus menggeret orang lain untuk mengantar atau kalaupun terpaksa pergi sendiri, saya akan berlari secepat kaki saya bisa. Kalau pengen pipis tengah malam saya harus diantar ke kamar mandi. Biasanya oleh adik atau oleh almarhum mamah. Padahal kamar mandi itu terletak persis di seberang kamar tidur. Norak sangat kan...

Nah, sewaktu ospek ada kegiatan jurit malam. Mau nggak mau, suka nggak suka, takut nggak takut saya harus berjalan sendirian tengah malam, entah di mana, nggak tau ada apa, dari pos ke pos. Takut? Kalau boleh memilih, saat itu saya akan memilih berlari pulang. Tapi, tentu saja itu nggak bisa saya lakukan mengingat saya sendiri nggak ngerti ke mana para senior ini membawa kami. Ketika mulai dilepas jalan sendiri, jantung saya seperti berada di tenggorokan, siap melompat ke luar saking takutnya. Namun, akhirnya, the power of kepepet menang. Tidak ada pilihan, saya harus menyelesaikan ini. Saya berjalan dari pos ke pos dan akhirnya sampai di pos terakhir, tanpa kurang apapun, nggak ketemu apapun yang menyebabkan saya takut (padahal di kepala saya sudah berseliweran bayangan ketemu makhluk-makhluk seram)!! Sejak saat itu sifat penakut saya sedikit berkurang (sedikit saja).

Ketika mengerjakan tesis, kekuatan terbesar yang mendorong saya menyelesaikan tesis dengan cepat adalah the power of kepepet. Saat mengajukan proposal penelitian saya baru tahu kalau saya mengandung. Proposal, penelitian, analisis, sampai rampung semua saya kebut balapan dengan perut saya yang semakin gendut. Target saya adalah lulus S2 dulu sebelum jadi ibu. Wara-wiri, begadang, sampe dosen pembimbing saya takjub karena saya ngejar-ngejar beliau di manapun. Dan alhamdulillah, revisi berhasil saya selesaikan sebelum usia kandungan saya 7 bulan. Saya sidang dan lulus dengan nilai memuaskan, saya mendapat gelar master dengan gelar CL (boleh sombong sedikit), dan saya menjadi ibu beberapa bulan kemudian.

The power of kepepet terbesar adalah yang saya alami saat ini. Ketika saya menikah dulu, tak ada satupun yang menyiapkan saya untuk kemudian menjalani hidup sebagai ibu tunggal. Berperan ganda sebagai ibu dan ayah sekalian bagi putra saya, mengurus masalah finansial, membesarkan dan mendidik putra saya sementara saya sendiri bekerja penuh waktu, serta menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dengan kondisi rumah jauh dari sanak saudara ,sama sekali nggak pernah terpikir akan saya lakukan.
Namun, pada saat ambil keputusan untuk menjadi ibu tunggal, the power of kepepet menggambil alih. Entah bagaimana caranya, saya hingga saat ini bisa menjalankan semuanya. Mulai dari mengurus rumah, membesarkan putra saya, mencari nafkah, memperbaiki keran patah, nembok lubang tikus, sampai memasak. Menjadi sopir AKAP menyetir ke daerah yang kalau bisa saya hindari, sekarang saya lakukan.

Semua yang sudah saya lakukan masih jauh dari sempurna, bahkan dari baik sekalipun. Namun, hingga saat ini kami bertahan dengan baik. Ada banyak ups and downs, ada banyak tangis dan emosi, namun juga ada banyak tawa bahagia. Tentu saja saya tidak mengesampingkan kuasa Allah SWT yang menjadikan saya seperti ini. Alhamdulillah, Allah memberikan the power of kepepet yang luar biasa. Membuat saya bisa berpikir jernih dalam banyak hal. Membuat saya bisa kreatif dalam menghadapi berbagai situasi, membuat kami bisa bertahan dalam kondisi seperti ini. Namun, tentu saja saya berharap suatu hari nanti kami akan hidup sebagaimana keluarga normal lainnya. The power of kepepet itu tentu masih akan dibutuhkan, namun dalam bentuk yang lain. Wallahualam bisawab....

Wednesday, 3 February 2016

Sepotong surga di ujung Barat Indonesia #latepost

Setahun yang lalu kami berkesempatan mengunjungi ujung terbarat Indonesia. Awalnya, seperti biasa browsing cari tempat liburan. Kebetulan Garuda menawarkan promo ke beberapa tujuan. Setelah pilih-pilih akhirnya saya pilih Banda Aceh untuk destinasi liburan kali ini. Karena memesan dari jauh hari, lumayan juga selisih harga per tiketnya. Jadilah kami bisa terbang dengan harga lumayan miring.

Sebenarnya sudah lama saya ingin sekali ke Banda Aceh, namun sayangnya memang belum ada kesempatan. Jadi, kali ini rasanya saya seperti mendapatkan durian runtuh, terlebih saya bisa mengunjunginya bersama putra tersayang dan sahabat baik saya semasa kuliah S2 dulu.
Satu bulan sebelum berangkat kami berbagi tugas. Teman saya memesankan hotel dan mengurus sewa kendaraan. Saya mengecek itinerary selama perjalanan (biasanya tugas saya adalah urusan tiket pp), itinerary kami bicarakan bersama termasuk dengan driver di sana supaya perjalanan kami efektif. Kami sampaikan apa yang mau kami lihat dan apa yang mereka usulkan, baru kami pilih dan bersepakat. Kami merencanakan untuk menjelajah Banda Aceh dan Sabang. Rencananya akan mencoba intro diving di Iboih.

Menjelang hari H mulai sibuk packing. Karena akan pindah ke Sabang menggunakan kapal cepat saya membawa travel bag cadangan untuk pakaian dan barang yang akan dibawa ke Sabang. Koper besar jika memungkinkan rencananya akan saya titip di di Banda Aceh (membayangkan ngangkat koper besar di pelabuhan kayaknya agak2 ribet, terlebih bawa Titan). Semua keperluan dihitung dan dicatat supaya nggak kelebihan atau kekurangan pakaian. Biasanya kalau pergi-pergi 1-4 hari saya hanya membawa 1 koper saja untuk kami berdua. Karena akan ke pantai tidak lupa saya selipkan sunblock dan topi untuk Titan. Kami juga membekali diri dengan browsing seputar lokasi yang menarik plus kuliner khas Banda Aceh yang harus dicicipi.

Hari H pun tiba, kami berdua senang sekali membayangkan petualangan yang akan kami temukan di Banda Aceh dan Sabang. Untuk Titan supaya gak bosan di pesawat saya bawakan buku bacaan. Dia boleh memilih 2 buku bacaan yang tidak terlalu berat untuk dibaca di perjalanan. Eh, di Bandara dia malah merengek minta Lego. Akhirnya sepanjang Jakarta-Banda Aceh dia asik merakit lego sambil nonton Doraemon (sampai hari ini Titan masih suka bolak balik nonton Doraemon stand by me).














Tiba di Banda Aceh kami dijemput oleh mas driver yang ternyata ganteng bernama mas Boy, serius (kami sempat cekikikan berdua dan langsung book supaya drivernya nggak diganti sampai kami kembali dari Sabang dan diantar ke Bandara). Untungnya dia setuju (dan kami ikut melapor ke kantornya supaya dibolehkan sama bosnya hehe). Mas Boy ini baik sekali, dia banyak membantu kami selama perjalanan. Belakangan baru tahu kalau dia dulunya sempat menjadi pemain bola, bahkan sempat mengikuti Pelatnas. Sayangnya, saat dia cedera semua tidak menyanggupi membayar biaya pengobatannya dan akhirnya kembali ke Banda Aceh dan bekerja sebagai driver freelance di travel agent. Bakat yang tersia-sia.... Yang pasti dia takjub karena katanya berani-beraninya perempuan berdua sama anak kecil jauh-jauh dari Jakarta ke Banda Aceh hihi.
Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh tidak terlalu besar. Dari luar terlihat biasa, namun memiliki ciri khas terdapat kubah seperti masjid. Suasana islami memang terasa sekali di kota ini. Sepanjang jalan kami jarang sekali  melihat wanita yang tidak mengenakan kerudung.

Dari Bandara kami langsung menuju ke Museum Tsunami (untungnya di pesawat kami makan sehingga bisa langsung jalan-jalan). Di bangunan (yang ternyata saya baru tahu belakangan kalau bangunan ini dirancang oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung) ini kami menyaksikan dokumentasi peristiwa tsunami 2004 silam. Masuk ke Museum Tsunami tidak dipungut bayaran (seingat saya, agak lupa). Begitu masuk kami melewati jalan melingkar membentuk ulir yang mengelilingi menara bagian tengah. Begitu masuk suasana yang remang-remang ditambah suara dan tetesan gemericik air dan lantunan suara pembacaan ayat Al-Qur'an membuat bulu kuduk kami sedikit meremang. Terbayang lagi peristiwa tsunami lalu. Ah, semoga seluruh korbannya mendapatkan ketenangan di alam kubur. Begitu tiba di ujung jalan berulir kami memasuki ruangan pameran foto tsunami. Berbagai foto terkait dengan lokasi, korban, dan segala tentang tsunami ada di sana. Dari ruangan foto kami pindah ke ruangan lain melihat film dokumentasi mengenai rekaman peristiwa tsunami dan evakuasi korban. Di ruangan yang berbentuk teater mini ini kembali hati kami terasa ngeri melihat dahsyatnya kekuasaan Allah. Titan baru pertama kali melihat dokumentasi tsunami. Dia baru paham kalau gelombang laut bisa sebegitu dahsyat. Film dokumentasi berlangsung sekitar 15 menit kemudian kami menuju bagian tengah bangunan yang berbentuk menara. Bagian menara ini gelap dan seperti cerobong asap yang mengecil ke atas. Tepat di puncak bagian tengah pucuk menara terdapat tulisan ALLAH dalam tulisan Arab. Di sekeliling dinding bagian dalam menara bertuliskan nama-nama korban tsunami.


Sebenarnya masih ada bagian museum yang lain yang berisi lukisan dan beberapa koleksi lain. Sayangnya karena kami masuk menjelang sore, museum sudah menjelang tutup. Akhirnya kami ke bagian luar museum dan melihat rongsokan kendaraan yang rusak akibat tsunami.

Dari museum kami menuju PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) APUNG. Disebut PLTD Apung sebenarnya adalah kapal yang menjadi salah satu sumber listrik bagi penduduk di sekitar pantai utara Aceh. Kapal ini ditambatkan di Desa Punge di wilayah Ulee Lhe. Saat tsunami, kapal ini terseret hingga 5 km ke kota Banda Aceh. Korban jiwa yang jatuh di wilayah ini mencapai ribuan orang. Bahkan ada yang satu desa tersapu bersih.

di atas PLTD Apung
Bersama mas driver
Monumen korbam tsunami di PLTD Apung














Dari PLTD Apung tadinya kami mau menuju pasar tradisional di Aceh, namun karena sudah terlalu sore dan perut sudah lapar, akhirnya kami menuju Warung Rajali untuk mencicipi mie aceh. Ada beberapa tempat yang terkenal dengan mie acehnya, salah satunya adalah Mie Aceh Rajali ini. Kami memesan mie aceh kepiting, sementara Titan memesan mie aceh tanpa kepiting. Rasanya? luar biasa sedap. Sepiring hampir kami tandaskan. Sayang karena perut sudah gak muat (porsinya jumbo sekali, terlebih masih ditambah nyamil martabak telur), akhirnya kami menyerah. Setelah makan saya memesan es ketimun khas Aceh (dan ini jadi minuman kesukaan saya selama di sana). Isinya ketimun serut ditambah sedikit sirup pemanis dan es. Rasanya segar (dan menetralkan kolesterol yang baru saya santap hahahaha).



Setelah makan kami menuju Masjid Baiturahman. Masjid ini terletak di dekat Museum Tsunami. Masjid yang menjadi saksi bisu tsunami ini berdiri kokoh dan menjadi tempat yang tidak tersentuh tsunami. Bagian seberang jalan masjid yang dibatasi oleh pagar besi pendek luluh lantak diterjang tsunami. Saat menuju masjid, driver kami bercerita, saat peristiwa itu dia masih SMA. Hari minggu pagi itu dia dan teman-temannya baru saja mengikuti lomba marathon dan sedang beristirahat. Ketika tsunami menerjang semuanya pontang panting menyelamatkan diri. Banyak di antara mereka melarikan diri ke arah masjid.
Suasana sore itu cukup ramai. Halaman masjid yang luas menjadi tempat bermain bagi anak-anak dan keluarga-keluarga muda sambil menunggu waktu shalat. Sayang memang saya sedang tidak shalat, jadi hanya bisa menikmati suasana di pelataran masjid. Masuk ke masjid ini wajib mengenakan pakaian muslimah yang tertutup. Jadi, memang akhirnya sahabat saya tidak bisa masuk ke halaman masjid.

Menjelang maghrib kami sempat melipir ke pusat batu mulia di Banda Aceh, Karena gak paham, akhirnya hanya melihat-lihat saja dan menyesal kenapa giok aceh itu gak dibeli haha. Malam hampir tiba, kami menuju pusat oleh-oleh. Saya lebih suka membeli oleh-oleh di awal perjalanan supaya nggak pusing lagi mikirin oleh-oleh plus kalau masih kurang bisa nyari lagi tanpa terburu-buru. Oleh-oleh khas Aceh adalah abon ikan dan ikan kayu. Ikan kayu ini sejenis ikan kering yang kalau mau dimasak harus direndam air beberapa jam sebelumnya. Biasanya dimasak gulai.

Menjelang malam kami akan kembali menuju hotel. Di perjalanan kami menemukan banyak penjual durian. Dan akhirnya kami mampir menikmati durian pulut (durian dinikmati dengan ketan pulut, ketan yang dibakar seperti lemper tapi tanpa isi) dan segelas sanger (kopi susu ala Aceh). Ah, enak sekali rasanya, walau Titan mengerenyit sebal mencium bau durian. Besok pagi sekali kami akan ke pelabuhan di Ulee Lhee. Untuk besok pagi kami memesan timphan dari mas Boy untuk kami nikmati di perjalanan ke Sabang, makanan khas aceh yang dibuat dari tepung, pisang, dan santan (kayaknya kalau orang Bandung bilang ciu, hanya saja bentuknya kecil-kecil dan lebih empuk).

Pagi-pagi kami sudah bersiap menunggu jemputan menunggu pelabuhan. Pukul 7 pagi di Banda Aceh masih gelap. Jalanan masih sangat sepi. Perjalanan ke pelabuhan sangat lancar. Di pelabuhan juga nggak terlalu ramai, banyak pelancong asing yang juga hendak ke Sabang. Kami memilih naik kapal cepat dan tempat duduk di dalam kabin (kuatir panas dan angin). Perjalanan ditempuh selama 1.5 jam. Tak terasa kami tiba di Pelabuhan Sabang. Dan saya akhirnya menitipkan koper besar saya di driver, karena nanti dia juga yang akan jemput di pelabuhan dan antar kami ke bandara.

Di Sabang kami dijemput driver lain (yang direkomendasi oleh kantor tempat kami sewa kendaraan). Dari pelabuhan kami menuju Balohan Hill yang tepat berada di atas pelabuhan. Dari puncak bukit, pantai dan pelabuhan terlihat sangat jelas dan indah pastinya. Puas berfoto di Balohan Hill, kami menuju Pantai Gua Jepang. Dari tepi jalan posisinya menjorok ke dalam. Perjalanan ke sini agak menanjak dan lumayan bikin ngosngosan mengingat puanasnya tak terkira. Sudah tengah hari. Namun, begitu tiba di pantainya, suara debur ombak dan pemandangan pantai cukup mengobati rasa lelah kami.




Setelah Pantai Gua Jepang kami menuju Pantai Tiga Sumur. Pantai ini cantik dengan tiga sumur yang katanya peninggalan penjajahan ada di tepi pantainya, namun mengingat letaknya yang jauh di bawah jalan dan jalanannya curam akhirnya kami hanya melihat dari atas saja. Hari yang sudah sangat siang ditambah cuaca terik akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan sebelum menuju ke Tugu Titik Nol. Makan siang kami di sebuah warung makan rumahan yang bersih dan makananya enak serta luar biasa murah. Untuk meredam haus dan panas lagi-lagi saya memesan es timun serut yang segar itu.

Perjalanan berlanjut ke Tugu Nol Kilometer di tepian Sabang. Akhirnya kami sampai juga di kilometer 0 Indonesia. Sayangnya Titan tertidur dan hanya bangun sebentar untuk berfoto. Niat untuk mendapatkan piagam tanda sudah pernah ke sini juga batal karena printernya gak bisa digunakan dan file piagamnya tidak bisa saya copy.. ya sudahlah...

Dari Titik 0, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Iboih. Karena kepanasan, kepala saya agak pening, sehingga hampir saja niat untuk ikut intro diving dibatalkan. Namun, membayangkan keindahan bawah laut akhirnya saya nekad nyemplung.
Kami menyewa peralatan selam plus diantar diver di ScubaWeh. Naik boat kami ke perairan yang lebih dalam. Titan ikut menunggu di boat bersama salah satu awak Scuba Weh. Sebelum menyelam, kami mendapatkan briefing dan sedikit latihan langsung di dalam air. Mulai dari perairan dangkal sampai tahu-tahu kami ada di kedalaman 5 meter. Suasana bawah laut yang indah membuat saya takjub. Walau masih suka lupa tarik napas melalui hidung sampai keselek dan masker yang bocor karena terkena ujung penutup kepala, namun tak sebanding rasanya melihat indahnya pemandangan di bawah air. Cahaya matahari yang masih benderang mampu menembus hingga 8 meter saking beningnya. Ikan warna warni berbagai jenis berenang hilir mudik di depan mata saya. Seperti main dalam film Finding Nemo!! Saking asiknya melihat pemandangan, tahu-tahu mata saya kemasukan air laut yang luar biasa asin, dan hidung saya juga kemasukan air. Rasanya gelegepan saya memberi tanda ke instruktur minta naik ke atas. Perlahan saya dibawa naik dan tadaaaaa..udara permukaan pantai. Akhirnya saya tidak melanjutkan penyelaman, karena sudah cukup lama dan kasihan Titan yang menunggu. Selama saya nyemplung Titan didaratkan di pulau terdekat bersama seorang peserta introdive yang menyerah nggak jadi nyemplung. Sewaktu saya mendarat Titan asik main di pantai dan makan. Akhirnya kami nyemplung kembali ke air dan diapun keasikan main air. Titan menolak naik ke boat hingga dibopong paksa, sambil tertawa-tawa kami kembali ke Iboih.



Rupanya cukup lama kami di dalam air, ternyata walau masih terang benderang sudah lewat jam 6 sore! Buru-buru kami naik, berganti pakaian, menyimpan tas di penginapan dan langsung makan. Kami menginap di Fina Bungalows di Iboih dan beruntung mendapatkan kamar dengan jendela kaca superbesar yang langsung menghadap pantai, amboiiiiii senangnya....

Makan malam itu kami menikmati ikan bakar yang masih segar bersama dengan instruktur selam yang tadi membimbing kami. Nah, habis makan, gara-gara kelamaan pakai baju basah hasilnya saya muntah-muntah. Sia-sialah sudah apa yang saya nikmati saat makan malam tadi hahahaha.

Pagi-pagi kami sudah bersiap kembali ke Banda Aceh, Kami dijemput jam 7 pagi, dan luar biasa, jam 7 pagi di Sabang masih gelap luar biasa. Semburat mentari pagi yang baru terbit memerah di ufuk timur. Karena masih pagi dan jalanan juga lancar, kami masih sempat mutar-mutar. Saya baru perhatikan ternyata beberapa nama jalan dituliskan dalam bahasa Arab. Kami juga sempat ke arah balai kota Sabang dan melihat pantai Sabang dari atas ketinggian kota. Luar biasa, Indonesia ini indah bener. Akhirnya kami tiba di pelabuhan dan segera bersiap untuk melintasi lautan kembali ke Banda Aceh. Saat perjalanan pulang, Titan malah minta naik ke geladak dan menikmati angin serta percikan air laut. Saat berlabuh, sahabat saya ajak Titan masuk ke ruang kemudi dan dengan seizin nahkoda, Titan merasakan duduk di kursi kemudi. Wah, senangnya dia.
Pelabuhan Sabang

Sepotong langit pagi dari beranda kamar kami di Iboih
Menikmati angin dan percik ombak menuju ke Banda Aceh

Nahkoda cilik






Di Banda Aceh kami melanjutkan keliling bersama mas driver (masih bersama mas Boy), kami mengunjungi Rumah Tjut Nyak Dhien. Ternyata rumah ini adalah rumah replika yang dibangun ulang oleh pemerintah daerah karena rumah aslinya habis dibakar Belanda. Di sana kami melihat replika ruangan-ruangan dan barang-barang yang digunakan Tjut Nyak Dhien semasa hidup. Di bagian belakang rumah terdapat sumur yang dikelilingi tembok tinggi. Untuk menimbanya, harus dari dalam rumah. Tembok tinggi tersebut untuk melindungi air sumur agar tidak diracun pihak musuh.

Dari Rumah Tjut Nyak Dhien kami mengunjungi Rumoh Aceh, ini adalah museum yang menyimpan berbagai benda dan artefak budaya Aceh. Titan senang sekali di Rumoh Aceh karena banyak sekali benda-benda yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Kami juga melihat monumen kapal yang terseret tsunami hingga mendarat di atap rumah penduduk di Kampung Lampulo. Hingga saat ini, lokasi mendaratnya kapal tersebut (biasa disebut Kapal Nabi Nuh) menjadi salah satu lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan. Di bagian bawah terdapat spanduk berisi nama-nama korban tsunami. Di kampung Lampulo sekitar 1.000 warganya menjadi korban tsunami.


Puas berputar-putar kami menuju rumah makan yang menyediakan ayam tangkap. Di sini, selain menikmati ayam tangkap, lagi-lagi saya memesan minuman kesukaan saya, es timun serut.
Ayam tangkap ini adalah ayam goreng yang dimasak bersama potongan daun pandan dan daun jeruk purut. Ketika disajikan dalam piring potongan ayam kampung ditutupi hijau-hijau daun pandan dan daun jeruk yang digoreng bersama ayamnya. Rasanya enak, seperti ayam goreng biasa, namun memiliki bau yang khas. Titan menikmati sekali makan ayam tangkapnya. Dia bilang ini enak sekali.

Sehabis menikmati ayam tangkap, kami menuju warung kopi yang menyajikan kopi khas Aceh. Senangnya saya melihat aksi barista (peramu kopi aceh) menyajikan minuman kopinya. Seperti melihat pembuat kopi tarik tapi menggunakan wadah yang lebih besar. Saya baru tahu, barista memindah-mindahkan dan menyaring kopi supaya selain menghilangkan ampasnya juga menghilangkan asamnya. Kopi aceh yang termasuk jenis kopi arabica memiliki citarasa asam. Nah, supaya citarasa asam itu hilang maka sebelum disajikan dipindah-pindahkan seperti yang dilakukan oleh barista kopi aceh. Saya dan Titan sangat menikmati pertunjukkan barista sebelum menikmati segelas sanger (kopi susu) dan jajanan kecil (ketemu tymphan lagi).

Tak terasa waktu kembali sudah tiba. Akhirnya liburanpun berakhir sudah meninggalkan kenangan manis yang masih terpatri hingga kini. Suatu saat kami akan kembali ke Sabang dan menikmati kedalaman air di Iboih, tentunya saat itu saya harus sudah punya diving license (target selanjutnya...).