Sunday, 17 January 2021

Awug Trekker-7 Summits: Tangkuban Perahu, The First Summit

 

Tanggal 17 Januari ini rencananya sih akan trekking untuk menaklukan summit pertama dari tujuh yang direncanakan, Puncak Upas di Tangkuban Perahu.

Pukul 05.30 saya berangkat dari rumah, ditemani Doughtry yang teriak-teriak Over You, baiklah.

Drama pagi ini dimulai ketika security masih belum buka gerbang komplek, jadi kudu buka gerbang sendiri. Masih pagi sih, tapi udah gak terlalu pagi juga kali. Menjelang belokan Cihideung saya minggir dulu menyalakan GPS biar gak ribet. Perjalanan masih aman, sampe si mba GPS nyuruh belok kanan. Itu jalannya jelek, kecil, dan sepi. Bah, naga-naganya ini salah jalan! Untunglah ketemu sama bapak-bapak yang naik motor. Saya cegat itu motor biar bisa nanya. Ternyata sesuai dugaan ini salah jalan. Dia bilang ke arah VIB aja nanti tanya security di VIB. Okey, putar arah masuk kebon orang dulu, maap...maap...numpang muter balik. Balik ke arah jalan besar tetiba telp bunyi. Rupanya Djeng yang juga diarahkan ke jalan yang sama papasan barusan. Nyasar basamo ini judulnya. Setelah talipun-talipun minta sharelock (pakai acara disuruh balik aja pula hahaha) akhirnya lanjut jalan lagi. Pas melewati VIB perintah mba GPS aneh lagi, koq diminta ke sebelah kanan. Bah, akhirnya belok ke VIB nanya sama security-nya, dia bilang lurus terus sementara si mba google suruh belok. Frustasi nih kalau begini! Udah jam 6.20 masih enggak tau arah yang bener. Kesel asli. Setelah muter di dalam beberapa saat balik ke gerbang VIB lagi dan nanya security, ternyata dia bilang masuk ke dalam, cari pintu ke arah keluar baru ke arah CIC. Eeuuuuuuh atuh bukan dari tadi bilangnya, Ferguso. Akhirnya nanya lagi kalau lewat jalan raya ke mana? Setelah ditunjukin saya lanjut lagi. Kali ini enggak berani ngebut takut gapuranya kelewat. Sekitaran 1K akhirnya nemu gapura dengan tulisan CIC segede gaban. Langsung belok, kirain sih dari situ deket. Ternyata jauuuh booo. Mana jalannya kecil, jelek dan nanjak. Bah! Bah! Bah! Dalam hati sih kalau ternyata salah lagi sudahlah beneran mau balik, ganti kostum trus mau lari aja. Setelah 2K kemudian barulah ketemu parkirannya dan ketemu sama team Awug yang udah kumpul.

 Drama pagi ini berakibat dengan perut yang enggak enak, walhasil sekalipun Tarto nawarin dari gorengan, jagung rebus, sampe ketan kukus, asli enggak kepengen. Lapar iya, tapi drama pagi ini masih menyisakan kesal. Sambil nunggu tiket saya paksain makan yoghurt bar, biar ada energi mengingat semalam juga saya skip makan malam.

Abis dapat tiket kami doa bersama. Ada 29 peserta trekking hari ini, banyak. Semoga di jalan aman-aman terus. Setelah melewati gerbang tiket (harga tiketnya 15 ribu per orang), kami naik tangga menuju ke jalan tanah. Jalanan langsung nanjak jaaak. Tapi eh, baru sekitaran 300 meter udah nemu tempat foto yang bagus, belok lah kita semua poto-poto dulu hahaha.

                                                   

                                       

Pemandangan sekitar cantik, embun dan sisa hujan semalam menyisakan genangan di beberapa tempat, rumput-rumput juga basah, sehingga dalam waktu sebentar saja sepatu kami sudah mulai basah. Kami melalui jalan setapak yang menuju kebun teh Sukawana. Tanjakannya enggak terlalu curam, namun konsisten nanjak haha. Katanya Mas Pras yang jadi pemandu trekking kali ini, elevasi hingga puncak sekitar 600m. Kalau melihat jaraknya sekitaran 6KM kayaknya akan ada tanjakan gila nih.


Kami jalan melalui kebun teh, lewat jalan batu atau sesekali menerobos masuk ke dalam kebun teh buat potong jalan. Pemandangan sekitar cantik banget. Jajaran pohon teh yang disusun rapi seperti maze (kayaknya kalau nyasar di dalem pusing juga), sementara deretan gunung di sekelilingnya berdiri seolah memagari. Benar memang kalau dibilang Bandung ini dilingkung gunung heurin ku tangtung (dikelilingi gunung, banyak pepohonan). Di kejauhan terlihat Puncak Tangkuban Perahu yang menurut legenda adalah hasil tendangan perahu Sangkuriang yang kesal karena ditolak oleh Dayang Sumbi yang notabene adalah emaknya sendiri. Di sebelahnya berdiri dengan gagah Gunung Burangrang yang puncaknya seperti zigzag (Tahun 1999 saya dipaksa naik ke atas oleh sahabat saya yang pengen foto pakai toga di sana, Burangrang punya 4 puncak palsu). Sementara di arah timur terlihat Papandayan, Malabar, Manglayang dan beberapa bukit serta gunung lain yang melingkupi Bandung. Suasana hening, hanya terdengar celoteh kami saja.










Setelah lewat 5KM kami diajak untuk masuk jalur potong jalan menuju ke tower. Jika memutar kami masih harus menempuh sekitar 3K. Lewat jalur ini kami bisa memotong jarak menjadi 1K. Baiklah, sudah terbayang kayaknya akan ketemu tanjakan gila di sini. Begitu masuk ke area dengan vegetasi rapat jalurnya konstan menanjak. Halu sudah mulai, ada yang mulai nyanyi-nyanyi buat menghibur diri sampai ada yang salawatan (tapi enggak tahan lama juga siiih hihi) sampe ada yang bikin adegan postwed hahaha. Saya pikir elevasi total 600, yang 500 dikumpulin di sini semua, hingga di KM5,6 elevasinya tiba-tiba menggila. Ini bukan cuma gila, ini jahanam banget. Itu tanjakan paling 50m tapi jahanam, mana licin pula. Selangkah demi selangkah (banyakan berhenti buat ngatur napas) kami jabani. Alhamdulillah diiringi detakan jantung yang menggila akhirnya kami sampai juga di tower.










Sampai tower kami disuguhi pemandangan yang breathtaking, cantik. Kami duduk di ujung dinding tanah memandang hamparan hutan pinus di bawah kaki kami dan hamparan kebun teh yang hijau di kejauhan, seperti karpet. Kota Bandung terhampar nun jauh di sana. Tepat di seberang kami Burangrang berdiri gagah. Awan membentuk gumpalan lembut seperti kapas sementara angin berhembus membawa udara dingin. Hening.





Ah lelah kami di perjalanan naik menuju ke mari terbayar lunas. Sambil menunggu teman-teman yang masih di perjalanan kami menikmati bekal. Saya enggak bawa apa-apa, tapi Efie bawa bandrek, sementara Tarto bawa aneka gorengan dan ketan dan jagung rebus. Enggak lama mulai beredar perkedel jagung, dodol, hingga wajik. Sayangnya perut saya masih menolak diisi makanan berat. Ketan hanya dimakan sepotong (dan akhirnya kelupaan ketinggalan di kreseknya Tarto, arrgggh).

Setelah semua berkumpul kami lanjut perjalanan ke Puncak Upas. Sekitaran 1KM dari tower. Sebelum memasuki kawah kami melalui jalur sempit yang diapit oleh dua tebing tanah. Jalur ini juga selain digunakan oleh pejalan kaki juga digunakan oleh pengendara trail serta pesepeda. Sekitar 150 meter kami tiba di bibir kawah Upas. Alhamdulillah, our first summit!












Di atas cukup ramai oleh pengendara trail, sayang sih bau belerang kawah jadi dikalahkan oleh bau bensin dan bau asap knalpot. Not to mention berisiknya ketika mesin motor mereka meraung-raung. Satu lagi yang buat saya sebal adalah sampah. Atuhlah ujang nyai kalau abis makan sampahnya jangan dilempar di mana-mana!

Enggak lama kami di atas kami bersiap turun kembali. Kami mencoba masuk ke jalur lain yang seperti terowongan lumut. Pendek sih jalurnya dan kami tetap harus masuk lorong tanah tadi. Dan seperti yang sudah dibayangkan kami masuk berbarengan dengan pengendara motor sehingga di dalam lorong itu bau asap knalpot terjebak enggak segera ke angkasa. Ugggh nyebelin, mana berisik pula. Di dalam lorong kami juga ketemu sama pengendara sepeda yang menyapa ramah. Untunglah lorongnya gak panjang-panjang dan kami segera keluar menuju jalan tanah.


Perjalanan pulang rencananya kami menempuh jalur jalan “normal”, memang pegal dan lebih jauh tapi lebih aman dibandingkan turun lewat jalur jahanam. Setelah 4KM tetiba rombongan pecah dua. Katanya rombongan satu memilih jalur lewat sungai. Saya dan beberapa teman memilih tetap di jalan utama langsung menuju parkiran. Well, this is a bit unexpected, tapi ya sudah. Kami bersepuluh melanjutkan perjalanan menuju parkiran melalui jalan berbatu ini.




Dan drama berlanjut. Sekitar 1Km setelah kami jalan kami menemukan persimpangan. Jalur ke kiri lebih enak karena jalannya tanah, sementara jalur yang lebih besar masih jalur berbatu. Cek GPS agak susah sinyal tapi memang kedua jalur ini katanya menuju ke arah yang sama. Akhirnya dengan pede kami ke jalur kiri dengan Abdul memimpin. Setelah berjalan turun sekitaran 300 meter jalurnya makin aneh menuju ke lembah hahaha. Untungnya ada yang abis nyabit rumput yang bisa ditanyain, dan sesuai dugaan, kami salah jalan. Jalur ini menuju curug, sementara kami enggak mau ke curug. Akhirnya kami balik ke jalan utama yang nanjaaak. Alamaaaak.


Belum kapok kami cari jalan pintas masuk ke dalam kebun teh. Keliatannya sih bener, tapi setelah di dalam kami langsung sadar kalau arahnya aneh. Akhirnya kami menerobos kerimbunan pohon teh mencari jalan masuk lain ke jalan utama. Untungnya sih enggak jauh-jauh. Abis itu kami putuskan kalau tetap aja di jalur utama, selain kaki sudah lelah, sudah kelamaan kami jalan, plus sepatunya Andre putranya Tika udah mangap semua.

Tapi rupanya kami belum kapok, begitu dari atas keliatan ada jalur potong buat masuk ke bawah kami masuk lagi, kali ini arahnya bener, tapi begitu masuk ke jalan utama kami salah belok hahahaha. Mestinya kami ke kiri tapi karena kami enggak lihat persimpangan akibat potong jalur kami jadi belok kanan. Untungnya masih bisa pakai GPS walau dangdut sinyalnya dan kami bisa segera kembali ke jalan yang benar.

Di persimpangan itu kami bertemu dengan serombongan ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di tempat pengumpulan teh. Mereka kasih tahu dua jalur yang bisa dilewati, jalur pintas dan jalur normal. Kami tetap memilih jalur normal walau agak jauh. Sudah malas mikir dan udah enggak sanggup nanjak. Jarak di jam saya sudah menunjukkan lebih dari 7K dan belum ada tanda-tanda mau sampai. Akhirnya mengandalkan GPS Tika kami jalan terus. Rupanya kami jalan kecepetan sehingga terpisah dari yang lain. Kami bertiga dengan Andre jalan terus, dan ketemu jalan pintas lain yang menuju ke gerbang CIC (kami masuk dari arah luar). Leganya, kami bisa beristirahat menunggu yang lain. Saat menuju gerbang kami bertemu dengan 2 anak gadis yang kasih tau kalau rombongan satunya akan segera menuju ke tikum diantar oleh bapak pemilik warung lewat jalan pintas. Sekitaran 15 menit kemudian akhirnya rombongan jalur normal tiba semua di CIC. Alhamdulillah 8,8K jarak yang kami tempuh dalam perjalanan pulang dan kami tiba dalam kondisi baik selain jari-jari, telapak kaki, dan ankle ngilu, betis pegal serta lapar luar biasa.

Saya enggak nunggu semua lengkap, setelah ngunyah satu telur rebus dari Abdul saya segera balik ke Bandung. Terima kasih semuanya untuk perjalanan hari ini. Rutenya enggak diduga, tapi pemandangan indah hari ini membuat semuanya sepadan. Alhamdulillah, first of the seven is down.


Catatan:
Menurut si garmin total jarak tempuh hari ini adalah 6,98K naik dengan elevasi 627m dan 8,81K turun dengan elevasi -628m.

                                       

                                                             










Monday, 4 January 2021

Titan ke Gunung Putri

 

Hari terakhir liburan akhir tahun. Sudah tanggal 3 Januari 2021.

Saat kami ke Lembang Park and Zoo tiba-tiba kami punya ide buat nginep di Sapulidi Resort. Jadi sampai rumah saya langsung browsing, masih ada kamar tersisa atau enggak buat tanggal 2. Alhamdulillah dapat kamar terakhir, satu kamar menghadap ke danau buatan.

Tanggal 2 siang kami berangkat ke arah Lembang. Jalanan agak padat tapi enggak macet-macet banget. Satu jam kami sudah tiba di lokasi. Sambil menunggu check ini kami makan siang dulu di restonya. Pas jam 14, kami langsung check in dan semprot-semprot kamar dulu pakai desinfectan (berhubung masih pandemi dan ini pertama kalinya kami nginep di luar, kami juga berbekal seprai dan selimut, plus setrika buat nyetrika handuk hahaha).

Abis bongkar-bongkar isi koper, kami nongkrong di luar. Eh ada bapak-bapak yang bersih-bersih nawarin buat keliling pakai perahu. Si Titan mah kesenengan. Ya sudah kita keliling danau kecil itu pakai perahu. Asik juga, suasananya hening banget. Berasa jauh dari kota.




Abisan keliling-keliling saya dan Titan jalan kaki lihat-lihat sekitar sampe balik kamar lagi dan ada yang teriak lapar. Alamakjaaan. Tadi disuruh makan yang bener katanya kenyang. Jadilah mengandalkan babang gofood kami mesan kebab.

Menjelang malam kami siap2 buat melapisi kasur dengan seprai dari rumah. Dingin sudah mulai berasa, apalagi ditambah hujan. Rencananya sih pengen tidur cepet supaya besok pagi bisa jalan pagi-pagian.

 Bangun pagi-pagi telat dong. Ini bocah susah banget disuruh bangun. Walhasil kami baru keluar hotel jam 7 lewat. Pas masuk jalan raya Lembang macet pula. Akhirnya parkir di pasar buah, nitip mobil ke tukang parkir, trus kami pakai taksol menuju titik jalur naik ke Gunung Putri.

Naik ke G. Putri jalur masuknya bisa dari Jalan Gunung Putri yang ada di seberang gubuk Mang Engking. Kami mulai jalan, jalurnya nanjak gak berenti-berenti, mana udah panas pula. Si Titan pagi ini naik sambil manyun, akhirnya emaknya sambil ceramah pula, udah ngos-ngosan masih pake ceramah.

 


Lagi ngos-ngosan eh tetiba ada yang bilang, punteeen dari atas motor. Halah rupanya salah satu i92 trekker nyusul tapi pakai motor (fyi team awug trekker anggun 1 lagi jalan juga menyusuri Jayagiri ke Benteng Jayagiri baru turun ke G. Putri. Saya memilih rute G. Putri saja karena rute yang dipilih team 1 terlalu jauh buat Titan). Akhirnya kami jadi bertiga (nyonyanya Ntop ikut jalan kaki) naik ke atas dan Titan sempet pasang wajah memelas minta dibonceng sama Ntop, tapi akhirnya dengan penuh ketabahan dia sampe juga ke atas jalan kaki! Way to go, Tan. You made it.

Sebenernya naik ke situ hanya 2,4 K dengan elevasi 244m. Cuman ya lumayan sih mana jalurnya lewat jalan beton berasa banget panasnya. Baru dapat hutan pinus setelah masuk ke area Wana Wisata Geger Bintang Matahari. Di hutan pinus juga sudah dibuatkan trek beton jadi udah relatif mudah.


Akhirnya kami sampai juga di atas. Alhamdulillah, angin kencang menerpa dari segala arah. Tapi view dari atas memang keren. Puncak Tangkubanperahu dan Burangrang terlihat jelas. Menurut legenda, Gunung Putri ini lokasi persembunyian Dayang Sumbi ketika dikejar oleh Sangkuriang. Dari sinilah Sangkuriang yang nekad naksir emaknya menendang perahu buatannya hingga terbalik dan voila … jadilah Gunung Tangkubanperahu.








Di atas sini cukup datar sehingga disukai oleh para camper. Ketika kami naik banyak camper yang turun dengan segara perlengkapannya. Di atas juga masih ada camper yang melanjutkan buaian angin dan udara yang segar. No wonder kalau weekend katanya di atas sini ramai sangat.

Kami enggak lama di atas, selain karena dingin juga karena lapar. Saya dan Titan belum sarapan ketika berangkat tadi. Jadilah kami turun ke gerbang masuk dan minum bandrek plus menikmati pisang goreng hangat. Titan? Dia sih mah bahagia banget dibolehin makan mie rebus. Nuhun ditraktir, Ntop.



Tangkubanperahu tetanggaan sama Burangrang


Akhirnya, setelah kenyang kami turun. Ntop dan Nyonya melanjutkan momotoran, kami nikreuh sampe titik awal tadi. Alhamdulillah langsung dapat angkot. Jadilah berdua Titan naik angkot ke Lembang. Karena males muter, akhirnya kami turun di pertigaan lembang, lalu jalan kaki ke arah pasar buah. Ternyata perkiraan jarak saya meleset jauh, jadilah kami jalan kaki di panas menyengat sejauh 1K hahaha maap ya, Tan (dia enggak tau kalau kudu jalan sejauh itu hihihi)..

Tapi alhamdulillah, akhirnya nemu ATM (horee ada duit lagi), trus bisa belanja sayuran dan ketan bakar di pasar buah. Dari itu kami makan di Rumah Kayu Taiwan. Alhamdulillah lagi, pas kami ke sana rombongan goweser pas ke luar jadinya relatif kosong. Gak pakai ba bi bu cincau lemon, cincau kacang merah, tim tahu bawang putih, dan tekwan plus gorengan kami santap. Kenyaaaang. Abis itu baru kami langsung pulang. Udah gak pengen mampir-mampir lagi. Cita-citanya mandi dan meluruskan kaki (meanwhile team anggun 1 masih entah ada di mana dan baru tiba di Gunung Putri ketika kami tiba di rumah).



Alhamdulillah. Liburan sudah usai. Saatnya kembali mencangkul cari rejeki lagi.Btw, kenapa sih ekspresi wajahmu begitu, Tan?