Tanggal 17 Januari ini rencananya sih akan trekking untuk
menaklukan summit pertama dari tujuh yang direncanakan, Puncak Upas di
Tangkuban Perahu.
Pukul 05.30 saya berangkat dari rumah, ditemani Doughtry
yang teriak-teriak Over You, baiklah.
Drama pagi ini dimulai ketika security masih belum buka
gerbang komplek, jadi kudu buka gerbang sendiri. Masih pagi sih, tapi udah gak
terlalu pagi juga kali. Menjelang belokan Cihideung saya minggir dulu menyalakan GPS biar
gak ribet. Perjalanan masih aman, sampe si mba GPS nyuruh belok kanan. Itu
jalannya jelek, kecil, dan sepi. Bah, naga-naganya ini salah jalan! Untunglah
ketemu sama bapak-bapak yang naik motor. Saya cegat itu motor biar bisa nanya.
Ternyata sesuai dugaan ini salah jalan. Dia bilang ke arah VIB aja nanti tanya
security di VIB. Okey, putar arah masuk kebon orang dulu, maap...maap...numpang muter balik. Balik ke arah jalan
besar tetiba telp bunyi. Rupanya Djeng yang juga diarahkan ke jalan yang sama
papasan barusan. Nyasar basamo ini judulnya. Setelah talipun-talipun minta sharelock (pakai acara disuruh balik aja pula hahaha) akhirnya lanjut jalan lagi. Pas melewati VIB perintah mba GPS aneh lagi, koq
diminta ke sebelah kanan. Bah, akhirnya belok ke VIB nanya sama security-nya, dia
bilang lurus terus sementara si mba google suruh belok. Frustasi nih kalau
begini! Udah jam 6.20 masih enggak tau arah yang bener. Kesel asli. Setelah
muter di dalam beberapa saat balik ke gerbang VIB lagi dan nanya security,
ternyata dia bilang masuk ke dalam, cari pintu ke arah keluar baru ke arah CIC.
Eeuuuuuuh atuh bukan dari tadi bilangnya, Ferguso. Akhirnya nanya lagi kalau
lewat jalan raya ke mana? Setelah ditunjukin saya lanjut lagi. Kali ini enggak
berani ngebut takut gapuranya kelewat. Sekitaran 1K akhirnya nemu gapura dengan
tulisan CIC segede gaban. Langsung belok, kirain sih dari situ deket. Ternyata
jauuuh booo. Mana jalannya kecil, jelek dan nanjak. Bah! Bah! Bah! Dalam hati
sih kalau ternyata salah lagi sudahlah beneran mau balik, ganti kostum trus mau
lari aja. Setelah 2K kemudian barulah ketemu parkirannya dan ketemu sama team
Awug yang udah kumpul.
Abis dapat tiket kami doa bersama. Ada 29 peserta trekking hari ini, banyak. Semoga di jalan aman-aman terus. Setelah melewati gerbang tiket (harga tiketnya 15 ribu per orang), kami naik tangga menuju ke jalan tanah. Jalanan langsung nanjak jaaak. Tapi eh, baru sekitaran 300 meter udah nemu tempat foto yang bagus, belok lah kita semua poto-poto dulu hahaha.
Pemandangan sekitar cantik, embun dan sisa hujan semalam menyisakan genangan di beberapa tempat, rumput-rumput juga basah, sehingga dalam waktu sebentar saja sepatu kami sudah mulai basah. Kami melalui jalan setapak yang menuju kebun teh Sukawana. Tanjakannya enggak terlalu curam, namun konsisten nanjak haha. Katanya Mas Pras yang jadi pemandu trekking kali ini, elevasi hingga puncak sekitar 600m. Kalau melihat jaraknya sekitaran 6KM kayaknya akan ada tanjakan gila nih.
Kami jalan melalui kebun teh, lewat jalan batu atau sesekali menerobos masuk ke dalam kebun teh buat potong jalan. Pemandangan sekitar cantik banget. Jajaran pohon teh yang disusun rapi seperti maze (kayaknya kalau nyasar di dalem pusing juga), sementara deretan gunung di sekelilingnya berdiri seolah memagari. Benar memang kalau dibilang Bandung ini dilingkung gunung heurin ku tangtung (dikelilingi gunung, banyak pepohonan). Di kejauhan terlihat Puncak Tangkuban Perahu yang menurut legenda adalah hasil tendangan perahu Sangkuriang yang kesal karena ditolak oleh Dayang Sumbi yang notabene adalah emaknya sendiri. Di sebelahnya berdiri dengan gagah Gunung Burangrang yang puncaknya seperti zigzag (Tahun 1999 saya dipaksa naik ke atas oleh sahabat saya yang pengen foto pakai toga di sana, Burangrang punya 4 puncak palsu). Sementara di arah timur terlihat Papandayan, Malabar, Manglayang dan beberapa bukit serta gunung lain yang melingkupi Bandung. Suasana hening, hanya terdengar celoteh kami saja.
Setelah lewat 5KM kami diajak untuk masuk jalur potong jalan menuju ke tower. Jika memutar kami masih harus menempuh sekitar 3K. Lewat jalur ini kami bisa memotong jarak menjadi 1K. Baiklah, sudah terbayang kayaknya akan ketemu tanjakan gila di sini. Begitu masuk ke area dengan vegetasi rapat jalurnya konstan menanjak. Halu sudah mulai, ada yang mulai nyanyi-nyanyi buat menghibur diri sampai ada yang salawatan (tapi enggak tahan lama juga siiih hihi) sampe ada yang bikin adegan postwed hahaha. Saya pikir elevasi total 600, yang 500 dikumpulin di sini semua, hingga di KM5,6 elevasinya tiba-tiba menggila. Ini bukan cuma gila, ini jahanam banget. Itu tanjakan paling 50m tapi jahanam, mana licin pula. Selangkah demi selangkah (banyakan berhenti buat ngatur napas) kami jabani. Alhamdulillah diiringi detakan jantung yang menggila akhirnya kami sampai juga di tower.
Sampai tower kami disuguhi pemandangan yang breathtaking, cantik. Kami duduk di ujung dinding tanah memandang hamparan hutan pinus di bawah kaki kami dan hamparan kebun teh yang hijau di kejauhan, seperti karpet. Kota Bandung terhampar nun jauh di sana. Tepat di seberang kami Burangrang berdiri gagah. Awan membentuk gumpalan lembut seperti kapas sementara angin berhembus membawa udara dingin. Hening.
Ah lelah kami di perjalanan naik menuju ke mari terbayar lunas. Sambil menunggu teman-teman yang masih di perjalanan kami menikmati bekal. Saya enggak bawa apa-apa, tapi Efie bawa bandrek, sementara Tarto bawa aneka gorengan dan ketan dan jagung rebus. Enggak lama mulai beredar perkedel jagung, dodol, hingga wajik. Sayangnya perut saya masih menolak diisi makanan berat. Ketan hanya dimakan sepotong (dan akhirnya kelupaan ketinggalan di kreseknya Tarto, arrgggh).
Setelah semua berkumpul kami lanjut perjalanan ke Puncak
Upas. Sekitaran 1KM dari tower. Sebelum memasuki kawah kami melalui jalur
sempit yang diapit oleh dua tebing tanah. Jalur ini juga selain digunakan oleh
pejalan kaki juga digunakan oleh pengendara trail serta pesepeda. Sekitar 150
meter kami tiba di bibir kawah Upas. Alhamdulillah, our first summit!
Enggak lama kami di atas kami bersiap turun kembali. Kami
mencoba masuk ke jalur lain yang seperti terowongan lumut. Pendek sih jalurnya
dan kami tetap harus masuk lorong tanah tadi. Dan seperti yang sudah
dibayangkan kami masuk berbarengan dengan pengendara motor sehingga di dalam
lorong itu bau asap knalpot terjebak enggak segera ke angkasa. Ugggh nyebelin,
mana berisik pula. Di dalam lorong kami juga ketemu sama pengendara sepeda yang
menyapa ramah. Untunglah lorongnya gak panjang-panjang dan kami segera keluar
menuju jalan tanah.
Perjalanan pulang rencananya kami menempuh jalur jalan “normal”, memang pegal dan lebih jauh tapi lebih aman dibandingkan turun lewat jalur jahanam. Setelah 4KM tetiba rombongan pecah dua. Katanya rombongan satu memilih jalur lewat sungai. Saya dan beberapa teman memilih tetap di jalan utama langsung menuju parkiran. Well, this is a bit unexpected, tapi ya sudah. Kami bersepuluh melanjutkan perjalanan menuju parkiran melalui jalan berbatu ini.
Dan drama berlanjut. Sekitar 1Km setelah kami jalan kami menemukan persimpangan. Jalur ke kiri lebih enak karena jalannya tanah, sementara jalur yang lebih besar masih jalur berbatu. Cek GPS agak susah sinyal tapi memang kedua jalur ini katanya menuju ke arah yang sama. Akhirnya dengan pede kami ke jalur kiri dengan Abdul memimpin. Setelah berjalan turun sekitaran 300 meter jalurnya makin aneh menuju ke lembah hahaha. Untungnya ada yang abis nyabit rumput yang bisa ditanyain, dan sesuai dugaan, kami salah jalan. Jalur ini menuju curug, sementara kami enggak mau ke curug. Akhirnya kami balik ke jalan utama yang nanjaaak. Alamaaaak.
Belum kapok kami cari jalan pintas masuk ke dalam kebun teh. Keliatannya sih bener, tapi setelah di dalam kami langsung sadar kalau arahnya aneh. Akhirnya kami menerobos kerimbunan pohon teh mencari jalan masuk lain ke jalan utama. Untungnya sih enggak jauh-jauh. Abis itu kami putuskan kalau tetap aja di jalur utama, selain kaki sudah lelah, sudah kelamaan kami jalan, plus sepatunya Andre putranya Tika udah mangap semua.
Tapi rupanya kami belum kapok, begitu dari atas keliatan ada
jalur potong buat masuk ke bawah kami masuk lagi, kali ini arahnya bener, tapi
begitu masuk ke jalan utama kami salah belok hahahaha. Mestinya kami ke kiri
tapi karena kami enggak lihat persimpangan akibat potong jalur kami jadi belok
kanan. Untungnya masih bisa pakai GPS walau dangdut sinyalnya dan kami bisa
segera kembali ke jalan yang benar.
Di persimpangan itu kami bertemu dengan serombongan ibu-ibu
yang sedang duduk-duduk di tempat pengumpulan teh. Mereka kasih tahu dua jalur
yang bisa dilewati, jalur pintas dan jalur normal. Kami tetap memilih jalur
normal walau agak jauh. Sudah malas mikir dan udah enggak sanggup nanjak. Jarak
di jam saya sudah menunjukkan lebih dari 7K dan belum ada tanda-tanda mau
sampai. Akhirnya mengandalkan GPS Tika kami jalan terus. Rupanya kami jalan
kecepetan sehingga terpisah dari yang lain. Kami bertiga dengan Andre jalan
terus, dan ketemu jalan pintas lain yang menuju ke gerbang CIC (kami masuk dari
arah luar). Leganya, kami bisa beristirahat menunggu yang lain. Saat menuju
gerbang kami bertemu dengan 2 anak gadis yang kasih tau kalau rombongan satunya
akan segera menuju ke tikum diantar oleh bapak pemilik warung lewat jalan
pintas. Sekitaran 15 menit kemudian akhirnya rombongan jalur normal tiba semua
di CIC. Alhamdulillah 8,8K jarak yang kami tempuh dalam perjalanan pulang dan
kami tiba dalam kondisi baik selain jari-jari, telapak kaki, dan ankle ngilu,
betis pegal serta lapar luar biasa.
Saya enggak nunggu semua lengkap, setelah ngunyah satu telur
rebus dari Abdul saya segera balik ke Bandung. Terima kasih semuanya untuk
perjalanan hari ini. Rutenya enggak diduga, tapi pemandangan indah hari ini
membuat semuanya sepadan. Alhamdulillah, first of the seven is down.
