Friday, 11 January 2019

Just another sad story

 Loosing someone when you thought you have found one is not easy at all, especially without explanation.  

Tuesday, 1 January 2019

EXPLORING BANYUWANGI LAST PART

...


Day#4-Day#5

Pukul 22 kami dijemput. Perlengkapan perang sudah disiapkan, kami siap berangkat. Jalanan sepi, berkelok dan menanjak. Makin ke atas makin terasa dingin. Satu jam perjalanan, menjelang tengah malam kami sudah tiba di parkiran menuju jalur pendakian. Sambil menunggu gerbang dibuka kami duduk di mobil. Titan sih merem sejak berangkat. Pukul 1 pagi gerbang pendakian sudah dibuka. Setelah antri tiket dan toilet kami siap berangkat. Titan sudah dibungkus kayak lemper: jaket tebal, kupluk, syal, sarung tangan kumplit. Saya sendiri mengenakan 2 jaket tipis, salah satunya wind breaker.



 Awal pendakian masih belum terasa, jalurnya masih agak landai. Nah, begitu lewat 500 meter mulailah tanjakan menggila. Kata pemandu sebelah tanjakan ini sekitar 450 ! Titan mulai mogok, setiap beberapa meter terpaksa kami berhenti. Sempat ngambek karena perutnya sakit, agaknya masuk angin. Untunglah saya bawa peppermint oil, jadi perut, punggung, dada dan leher saya olesi supaya hangat. Alhamdulillah berhasil. Tanjakan demi tanjakan, belokan demi belokan enggak ada habisnya. Para penambang yang berprofesi ganda sebagai porter gerobak buat angkut penumpang ke puncak mulai sibuk membawa beberapa pendaki yang enggak sanggup naik. Gerobak ini dimodifikasi dikasih jok dan rem motor di pegangannya. Saat naik, salah satu penambang menarik gerobak dengan mengikatkan tali di tubuhnya. Sementara 1-2 orang lain mendorong dari belakang. Satu gerobak bisa muat 2 orang dewasa. Trip naik dan turun kalau pakai gerobak tarifnya 800k.



Titan sempat pengen naik, tapi melihat seramnya tanjakan (apalagi turunan) kami mendingan jalan kaki pelan-pelan aja. Udah gitu rasanya juga enggak tega lihat yang narik. Selangkah demi selangkah ditambah dengan bujukan, rayuan, dan ancaman berhasil membawa Titan hingga puncak. Sempat dia mengancam mau turun lagi, saya bilang silahkan turun sendiri karena ibu mau naik sampe atas hahaha. Sorry ya, Tan. Enggak mungkin Ibu tinggalin kamu. Senangnya dia waktu akhirnya pukul 4 pagi kami sampai puncak. 2.5 jam buat anak yang baru kali ini naik gunung definitely not bad at all. You did a great job, Tan. I am so proud of you!!








Di shelter angin berhembus dari segala arah. Dinginnya enggak karuan. Udah segala cara ditempuh sampai akhirnya kami berpelukan sambil selimutan pakai syal. Tetap saja kedinginan. Pukul 5 matahari masih belum muncul. Well, kami enggak berhasil melihat blue fire, tapi enggak apa-apa. We made it here. Pagi ini mendung. Hingga pukul 6 pagi, mentari enggak juga muncul sementara gerimis mulai turun. Kabut di sekitar kawah cukup tebal sehingga kawah juga enggak keliatan. Akhirnya kami putuskan untuk turun saja.

Perjalanan turun lebih ringan tapi melelahkan karena turun enggak ada akhir. Lutut rasanya sakit juga menahan bobot tubuh saat berjalan turun. Jalanan baru kelihatan, jadi baru tahu kalau semalam jalurnya lumayan nanjak hahahaha. Di perjalanan turun dekat pos bundar, ada yang jualan souvenir dari belerang. Kami yang enggak sempat lihat blue fire akhirnya membeli sebongkah kecil mineral belerang untuk dibakar di rumah. Pengen lihat kayak apa sih hahahaha.





Enggak banyak bisa foto-foto karena saya lebih konsen turun sambil menuntun Titan. Alhamdulillah pukul 7 pagi kami tiba di awal jalur pendakian. Not bad at all, kami tiba tanpa cedera apapun. Kami langsung turun ke Banyuwangi.


Tiba di Banyuwangi perut sudah lapar enggak karuan. Kami diajak makan sego tembong Mbok Wah. Agaknya baru buka, karena lauk yang tersedia baru telur dadar dan ikan goreng. Sego tempong ini sejenis sego sambal di Surabaya. Bedanya, sego tempong berisi nasi hangat, lalapan berupa kangkung, bayam dan kol rebus, disiram sambal tomat yang rasanya pedas segar, dilengkapi potongan tempe goreng dan ketimun. Saya menambahkan dadar telur. Rasanya? Jangan ditanya, piring kami licin tandas. Enak bener. Titan sekalipun tanpa sambal juga makan hingga tandas. Dia bilang, love it!


Abis makan kami kembali ke penginapan untuk mandi dan bersiap ke Baluran. Jam 11 siang kami berangkat sambil cari masjid buat Jumatan. Sebelumnya kami sewa kamera dulu. Ya, ini keren, enggak perlu bawa-bawa DSLR, sewa saja. Harganya juga masih masuk akal. Saya sewa canon EOS 1300d dengan lensa kit dan baterai cadangan serta memory card hanya 80K untuk 12 jam. Ada beberapa tempat sewa kamera di Banyuwangi. Tinggal pilih mau jenis kamera apa.
Setelah Jumatan kami menuju Baluran ke arah Situbondo. Nah, kalau kemarin banyak kebun buah naga dan jeruk. Kali ini banyak kebun cabe rawit. Kalau melihat makanan sini yang serba pedas, cabe rawit enggak dipungkiri adalah komoditas penting. Pukul 14 kami tiba di Baluran. Di sini fauna yang banyak ditemukan adalah banteng, rusa, monyet abu-abu, dan merak. Kami sempat melihat merak dan ayam hutan saat menuju savana. Hutan di sini lebih “berantakan” dibandingkan dengan Alas Purwo. Tapi di sini terdapat savanna yang luas dan luar biasa cantik. Jadi, setelah bayar tiket masuk seharga 5K per orang, kami berhenti di Savana Bekol. Padang rumput yang luas ini banyak dihuni rusa dan banteng. Kami hanya sempat bertemu sekelompok rusa yang melintas padang rumput. Sementara habitan bandelnya adalah monyet abu-abu yang gesit sekali mengejar makanan dari pengunjung yang lengah.
Pemandangan di Bekol ini luar biasa cantik, seperti Afrika. Ah, berasa jadi petualang jalan-jalan di sini. Kami puas-puaskan berkeliling sambil menikmati pemandangan dan tentu foto-foto dong.
















Kami juga singgah di Pantai Bama. Pantai ini sangat terlindung, agak tertutup hutan bakau, memiliki pasir putih yang lembut dan ombak yang tenang. Cocok buat santai keluarga. Anak-anak bisa berenang dengan santai.





Enggak lama kami di Bama kami segera keluar menuju Rumah Apung Bangsring. Rumah Apung Bangsring adalah salah satu kawasan kincar makanan milik pengunjung.onservasi yang dikelola oleh Bangsring Underwater. Di sini pengunjung selain wisata juga bisa mendapatkan tambahan pengetahuan. Fasilitasnya sudah lumayan lengkap mulai dari homestay sampai tempat makan. Aktivitas yang bisa dipilih juga lumayan: diving, snorkeling, berenang, naik banana boat atau sekedar jalan-jalan di pasir yang halus. Untuk sampai ke rumah apung harus naik perahu dari dermaga. Tiketnya seharga 7K untuk pulang pergi. Sebenarnya jaraknya gak terlalu jauh, kalau mau bisa ditempuh sambil berenang koq. Di rumah apung kita bisa lihat kajapung yang berisi baby shark, kerapu, juga beragam ikan hias lainnya. 








Titan senang sekali dan mulai merengek ingin berenang. Sayangnya memang karena kuping saya masih sakit dan banyak yang ingin dikunjungi, aktivitas air saya hilangkan dari itinerary. Gara-gara itu Titan protes berat dan enggak mau keluar dermaga. Eh, dilalah ada tukang perahu yang menawarkan putar-putar dengan boat untuk harga 25K. Saya setujui saja. Dan dia bawa kami pakai boat buat ngebut2, Titan mah kesenengan tiada tara dibawa mutar mutar sambil slalom. Finally he agree to leave. Sudah menjelang malam anakku sayang, we should leave back to town dan masih harus ambil laundry (saya ditawari laundry express, lumayan ngurangin cucian bau hahaha), balikin kamera, baru balik ke penginapan. This is definitely long day. We are beat. Rasanya udah enggak kepengen makan. Pengen segera tidur.


Day #6
This is the last day di Banyuwangi. Setelah semalam tidur seperti orang pingsan, pagi-pagi saya mulai packing ulang. Semalam coba packing tapi rasanya masih berantakan. Seperti biasa, pakaian kotor susah diatur sehingga koper jadi gendut. Sarapan pagi saya menghabiskan manga dan buah naga yang dibeli waktu jalan-jalan. Lumayan juga ngenyangin buat nunggu brunch sego tempong (lagi).

Pukul 10 kami dijemput. Selesai check out kami menuju Sego Tempong Mbok Wah. Nah, karena sudah agak siang, lauknya sudah lebih banyak. Jadi saya memilih tambahan ikan goreng dan paru goreng. 4 Porsi sego tempong dengan tambahan lauk plus minum hanya 120K. Kenyang? Banget!!
Dari situ mampir ke Sun Osing, ini salah satu toko oleh-oleh yang jual aneka oleh-oleh khas Banyuwangi, Jember dan sekitarnya. Selain makanan khas seperti bageak (ini kayak kue jahe), bolu kelemben, juga kopi, Banyuwangi memiliki batik dengan beberapa motif khas, seperti gajah oling dan kopi pecah (ini motif kain yang saya kenakan di Kemiren). Saya naksir motif kopi pecah yang warna hitam, sayang enggak saya temukan kainnya, jadi saya beli yang gajah oling aja.

Habis dari Sun Osing saya minta diantar kembali ke Stasiun Karangasem, belum sempat motret dalamnya. Sebentar dari situ kami mampir ke Savana Cake. Ini toko oleh-oleh juga. Makanan khasnya adalah savanna cake, banana cake yang diberi toping. Nama-nama kuenya disesuaikan dengan topingnya mengadopsi keindahan Banyuwangi: Wedi Ireng (cokelat), Blue Fire (peppermint), Java Sunrise (keju), Green Bay (green tea), Red Island (strawberi). Pemiliknya seorang penyanyi dangdut kelahiran Banyuwangi, Fitri Carlina. Rasanya lumayan karena memang saya suka banana cake, walau buat saya ini agak kemanisan.

Kami juga sempat mampir ke Kalilo. Ini sebenarnya bantaran sungai yang dipercantik. Rumah-rumah yang berada di sepanjang sungai dicat warna warni. Sungainya juga relatif bersih. Enggak sebesar yang di Malang, tapi ini cukup menarik dilihat sih.




Finally kami diantar ke Bandara. Di sini saya agak kesal. Pertama karena mineral belerang yang sekuprit itu disita di bandara. Gak boleh dibawa terbang. Yang bikin saya kesel bukan disitanya (ya sudahlah kalau itu aturan), tapi cara petugas yang arogan saat mau bongkar koper. Kedua, bandara ini keren, sayangnya petunjuknya kurang jelas. Saya baru kali ini masuk bandara yang ketika mau shalat harus mutar ke luar gedung lagi. Mushalla tidak terletak di ruang tunggu, tapi berada agak ke bawah di sebelah bangunan utama. Mushalanya juga kurang nyaman. Too bad, padahal bandaranya bagus menurut saya. Tapi sudahlah, kota ini masih bebenah. 



Overall pengalaman kami di sini selama 6 hari menyenangkan. Akses ke lokasi wisata bagus dan mulus, destinasinya cukup lengkap (tinggal ditambah dengan akomodasi makanan yang memadai pasti akan lebih asik), orang-orangnya ramah, dan harganya enggak bikin jantungan.
It’s been the best week ever. Kami lelah sekali tapi perasaan sangat senang. Banyuwangi definitely recommended place to visit.

THE END

Credit: Thanks to Kiki yang udah merelakan liburnya buat nemenin kami muter-muter di Banyuwangi. You are so lucky having such a beautiful home town.

Little recommendation
Kalau mau mengunjungi Desa Kemiren bisa hubungi Mas Eday alias Mas Edy di IG @kangedai. Kalau mau cari mobil buat jalan-jalan muter-muter Banyuwangi dan sekitarnya bisa hubungi Pak Bowo di IG @suhartantowibowo. Untuk penginapan dan tiket saya booking online. Bisa buka beberapa situs booking kalau mau bandingin harganya. Saran: kalau mau jalan-jalan, rencanakan agak jauh biar bisa dapat harga penginapan atau tiket yang agak miring. Saya biasanya booking paling enggak 2 bulan sebelumnya. 

Footage





#exploringindonesia #exploringbanyuwangi #wonderfulindonesia #iloveindonesia #momandson #holiday #ilovetravel 

EXPLORING BANYUWANGI Part II

...


Day#3

Hari ini kami sarapan nasi goreng. Its gonna be a long day. Kami mau menuju Alas Purwo. Sebelum ke sana kami beli makanan untuk makan siang. Pengalaman kemarin cari makan yang proper di tempat wisata agak sulit, jadi lebih baik bawa makanan. Kami beli makanan di warung nasi yang pagi itu sudah buka dengan makanan yang sudah lengkap. Nasi, perkedel ikan (ini ikan kecil-kecil disalut tepung lalu dibentuk kepalan dan digoreng kering), perkedel jagung dan kentang, cumi dimasak pedas, pepes tuna hanya seharga 67k! Saya sampe nanya 2x memastikan kuping saya enggak salah dengar. Wah, ini duit segitu bisa buat makan 4-5 orang!

Oke, lanjut. Perjalanan ke TN Alas Purwo sangat lancar. Jalanan mulus lusss, dengan pemandangan cantik antara kebun buah naga, jeruk, dan hutan jati sangat memanjakan mata. Hanya satu saja yang rada masalah: susah sinyal. Pokoknya begitu meninggalkan area kota, sinyal mulai timbul tenggelam. Untuk menghemat baterai ponsel selalu saya set flight mode. Kalau enggak boros banget, mending buat foto-foto aja.




Jalanan ke Alas Purwo sepi  banget. Saking sepinya bisa foto2 di tengah jalan hahaha. Pemandangan indah di sepanjang jalan bikin kami sering berhenti hanya untuk memandang atau foto-foto.  Sekitar 1.5 jam perjalanan akhirnya kami tiba di gerbang masuk Taman Nasional Alas Purwo (Alas means hutan, Purwo means old). Tiket masuk ke TN Alas Purwo hanya 5k/orang dan tiket masuk mobil 10k. Area seluas 40 ribuan hektar ini adalah habitat utama Banteng, monyet abu-abu, merak, juga rusa. Pantainya menjadi area bertelur bagi beberapa jenis penyu: penyu hijau, penyu abu-abu, penyu belimbing, dan penyu sisik. Sekitar 80 ekor banteng pernah ditemukan ada di area ini. Banteng-banteng ini biasanya berkumpul di Savana Sadengan pada pagi dan sore hari untuk makan. Jadi, hari ini perhentian pertama kami adalah Sadengan. 






Saat tiba di sana kami melihat sekelompok banteng sedang merumput. Berdasarkan keterangan dari petugas, hari ini kami cukup beruntung karena dua hari terakhir ini enggak ada satu ekor bantengpun yang datang ke Sadengan. Senangnya memandangi banteng di savanna yang lumayan luas ini. Pengunjung hanya boleh memandang dari balik pagar pembatas atau dari atas menara pandang. Sadengan cukup luas langsung berbatasan dengan hutan. Selain banteng di Sadengan kami juga melihat rusa serta beberapa ekor merak. Nah, tepat tanggal 27 Desember TN Alas Purwo mengadakan acara pelepasliaran merak ke alam bebas.  Eniwei, fasilitas di TN Alas Purwo ini lumayan lengkap dan terjaga. Toilet relative mudah ditemukan dan bersih (kecuali yang ada di bangunan baru yang belum sempat digunakan di dekat gerbang masuk, enggak recommended banget).

Sadengan Panoramic



Puas memandangi Sadengan yang cantik, kami menuju Pantai Pancur. Konon pantai ini dapat nama dari sungai air tawar yang ada di dekat pantai. Menurut cerita mata air ini dulu sering dikunjungi Presiden pertama RI. 





Dari Pantai Pancur kami trekking ke Gua Istana. Kalau lihat petunjuk jaraknya sekitar 1.7K. Tapi dari GPS ternyata sekitar 1.95K. Jalur selebar sekitar 2m menuju ke sana cukup baik dan enak dilalui. Hanya beberapa tempat yang agak tergenang air (mengingat hujan turun selama 2 hari berturut-turut). Jalurnya juga cukup landai, hanya nanjak tipis sehingga enggak sulit dilalui. Titan sempat ngomel-ngomel tapi akhirnya dia berhasil juga. Ini latihan buat ke Ijen besok, Tan.
Menjelang mulut gua kami dikejutkan oleh beberapa ekor monyet abu-abu yang mendesis-desis ingin menyerang. Kami langsung melangkah mundur, seram. Beberapa bapak penebang kayu memberi kami potongan bamboo untuk mengusir dan kasih tahu kalau mereka mengincar makanan. Ternyata saya menyimpan potato chips di saku samping tas, dan mereka berusaha merebut itu. Menyebalkan. Saya pindahkan itu potato chips dan problem solved. Tongkat tambahan kami gunakan sebagai senjata pengusir. Banyak monyet abu-abu di mulut gua Istana dan jujur aja menakutkan lihat gigi mereka yang kecil-kecil itu. Kami enggak lama-lama di Gua Istana. Di dalam ada beberapa pengembara yang tidur. Katanya sih ini salah satu dari 3 gua di daerah Alas Purwo yang sering didatangi orang yang mau mencari wangsit.







Perjalanan pulang ke Pantai Pancur relatif lebih mudah karena jalannya lebih turun. Jadi kami jalan cukup cepat sampai dikomentari rombongan pengunjung lokal yang kami lewati di perjalanan. Tiba di parkiran kami langsung makan. Makan siang yang kami beli tadi pagi rasanya cukup enak dan ternyata berlebih banget.
Dari Pantai Pancur sebenarnya kami bisa menuju G Land alias Pantai Plengkung. Sayangnya ke sana enggak boleh pakai kendaraan sendiri, harus sewa trooper seharga 250k atau jalan kaki sejauh 7.5K. Plengkung adalah salah satu pantai dengan ombak terbaik dunia yang banyak digunakan untuk selancar. Kami enggak ke Plengkung karena ternyata di Alas Purwo ada penangkaran Penyu, tepatnya di Ngagelan. Ini lebih menarik. Jadi, selesai makan siang kami menuju Ngagelan. Letaknya seitar 5K dari arah gerbang masuk TN Alas Purwo. Kalau dari arah Pantai Pancur kami belok kiri masuk hutan sejauh 5K. Jalur masuknya relatif besar, cukup untuk 1 mobil dan motor. Jalan ke sana relatif sepi (siapa juga yang mau keluyuran ke sini). Kami melalui jalan tanah yang dipadatkan, jadi bukan jalur berbatu yang bikin badan sakit. Di kiri kanan jalan dinaungi pohon-pohon besar yang bikin suasana jadi teduh. Cahaya matahari menerobos celah-celah dedaunan membuat bagian perjalanan ini  terasa magical.




Sampai di Ngangelan, kami langsung bertemu dengan penjaga penangkaran. Di Pantai Ngangelan ini jadi lokasi bertelur 4 jenis penyu. Dari data yang dikumpulkan penyu yang paling banyak bertelur dan paling banyak survive adalah penyu abu-abu. Petugas penangkaran bercerita bahwa musim penyu bertelur adalah sekitar bulan Juni dan Juli. Begitu musim penyu bertelur petugas akan segera memindahkan telur-telur penyu ke tempat yang lebih aman sebelum dijarah monyet, anjing, atau manusia. Setelah 45 hari telur akan menetas menjadi tukik. Dari petugas juga kami jadi tahu bahwa penyu belimbing tidak  bisa dibiakkan di penangkaran. Begitu jadi tukik harus segera dilepas ke laut bebas.

Kami diajak melihat kolam pemeliharaan tukik. Ada 9 ekor tukik dan sekitar 20 butir telur penyu yang tersisa dari musim sebelumnya. Sengaja disisakan supaya ada yang bisa ditunjukkan saat ada pengunjung ke sini. Petugas menjelaskan bahwa jenis kelamin penyu baru bisa diketahui setelah usianya mencapai dewasa, sekitar 15 tahun. Penyu yang ditetaskan di sini diberi tagging, sehingga bisa diketahui pergerakannya, juga dikenali saat kembali bertelur di tempat ia ditetaskan. Ah, senangnya dapat banyak ilmu. Titan enggak berhenti nanya dan pak petugas menjelaskan dengan sabar. Semoga penyu-penyu ini tetap bertahan dan populasinya enggak semakin berkurang. Jika melihat penjelasan bahwa daya survivenya relatif rendah, sehingga populasi penyu sulit bertambah.




Puas di Ngangelan kami melanjutkan perjalanan ke hutan mangrove Bedul. Lokasinya 7K dari Ngagelan melalui jalur dalam hutan yang tadi. Jadi total kami menempuh 12K ke dalam hutan. Jalurnya masih sama hanya agak sempit. Agaknya jalur ini jarang dilalui kendaraan, sepanjang jalan kami banyak berhenti dan turun untuk menyingkirkan dahan-dahan yang agak besar karena kuatir membentur bagian bawah mobil. Enggak terlalu lama kami sudah tiba di Pos Penjagaan Hutan Mangrove Bedul. Guess what, rute kami terbalik! Hahahaha.

Mestinya kami masuk dari daratan di seberang, lewat pos pembelian tiket lalu menyeberang pakai perahu ke sini. Tapi sudahlah enggak apa-apa. Berhubung jalan memutar terlalu jauh, akhirnya kami putuskan bahwa mobil akan menunggu di sini sementara kami menyeberang ke hutan mangrove. Kami menyeberang bersama beberapa orang yang menjajakan ikan pakai sepeda. Perahu yang kami tumpangi sebenarnya 2 perahu yang digabungkan. Tarif penyeberangan 7.5k pulang pergi per orang. Sepanjang jalan kami mendengarkan obrolan para bapak dengan yang mengemudikan perahu sekalipun saya hanya mengerti satu dua patah kata saja. But, its peacefull. Suasananya hening sekali. Hanya suara mesin perahu menimpali obrolan mereka. Hutan mangrove Bedul ini masih termasuk kawasan TN Alas Purwo, tepatnya di antara Plengkung dan Grajagan. Bagian daratannya berbatasan dengan wilayah permukiman penduduk. Sepanjang kami jalan kaki banyak terlihat kepiting bakau dan ikan yang hidup di daerah lumpur (katanya ikan yang punya “kaki” ini disebut ikan bedul, itu sebabnya hutan mangrove ini namanya Hutan Mangrove Blok Bedul). Area hutan ini seluas sekitar 2300 ha, membentang sejauh sekitar 16K. Selama di sana saya banyak melihat burung bangau, dan memang burung bangau adalah salah satu jenis burung yang menghuni wilayah ini. Hewan lain yang bisa ditemui di sini antara lain biawak, monyet, elang laut, dan belibis.








Lepas dari sana kami kembali menempuh jalur hutan tadi untuk kembali ke Banyuwangi. Rencananya kami akan mengunjugi Desa Kemiren. Tapi sampai sana hari sudah gelap, jadi kami mampir di warung kemangi menikmati aneka jajanan khas Banyuwangi: serabi, kue kelemben (yang bentuknya kayak kura-kura), kue cucur yang masih hangat, gedang (pisang) goreng ditemani secangkir kopi khas Banyuwangi. Kami juga ngobrol-ngobrol sama Mas Edy, Ketua Pokdarwis Desa Kemiren. Kami janjian besok akan ke sini lagi melihat rumah adat Osing. Dari Kemiren kami makan soto Surabaya yang sedap banget. Setelah kenyang kami kembali ke penginapan.



Day #4
Hari ini agak santai, hanya akan ke Desa Kemiren trus beli oleh-oleh ke Muncar. Jam 8 pagi kami udah nongkrong di Kantor Desa Kemiren janjian sama Mas Edy. Kami langsung ke menuju rumah adat Osing. Suku Osing atau Using ini adalah salah satu suku asli Banyuwangi yang diyakini berasal dari Blambangan yang tersebar di wilayah tengah dan timur, antara lain Kec. Rogojampi, Glagah, dan Banyuwangi Kota. Desa Kemiren sendiri berada di Kecamatan Glagah. Orang Osing menyebut dirinya sebagai Wong Jawa Kulon. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menetapkan Suku Osing ini sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan budaya Suku Osing. Dari cerita Mas Edy, kami tahu bahwa Pemkab memang fully support. Setiap tahun ada 5 rumah yang diajukan untuk direnov bagian fasadnya menggunakan fasad rumah adat Osing.





Ada beberapa hal unik yang kami temui di sini, misalnya dalam hal bahasa. Suku Osing banyak menggunakan diftong “ai”, misalnya: kopi dibaca kopai, bengi jadi bengai. Tradisi lain yang unik adalah tumpeng sewu. Acara ini diadakan sekitar bulan Dzulhijah dengan tujuan untuk menolak bala. Makanan yang disajikan biasanya pecel pithik (ayam panggang yang dibumbui kelapa serut dan bumbu khas Osing). Satu lagi kebiasaan yang masih dilakukan warga Osing adalah nginang. Saya bertemu dengan salah satu penduduk yang usianya sudah sangat sepuh. Berdasarkan hitung-hitungan, usianya lebih dari 90 tahun tapi masih sangat bugar. Pendengaran dan penglihatannya masih baik, juga ingatannya. Namanya Mbah Umi. Menurut keterangan dari beberapa warga, Mbah Umi ini sekarang yang paling sepuh. Sebelumnya ada warga yang paling sepuh meninggal di usia 125 tahun!


Sebagian besar warga Desa Kemiren bermata pencarian sebagai petani. Jadi ketika kami datang desanya relatif sepi. Di Desa Osing kami berkunjung ke rumah Ibu Nur. Ini sudah menjadi tradisi, jika ada pengunjung ke desa Kemiren akan diterima di rumah salah satu warga. Rumah warga Osing punya kekhasan sendiri. Bangunannya terdiri atas 3 bagian: depan (teras), tengah (tempat menerima tamu), bagian dalam untuk kegiatan keluarga (ruang tidur) dan dapur. Setiap bagian dibatasi dinding.
Di rumah Bu Nur, kami dijamu dengan penganan khas Osing: kerupuk sego (kerupuk nasi, gendar), keripik pisang, dan secangkir kopai. Nah, di sinilah saya usaha keras banget supaya enggak ngabisin itu kerupuk sego sampai tandas, rasanya enak banget hahaha.



 


Osing ini punya baju khas, kalau yang cowok pakai baju pangsi warna hitam dan dilengkapi udeng (sejenis ikat kepala), sementara yang wanita mengenakan kain dan kebaya hitam model kutu baru. Mas Edy membawakan kami baju itu untuk kami coba kenakan. Untungnya pas. Nah, waktu mau buat foto pencitraan mukul lesung (dulu sih beneran dipakai buat numbuk beras atau membuat tepung, sekarang digunakan untuk bagian dari hiburan musik lesung), eh ibu-ibu yang lagi pada ngobrol malah ikutan pegang lesung, jadilah kami bareng-bareng mukul lesung. Nah, kalau yang ibu-ibu sih pakemnya bener, kalau saya jelas buat kacau hahaha.






Setelah ngobrol-ngobrol dengan warga, kami pamit menuju ke pengolahan kopi Jaran Goyang. 
Di sini saya menikmati sajian ketiga kopi khas Banyuwangi. Berhubung hari sangat panas, maka pilihan cold brew rasanya sangat tepat. Sambil ngobrol, kami jadi tahu bahwa UMKM sangat disupport oleh pemerintah daerah. Contohnya dalam hal pembuatan logo dan desain kemasan, Pengolahan kopi ini disupport dalam membuat desain kemasannya. Kami melihat perubahan kemasan kopi Jaran Goyang dari masa ke masa.


Ada tiga jenis kopi di sini: arabika, arabika lanang, dan robusta. Untuk oleh-oleh saya membeli kopi arabika. 
Eniwei, cukup lama kami duduk di Kemiren. Menyenangkan lama-lama di sini. Rasanya damai. Terima kasih, Mas Edy yang sudah antar kami ke sini.

Dari Kemiren kami cari makan, diajak makan rujak soto. Jujur awalnya saya worry banget dengar namanya rujak soto. Kayak apaan coba. Rupanya, ini sejenis pecel/lotek pakai petis lalu disiram dengan kuah soto ayam. Rasanya, lumayan sedap, bumbu kacangnya jadi berkuah dan gurih. Titan sih nyaris abis makan ini hahaha.


Setelah makan kami ke Muncar, pengen beli ikan asin. Pelabuhan Muncar ini adalah salah satu pelabuhan nelayan. Di sini tersedia ikan asin dan ikan segar. Saya beli ikan asin jambal, rebon dan teri. Harganya wahh bikin ngiler. Ikan asin jambal di sini harganya cuman 60K sekilo. Coba kalau beli di Bandung hihihi.



Dari Muncar kami diantar kembali ke penginapan untuk istirahat. Malam nanti kami akan naik ke Ijen. Jadi, berupaya banget buat tidur supaya enggak ngantuk nanti malam.

Still to be continued ...

#exploringindonesia #exploringbanyuwangi #wonderfulindonesia #iloveindonesia #momandson #holiday #ilovetravel