Loosing someone when you thought you have found one is not easy at all, especially without explanation.
Friday, 11 January 2019
Tuesday, 1 January 2019
EXPLORING BANYUWANGI LAST PART
...
Awal pendakian masih belum terasa, jalurnya masih agak
landai. Nah, begitu lewat 500 meter mulailah tanjakan menggila. Kata pemandu
sebelah tanjakan ini sekitar 450 ! Titan mulai mogok, setiap
beberapa meter terpaksa kami berhenti. Sempat ngambek karena perutnya sakit,
agaknya masuk angin. Untunglah saya bawa peppermint oil, jadi perut, punggung,
dada dan leher saya olesi supaya hangat. Alhamdulillah berhasil. Tanjakan demi
tanjakan, belokan demi belokan enggak ada habisnya. Para penambang yang
berprofesi ganda sebagai porter gerobak buat angkut penumpang ke puncak mulai
sibuk membawa beberapa pendaki yang enggak sanggup naik. Gerobak ini
dimodifikasi dikasih jok dan rem motor di pegangannya. Saat naik, salah satu
penambang menarik gerobak dengan mengikatkan tali di tubuhnya. Sementara 1-2
orang lain mendorong dari belakang. Satu gerobak bisa muat 2 orang dewasa. Trip
naik dan turun kalau pakai gerobak tarifnya 800k.
Titan sempat pengen naik, tapi melihat seramnya tanjakan (apalagi turunan) kami mendingan jalan kaki pelan-pelan aja. Udah gitu rasanya juga enggak tega lihat yang narik. Selangkah demi selangkah ditambah dengan bujukan, rayuan, dan ancaman berhasil membawa Titan hingga puncak. Sempat dia mengancam mau turun lagi, saya bilang silahkan turun sendiri karena ibu mau naik sampe atas hahaha. Sorry ya, Tan. Enggak mungkin Ibu tinggalin kamu. Senangnya dia waktu akhirnya pukul 4 pagi kami sampai puncak. 2.5 jam buat anak yang baru kali ini naik gunung definitely not bad at all. You did a great job, Tan. I am so proud of you!!
Credit: Thanks to Kiki yang udah merelakan liburnya buat nemenin kami muter-muter di Banyuwangi. You are so lucky having such a beautiful home town.
Day#4-Day#5
Pukul 22 kami dijemput. Perlengkapan perang sudah disiapkan,
kami siap berangkat. Jalanan sepi, berkelok dan menanjak. Makin ke atas makin
terasa dingin. Satu jam perjalanan, menjelang tengah malam kami sudah tiba di
parkiran menuju jalur pendakian. Sambil menunggu gerbang dibuka kami duduk di
mobil. Titan sih merem sejak berangkat. Pukul 1 pagi gerbang pendakian sudah
dibuka. Setelah antri tiket dan toilet kami siap berangkat. Titan sudah
dibungkus kayak lemper: jaket tebal, kupluk, syal, sarung tangan kumplit. Saya
sendiri mengenakan 2 jaket tipis, salah satunya wind breaker.
Titan sempat pengen naik, tapi melihat seramnya tanjakan (apalagi turunan) kami mendingan jalan kaki pelan-pelan aja. Udah gitu rasanya juga enggak tega lihat yang narik. Selangkah demi selangkah ditambah dengan bujukan, rayuan, dan ancaman berhasil membawa Titan hingga puncak. Sempat dia mengancam mau turun lagi, saya bilang silahkan turun sendiri karena ibu mau naik sampe atas hahaha. Sorry ya, Tan. Enggak mungkin Ibu tinggalin kamu. Senangnya dia waktu akhirnya pukul 4 pagi kami sampai puncak. 2.5 jam buat anak yang baru kali ini naik gunung definitely not bad at all. You did a great job, Tan. I am so proud of you!!
Di shelter angin berhembus dari segala arah. Dinginnya enggak karuan. Udah segala cara ditempuh sampai akhirnya kami berpelukan sambil selimutan pakai syal. Tetap saja kedinginan. Pukul 5 matahari masih belum muncul. Well, kami enggak berhasil melihat blue fire, tapi enggak apa-apa. We made it here. Pagi ini mendung. Hingga pukul 6 pagi, mentari enggak juga muncul sementara gerimis mulai turun. Kabut di sekitar kawah cukup tebal sehingga kawah juga enggak keliatan. Akhirnya kami putuskan untuk turun saja.
Perjalanan turun lebih ringan tapi melelahkan karena turun enggak ada akhir. Lutut rasanya sakit juga menahan bobot tubuh saat berjalan turun. Jalanan baru kelihatan, jadi baru tahu kalau semalam jalurnya lumayan nanjak hahahaha. Di perjalanan turun dekat pos bundar, ada yang jualan souvenir dari belerang. Kami yang enggak sempat lihat blue fire akhirnya membeli sebongkah kecil mineral belerang untuk dibakar di rumah. Pengen lihat kayak apa sih hahahaha.
Enggak banyak bisa foto-foto karena saya lebih konsen turun
sambil menuntun Titan. Alhamdulillah pukul 7 pagi kami tiba di awal jalur
pendakian. Not bad at all, kami tiba tanpa cedera apapun. Kami langsung turun
ke Banyuwangi.
Tiba di Banyuwangi perut sudah lapar enggak karuan. Kami
diajak makan sego tembong Mbok Wah. Agaknya baru buka, karena lauk yang
tersedia baru telur dadar dan ikan goreng. Sego tempong ini sejenis sego sambal
di Surabaya. Bedanya, sego tempong berisi nasi hangat, lalapan berupa kangkung,
bayam dan kol rebus, disiram sambal tomat yang rasanya pedas segar, dilengkapi
potongan tempe goreng dan ketimun. Saya menambahkan dadar telur. Rasanya?
Jangan ditanya, piring kami licin tandas. Enak bener. Titan sekalipun tanpa
sambal juga makan hingga tandas. Dia bilang, love it!
Abis makan kami kembali ke penginapan untuk mandi dan
bersiap ke Baluran. Jam 11 siang kami berangkat sambil cari masjid buat
Jumatan. Sebelumnya kami sewa kamera dulu. Ya, ini keren, enggak perlu
bawa-bawa DSLR, sewa saja. Harganya juga masih masuk akal. Saya sewa canon EOS
1300d dengan lensa kit dan baterai cadangan serta memory card hanya 80K untuk
12 jam. Ada beberapa tempat sewa kamera di Banyuwangi. Tinggal pilih mau jenis
kamera apa.
Setelah Jumatan kami menuju Baluran ke arah Situbondo. Nah,
kalau kemarin banyak kebun buah naga dan jeruk. Kali ini banyak kebun cabe
rawit. Kalau melihat makanan sini yang serba pedas, cabe rawit enggak dipungkiri
adalah komoditas penting. Pukul 14 kami tiba di Baluran. Di sini fauna yang
banyak ditemukan adalah banteng, rusa, monyet abu-abu, dan merak. Kami sempat
melihat merak dan ayam hutan saat menuju savana. Hutan di sini lebih
“berantakan” dibandingkan dengan Alas Purwo. Tapi di sini terdapat savanna yang
luas dan luar biasa cantik. Jadi, setelah bayar tiket masuk seharga 5K per
orang, kami berhenti di Savana Bekol. Padang rumput yang luas ini banyak dihuni
rusa dan banteng. Kami hanya sempat bertemu sekelompok rusa yang melintas
padang rumput. Sementara habitan bandelnya adalah monyet abu-abu yang gesit
sekali mengejar makanan dari pengunjung yang lengah.
Pemandangan di Bekol ini luar biasa cantik, seperti Afrika. Ah, berasa jadi petualang jalan-jalan di sini. Kami puas-puaskan berkeliling sambil menikmati pemandangan dan tentu foto-foto dong.
Kami juga singgah di Pantai Bama. Pantai ini sangat terlindung, agak tertutup hutan bakau, memiliki pasir putih yang lembut dan ombak yang tenang. Cocok buat santai keluarga. Anak-anak bisa berenang dengan santai.
Enggak lama kami di Bama kami segera keluar menuju Rumah Apung Bangsring. Rumah Apung Bangsring adalah salah satu kawasan kincar makanan milik pengunjung.onservasi
yang dikelola oleh Bangsring Underwater. Di sini pengunjung selain wisata juga
bisa mendapatkan tambahan pengetahuan. Fasilitasnya sudah lumayan lengkap mulai
dari homestay sampai tempat makan. Aktivitas yang bisa dipilih juga lumayan:
diving, snorkeling, berenang, naik banana boat atau sekedar jalan-jalan di
pasir yang halus. Untuk sampai ke rumah apung harus naik perahu dari dermaga.
Tiketnya seharga 7K untuk pulang pergi. Sebenarnya jaraknya gak terlalu jauh,
kalau mau bisa ditempuh sambil berenang koq. Di rumah apung kita bisa lihat
kajapung yang berisi baby shark, kerapu, juga beragam ikan hias lainnya.
Titan
senang sekali dan mulai merengek ingin berenang. Sayangnya memang karena kuping
saya masih sakit dan banyak yang ingin dikunjungi, aktivitas air saya hilangkan
dari itinerary. Gara-gara itu Titan protes berat dan enggak mau keluar dermaga.
Eh, dilalah ada tukang perahu yang menawarkan putar-putar dengan boat untuk
harga 25K. Saya setujui saja. Dan dia bawa kami pakai boat buat ngebut2, Titan
mah kesenengan tiada tara dibawa mutar mutar sambil slalom. Finally he agree to
leave. Sudah menjelang malam anakku sayang, we should leave back to town dan
masih harus ambil laundry (saya ditawari laundry express, lumayan ngurangin
cucian bau hahaha), balikin kamera, baru balik ke penginapan. This is
definitely long day. We are beat. Rasanya udah enggak kepengen makan. Pengen
segera tidur.
Day #6
This is the last day di Banyuwangi. Setelah semalam tidur
seperti orang pingsan, pagi-pagi saya mulai packing ulang. Semalam coba packing
tapi rasanya masih berantakan. Seperti biasa, pakaian kotor susah diatur
sehingga koper jadi gendut. Sarapan pagi saya menghabiskan manga dan buah naga
yang dibeli waktu jalan-jalan. Lumayan juga ngenyangin buat nunggu brunch sego
tempong (lagi).
Pukul 10 kami dijemput. Selesai check out kami menuju Sego
Tempong Mbok Wah. Nah, karena sudah agak siang, lauknya sudah lebih banyak.
Jadi saya memilih tambahan ikan goreng dan paru goreng. 4 Porsi sego tempong
dengan tambahan lauk plus minum hanya 120K. Kenyang? Banget!!
Dari situ mampir ke Sun Osing, ini salah satu toko oleh-oleh
yang jual aneka oleh-oleh khas Banyuwangi, Jember dan sekitarnya. Selain
makanan khas seperti bageak (ini kayak kue jahe), bolu kelemben, juga kopi,
Banyuwangi memiliki batik dengan beberapa motif khas, seperti gajah oling dan
kopi pecah (ini motif kain yang saya kenakan di Kemiren). Saya naksir motif
kopi pecah yang warna hitam, sayang enggak saya temukan kainnya, jadi saya beli
yang gajah oling aja.
Habis dari Sun Osing saya minta diantar kembali ke Stasiun
Karangasem, belum sempat motret dalamnya. Sebentar dari situ kami mampir ke
Savana Cake. Ini toko oleh-oleh juga. Makanan khasnya adalah savanna cake,
banana cake yang diberi toping. Nama-nama kuenya disesuaikan dengan topingnya
mengadopsi keindahan Banyuwangi: Wedi Ireng (cokelat), Blue Fire (peppermint),
Java Sunrise (keju), Green Bay (green tea), Red Island (strawberi). Pemiliknya
seorang penyanyi dangdut kelahiran Banyuwangi, Fitri Carlina. Rasanya lumayan
karena memang saya suka banana cake, walau buat saya ini agak kemanisan.
Kami juga sempat mampir ke Kalilo. Ini sebenarnya bantaran sungai yang dipercantik. Rumah-rumah yang berada di sepanjang sungai dicat warna warni. Sungainya juga relatif bersih. Enggak sebesar yang di Malang, tapi ini cukup menarik dilihat sih.
Finally kami diantar ke Bandara. Di sini saya agak kesal.
Pertama karena mineral belerang yang sekuprit itu disita di bandara. Gak boleh
dibawa terbang. Yang bikin saya kesel bukan disitanya (ya sudahlah kalau itu
aturan), tapi cara petugas yang arogan saat mau bongkar koper. Kedua, bandara
ini keren, sayangnya petunjuknya kurang jelas. Saya baru kali ini masuk bandara
yang ketika mau shalat harus mutar ke luar gedung lagi. Mushalla tidak terletak
di ruang tunggu, tapi berada agak ke bawah di sebelah bangunan utama.
Mushalanya juga kurang nyaman. Too bad, padahal bandaranya bagus menurut saya.
Tapi sudahlah, kota ini masih bebenah.
Overall pengalaman kami di sini selama 6
hari menyenangkan. Akses ke lokasi wisata bagus dan mulus, destinasinya cukup
lengkap (tinggal ditambah dengan akomodasi makanan yang memadai pasti akan
lebih asik), orang-orangnya ramah, dan harganya enggak bikin jantungan.
It’s been the best week ever. Kami lelah sekali tapi
perasaan sangat senang. Banyuwangi definitely recommended place to visit.
THE END
Credit: Thanks to Kiki yang udah merelakan liburnya buat nemenin kami muter-muter di Banyuwangi. You are so lucky having such a beautiful home town.
Little recommendation
Kalau mau mengunjungi Desa Kemiren bisa hubungi Mas Eday alias
Mas Edy di IG @kangedai. Kalau mau cari mobil buat jalan-jalan muter-muter
Banyuwangi dan sekitarnya bisa hubungi Pak Bowo di IG @suhartantowibowo. Untuk penginapan dan tiket saya booking online. Bisa buka beberapa situs booking kalau mau bandingin harganya. Saran: kalau mau jalan-jalan, rencanakan agak jauh biar bisa dapat harga penginapan atau tiket yang agak miring. Saya biasanya booking paling enggak 2 bulan sebelumnya.
Footage
#exploringindonesia
#exploringbanyuwangi #wonderfulindonesia #iloveindonesia #momandson #holiday
#ilovetravel
EXPLORING BANYUWANGI Part II
...

Day#3
Hari ini kami sarapan nasi goreng. Its gonna be a long day.
Kami mau menuju Alas Purwo. Sebelum ke sana kami beli makanan untuk makan
siang. Pengalaman kemarin cari makan yang proper di tempat wisata agak sulit,
jadi lebih baik bawa makanan. Kami beli makanan di warung nasi yang pagi itu
sudah buka dengan makanan yang sudah lengkap. Nasi, perkedel ikan (ini ikan
kecil-kecil disalut tepung lalu dibentuk kepalan dan digoreng kering), perkedel
jagung dan kentang, cumi dimasak pedas, pepes tuna hanya seharga 67k! Saya
sampe nanya 2x memastikan kuping saya enggak salah dengar. Wah, ini duit segitu
bisa buat makan 4-5 orang!
Oke, lanjut. Perjalanan ke TN Alas Purwo sangat lancar.
Jalanan mulus lusss, dengan pemandangan cantik antara kebun buah naga, jeruk,
dan hutan jati sangat memanjakan mata. Hanya satu saja yang rada masalah: susah
sinyal. Pokoknya begitu meninggalkan area kota, sinyal mulai timbul tenggelam.
Untuk menghemat baterai ponsel selalu saya set flight mode. Kalau enggak boros
banget, mending buat foto-foto aja.
Jalanan ke Alas Purwo sepi
banget. Saking sepinya bisa foto2 di tengah jalan hahaha. Pemandangan
indah di sepanjang jalan bikin kami sering berhenti hanya untuk memandang atau
foto-foto. Sekitar 1.5 jam perjalanan
akhirnya kami tiba di gerbang masuk Taman Nasional Alas Purwo (Alas means
hutan, Purwo means old). Tiket masuk ke TN Alas Purwo hanya 5k/orang dan tiket
masuk mobil 10k. Area seluas 40 ribuan hektar ini adalah habitat utama Banteng,
monyet abu-abu, merak, juga rusa. Pantainya menjadi area bertelur bagi beberapa
jenis penyu: penyu hijau, penyu abu-abu, penyu belimbing, dan penyu sisik. Sekitar
80 ekor banteng pernah ditemukan ada di area ini. Banteng-banteng ini biasanya
berkumpul di Savana Sadengan pada pagi dan sore hari untuk makan. Jadi, hari
ini perhentian pertama kami adalah Sadengan.
Saat tiba di sana kami melihat
sekelompok banteng sedang merumput. Berdasarkan keterangan dari petugas, hari
ini kami cukup beruntung karena dua hari terakhir ini enggak ada satu ekor
bantengpun yang datang ke Sadengan. Senangnya memandangi banteng di savanna
yang lumayan luas ini. Pengunjung hanya boleh memandang dari balik pagar
pembatas atau dari atas menara pandang. Sadengan cukup luas langsung berbatasan
dengan hutan. Selain banteng di Sadengan kami juga melihat rusa serta beberapa
ekor merak. Nah, tepat tanggal 27 Desember TN Alas Purwo mengadakan acara
pelepasliaran merak ke alam bebas. Eniwei,
fasilitas di TN Alas Purwo ini lumayan lengkap dan terjaga. Toilet relative
mudah ditemukan dan bersih (kecuali yang ada di bangunan baru yang belum sempat
digunakan di dekat gerbang masuk, enggak recommended banget).
![]() |
Sadengan Panoramic |
Puas memandangi Sadengan yang cantik, kami menuju Pantai
Pancur. Konon pantai ini dapat nama dari sungai air tawar yang ada di dekat
pantai. Menurut cerita mata air ini dulu sering dikunjungi Presiden pertama RI.
Dari Pantai Pancur kami trekking ke Gua Istana. Kalau lihat petunjuk jaraknya
sekitar 1.7K. Tapi dari GPS ternyata sekitar 1.95K. Jalur selebar sekitar 2m menuju
ke sana cukup baik dan enak dilalui. Hanya beberapa tempat yang agak tergenang
air (mengingat hujan turun selama 2 hari berturut-turut). Jalurnya juga cukup
landai, hanya nanjak tipis sehingga enggak sulit dilalui. Titan sempat
ngomel-ngomel tapi akhirnya dia berhasil juga. Ini latihan buat ke Ijen besok,
Tan.
Menjelang mulut gua kami dikejutkan oleh beberapa ekor
monyet abu-abu yang mendesis-desis ingin menyerang. Kami langsung melangkah
mundur, seram. Beberapa bapak penebang kayu memberi kami potongan bamboo untuk
mengusir dan kasih tahu kalau mereka mengincar makanan. Ternyata saya menyimpan
potato chips di saku samping tas, dan mereka berusaha merebut itu. Menyebalkan.
Saya pindahkan itu potato chips dan problem solved. Tongkat tambahan kami
gunakan sebagai senjata pengusir. Banyak monyet abu-abu di mulut gua Istana dan
jujur aja menakutkan lihat gigi mereka yang kecil-kecil itu. Kami enggak
lama-lama di Gua Istana. Di dalam ada beberapa pengembara yang tidur. Katanya
sih ini salah satu dari 3 gua di daerah Alas Purwo yang sering didatangi orang
yang mau mencari wangsit.
Perjalanan pulang ke Pantai Pancur relatif lebih mudah
karena jalannya lebih turun. Jadi kami jalan cukup cepat sampai dikomentari
rombongan pengunjung lokal yang kami lewati di perjalanan. Tiba di parkiran
kami langsung makan. Makan siang yang kami beli tadi pagi rasanya cukup enak
dan ternyata berlebih banget.
Dari Pantai Pancur sebenarnya kami bisa menuju G Land alias
Pantai Plengkung. Sayangnya ke sana enggak boleh pakai kendaraan sendiri, harus
sewa trooper seharga 250k atau jalan kaki sejauh 7.5K. Plengkung adalah salah
satu pantai dengan ombak terbaik dunia yang banyak digunakan untuk selancar.
Kami enggak ke Plengkung karena ternyata di Alas Purwo ada penangkaran Penyu,
tepatnya di Ngagelan. Ini lebih menarik. Jadi, selesai makan siang kami menuju
Ngagelan. Letaknya seitar 5K dari arah gerbang masuk TN Alas Purwo. Kalau dari
arah Pantai Pancur kami belok kiri masuk hutan sejauh 5K. Jalur masuknya
relatif besar, cukup untuk 1 mobil dan motor. Jalan ke sana relatif sepi (siapa
juga yang mau keluyuran ke sini). Kami melalui jalan tanah yang dipadatkan,
jadi bukan jalur berbatu yang bikin badan sakit. Di kiri kanan jalan dinaungi
pohon-pohon besar yang bikin suasana jadi teduh. Cahaya matahari menerobos
celah-celah dedaunan membuat bagian perjalanan ini terasa magical.
Sampai di Ngangelan, kami langsung bertemu dengan penjaga
penangkaran. Di Pantai Ngangelan ini jadi lokasi bertelur 4 jenis penyu. Dari
data yang dikumpulkan penyu yang paling banyak bertelur dan paling banyak
survive adalah penyu abu-abu. Petugas penangkaran bercerita bahwa musim penyu
bertelur adalah sekitar bulan Juni dan Juli. Begitu musim penyu bertelur
petugas akan segera memindahkan telur-telur penyu ke tempat yang lebih aman
sebelum dijarah monyet, anjing, atau manusia. Setelah 45 hari telur akan
menetas menjadi tukik. Dari petugas juga kami jadi tahu bahwa penyu belimbing
tidak bisa dibiakkan di penangkaran.
Begitu jadi tukik harus segera dilepas ke laut bebas.
Kami diajak melihat kolam pemeliharaan tukik. Ada 9 ekor
tukik dan sekitar 20 butir telur penyu yang tersisa dari musim sebelumnya.
Sengaja disisakan supaya ada yang bisa ditunjukkan saat ada pengunjung ke sini.
Petugas menjelaskan bahwa jenis kelamin penyu baru bisa diketahui setelah
usianya mencapai dewasa, sekitar 15 tahun. Penyu yang ditetaskan di sini diberi
tagging, sehingga bisa diketahui pergerakannya, juga dikenali saat kembali
bertelur di tempat ia ditetaskan. Ah, senangnya dapat banyak ilmu. Titan enggak
berhenti nanya dan pak petugas menjelaskan dengan sabar. Semoga penyu-penyu ini
tetap bertahan dan populasinya enggak semakin berkurang. Jika melihat penjelasan
bahwa daya survivenya relatif rendah, sehingga populasi penyu sulit bertambah.
Puas di Ngangelan kami melanjutkan perjalanan ke hutan
mangrove Bedul. Lokasinya 7K dari Ngagelan melalui jalur dalam hutan yang tadi.
Jadi total kami menempuh 12K ke dalam hutan. Jalurnya masih sama hanya agak
sempit. Agaknya jalur ini jarang dilalui kendaraan, sepanjang jalan kami banyak
berhenti dan turun untuk menyingkirkan dahan-dahan yang agak besar karena
kuatir membentur bagian bawah mobil. Enggak terlalu lama kami sudah tiba di Pos
Penjagaan Hutan Mangrove Bedul. Guess what, rute kami terbalik! Hahahaha.
Mestinya kami masuk dari daratan di seberang, lewat pos
pembelian tiket lalu menyeberang pakai perahu ke sini. Tapi sudahlah enggak
apa-apa. Berhubung jalan memutar terlalu jauh, akhirnya kami putuskan bahwa
mobil akan menunggu di sini sementara kami menyeberang ke hutan mangrove. Kami
menyeberang bersama beberapa orang yang menjajakan ikan pakai sepeda. Perahu
yang kami tumpangi sebenarnya 2 perahu yang digabungkan. Tarif penyeberangan
7.5k pulang pergi per orang. Sepanjang jalan kami mendengarkan obrolan para
bapak dengan yang mengemudikan perahu sekalipun saya hanya mengerti satu dua
patah kata saja. But, its peacefull. Suasananya hening sekali. Hanya suara
mesin perahu menimpali obrolan mereka. Hutan mangrove Bedul ini masih termasuk
kawasan TN Alas Purwo, tepatnya di antara Plengkung dan Grajagan. Bagian
daratannya berbatasan dengan wilayah permukiman penduduk. Sepanjang kami jalan
kaki banyak terlihat kepiting bakau dan ikan yang hidup di daerah lumpur (katanya
ikan yang punya “kaki” ini disebut ikan bedul, itu sebabnya hutan mangrove ini
namanya Hutan Mangrove Blok Bedul). Area hutan ini seluas sekitar 2300 ha,
membentang sejauh sekitar 16K. Selama di sana saya banyak melihat burung
bangau, dan memang burung bangau adalah salah satu jenis burung yang menghuni
wilayah ini. Hewan lain yang bisa ditemui di sini antara lain biawak, monyet,
elang laut, dan belibis.
Lepas dari sana kami kembali menempuh jalur hutan tadi untuk
kembali ke Banyuwangi. Rencananya kami akan mengunjugi Desa Kemiren. Tapi
sampai sana hari sudah gelap, jadi kami mampir di warung kemangi menikmati
aneka jajanan khas Banyuwangi: serabi, kue kelemben (yang bentuknya kayak
kura-kura), kue cucur yang masih hangat, gedang (pisang) goreng ditemani
secangkir kopi khas Banyuwangi. Kami juga ngobrol-ngobrol sama Mas Edy, Ketua
Pokdarwis Desa Kemiren. Kami janjian besok akan ke sini lagi melihat rumah adat
Osing. Dari Kemiren kami makan soto Surabaya yang sedap banget. Setelah kenyang
kami kembali ke penginapan.
Day #4
Hari ini agak santai, hanya akan ke Desa Kemiren trus beli
oleh-oleh ke Muncar. Jam 8 pagi kami udah nongkrong di Kantor Desa Kemiren
janjian sama Mas Edy. Kami langsung ke menuju rumah adat Osing. Suku Osing atau
Using ini adalah salah satu suku asli Banyuwangi yang diyakini berasal dari
Blambangan yang tersebar di wilayah tengah dan timur, antara lain Kec.
Rogojampi, Glagah, dan Banyuwangi Kota. Desa Kemiren sendiri berada di Kecamatan
Glagah. Orang Osing menyebut dirinya sebagai Wong Jawa Kulon. Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi menetapkan Suku Osing ini sebagai desa adat yang harus
tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan budaya Suku Osing. Dari cerita Mas
Edy, kami tahu bahwa Pemkab memang fully support. Setiap tahun ada 5 rumah yang
diajukan untuk direnov bagian fasadnya menggunakan fasad rumah adat Osing.
Ada beberapa hal unik yang kami temui di sini, misalnya
dalam hal bahasa. Suku Osing banyak menggunakan diftong “ai”, misalnya: kopi
dibaca kopai, bengi jadi bengai. Tradisi lain yang unik adalah tumpeng sewu.
Acara ini diadakan sekitar bulan Dzulhijah dengan tujuan untuk menolak bala.
Makanan yang disajikan biasanya pecel pithik (ayam panggang yang dibumbui
kelapa serut dan bumbu khas Osing). Satu lagi kebiasaan yang masih dilakukan
warga Osing adalah nginang. Saya bertemu dengan salah satu penduduk yang
usianya sudah sangat sepuh. Berdasarkan hitung-hitungan, usianya lebih dari 90
tahun tapi masih sangat bugar. Pendengaran dan penglihatannya masih baik, juga
ingatannya. Namanya Mbah Umi. Menurut keterangan dari beberapa warga, Mbah Umi
ini sekarang yang paling sepuh. Sebelumnya ada warga yang paling sepuh
meninggal di usia 125 tahun!
Sebagian besar warga Desa Kemiren bermata pencarian sebagai
petani. Jadi ketika kami datang desanya relatif sepi. Di Desa Osing kami
berkunjung ke rumah Ibu Nur. Ini sudah menjadi tradisi, jika ada pengunjung ke
desa Kemiren akan diterima di rumah salah satu warga. Rumah warga Osing punya
kekhasan sendiri. Bangunannya terdiri atas 3 bagian: depan (teras), tengah
(tempat menerima tamu), bagian dalam untuk kegiatan keluarga (ruang tidur) dan
dapur. Setiap bagian dibatasi dinding.
Di rumah Bu Nur, kami dijamu dengan penganan khas Osing:
kerupuk sego (kerupuk nasi, gendar), keripik pisang, dan secangkir kopai. Nah, di
sinilah saya usaha keras banget supaya enggak ngabisin itu kerupuk sego sampai
tandas, rasanya enak banget hahaha.

Osing ini punya baju khas, kalau yang cowok pakai baju
pangsi warna hitam dan dilengkapi udeng (sejenis ikat kepala), sementara yang
wanita mengenakan kain dan kebaya hitam model kutu baru. Mas Edy membawakan
kami baju itu untuk kami coba kenakan. Untungnya pas. Nah, waktu mau buat foto
pencitraan mukul lesung (dulu sih beneran dipakai buat numbuk beras atau
membuat tepung, sekarang digunakan untuk bagian dari hiburan musik lesung), eh
ibu-ibu yang lagi pada ngobrol malah ikutan pegang lesung, jadilah kami
bareng-bareng mukul lesung. Nah, kalau yang ibu-ibu sih pakemnya bener, kalau
saya jelas buat kacau hahaha.
Setelah ngobrol-ngobrol dengan warga, kami pamit menuju ke pengolahan kopi Jaran Goyang.
Di sini saya menikmati sajian ketiga kopi khas Banyuwangi. Berhubung hari sangat panas, maka pilihan cold brew rasanya sangat tepat. Sambil ngobrol, kami jadi tahu bahwa UMKM sangat disupport oleh pemerintah daerah. Contohnya dalam hal pembuatan logo dan desain kemasan, Pengolahan kopi ini disupport dalam membuat desain kemasannya. Kami melihat perubahan kemasan kopi Jaran Goyang dari masa ke masa.
Ada tiga jenis kopi di sini: arabika, arabika lanang, dan robusta. Untuk oleh-oleh saya membeli kopi arabika.
Eniwei, cukup lama kami duduk di Kemiren. Menyenangkan lama-lama di sini. Rasanya damai. Terima kasih, Mas Edy yang sudah
antar kami ke sini.
Dari Kemiren kami cari makan, diajak makan rujak soto. Jujur
awalnya saya worry banget dengar namanya rujak soto. Kayak apaan coba. Rupanya,
ini sejenis pecel/lotek pakai petis lalu disiram dengan kuah soto ayam.
Rasanya, lumayan sedap, bumbu kacangnya jadi berkuah dan gurih. Titan sih
nyaris abis makan ini hahaha.
Setelah makan kami ke Muncar, pengen beli ikan asin.
Pelabuhan Muncar ini adalah salah satu pelabuhan nelayan. Di sini tersedia ikan
asin dan ikan segar. Saya beli ikan asin jambal, rebon dan teri. Harganya wahh
bikin ngiler. Ikan asin jambal di sini harganya cuman 60K sekilo. Coba kalau
beli di Bandung hihihi.
Dari Muncar kami diantar kembali ke penginapan untuk
istirahat. Malam nanti kami akan naik ke Ijen. Jadi, berupaya banget buat tidur
supaya enggak ngantuk nanti malam.
Still to be continued ...
#exploringindonesia
#exploringbanyuwangi #wonderfulindonesia #iloveindonesia #momandson #holiday
#ilovetravel
Subscribe to:
Posts (Atom)