Monday, 31 August 2020

I92 Trekker goes to Pasir Impun: Menjemput Matahari yang Kesiangan

 

Bulan Agustus ini tadinya kami mau jalan ke Gunung Putri. Tapi melihat animo orang-orang yang mendadak pada cari outdoor space sehingga lokasi camping pun seperti pasar malam, akhirnya kami batalkan niat tersebut. Sebagai gantinya akhirnnya kami memutuskan pergi ke Bandung Timur. Kali ini perjalanan bertujuan untuk memandang sunrise dari sunrise point Pasir Impun.

Selama ini saya sering dengar nama tempat ini, Pasir Impun. Tapi sepanjang usia saya baru 1-2x saya ke sini saat harus mencari sekolah buat Titan saat kami mesti pindah ke Bandung. Qadarullah, sekolah yang dituju kelamaan kasih jawaban eh kami malah dapat rumah dan sekolah di utara.

Kembali ke Pasir Impun. Setelah berdiskusi, akhirnya diputuskan minggu subuh menjelang Shalat Subuh kami kumpul di Masjid Al Amman di Bandung City View 2, di tempat salah satu rekan trekking.

Pukul 4 pagi saya dan Titan berangkat dari rumah, modal cuci muka dan sikat gigi doang. Jalanan masih sepi, sehingga gak sampe 20 menit kami sudah tiba daaaan celingukan! No body here! Untunglah enggak lama kakak Sepupunya Kendhee tiba, disusul Kendhee dan Tarto dan pas Azan berkumandang satu demi satu pada muncul juga.

Abisan shalat subuh, kami bergerak ke arah Taman Melati, buat cari parkir yang lebih dekat (dikit) ke lokasi. Setelah muterin gerbang, ternyata enggak ada tempat parkir, akhirnya kami parkir di Indomaret Taman Melati. Lalu, mulailah kami jalan.


Rute jalan kami memang lebih banyak di jalan raya, walhasil, di pagi yang masih gelap itu, baru 2 menit jalan kami sudah nemu tukang gorengan! Ya salaam, si Titan mukanya langsung memelas nelongso minta gorengan. Dan Tarto dengan cekatan membungkus gak tanggung-tanggung DUA KERESEK GORENGAN! Alamakjaaaan.



Baiklah, mari kita lanjutkan. Kasian Kendhee yang mau menuntaskan 10K celeng dari BuDirtek sementara saya dan Titan jalan lambat-lambat hahaha. Sekitar 10 menit perjalanan, terlihat tukang surabi yang lagi manggang surabi, ya salaam. Godaan lagi ini mah. Lokasi jualannya keren, mengarah ke lembah, jadi sambil menikmati surabi panas bisa sambil memandang sang mentari yang mulai menampilan semburat oranyenya. Kami, tentunya berhenti sambil sedikit foto-foto sambil beli surabi oncom yang baru ada 4 biji. Baiklah, ayo jalan lagi!






Jalanan nanjak terus nyaris enggak ada datar-datarnya. Si Titan mulai ngambek. Udah beberapa kali ngancam mau balik ke titik awal (jalannya memang relatif mudah dihafalin sih), untungnya disemangatin sama semua, akhirnya sambil manyun dia naik pelan-pelan.



Sunrise point pertama adalah setelah tukang surabi, tepatnya di atap bangunan rumah yang belum jadi entah milik siapa hahaha. Ini rumah bakal punya view mewah banget mengingat pemandangan di sekitarnya sungguh luar biasa. Pas banget kalau dibikin rooftop cafe. Persis di seberangnya ada batu gede banget yang dikelilingi akar pohon







Menjelang Curug Batu Templek kami belok memotong jalur menuju sunrise point kedua. Jalur selebar 1 meteran dan diapit rumah penduduk di kiri kanan ini nanjak gila. Rasanya paru-paru saya mau meledak pas sampe atas itu. Tapi memang begitu sampe atas mata langsung dimanjakan dengan pemandangan cantik. Sawah yang menghampar disinari cahaya sang fajar yang bersinar cerah. Such a perfect morning.














Eniwei, penduduk sini jagoan pisan. Di jalan menanjak gila begitu mereka cuek aja tuh mengendarai sepeda motor, saya mbayanginnya aja ngilu euy.

 




Abis duduk-duduk di saung (ini sih kayaknya pos ronda) yang berada persis di ujung tanjakan dan di tepi sawah, kami lanjut jalan lagi menuju sunrise point berikutnya. Jalanan masih menanjak gila tapi berselang seling antara rumpun-rumpun bamboo, rumah penduduk, dan semak-semak berbunga kuning (saya suka banget bunga kuning satu ini, its georgeous, just like sunrise.


Sekitar 2,5 jam akhirnya kami tiba di lokasi istirahat, di kebun cengkeh punya orang hahaha. Lokasinya enak, lega, datar dan teduh. Langsung aja gelar2 flysheet dan masang hammock. Titan yang tadinya manyun jadi kesenengan liat hammock (ujung-ujungnya dia minta emaknya beliin hammock). Kami sih jalan lagi sedikit ke atas menuju sunrise point yang lain sekitaran 200m dari lokasi istirahat. Memang tempatnya indah, memandang lepas ke lembah sementara bukit yang mengelilinginya tampak berlapis-lapis. Sayangnya memang matahari sudah cukup tinggi, kalau enggak golden lightnya pasti cantik banget.

Ini lokasi tempat kita istirahat, tanah kebun cengkeh milik Pak Agus yang mau dijual. Kali ada yang mau beli hihihi.


Sunrise point yang sebenernya jadi tujuan kami pagi ini. Tapi karena kesiangan mataharinya udah tinggi.



Sambil balik ke lokasi istirahat kami ngobrol kemungkinan kita melakukan sesuatu buat penduduk di sini. Karena bukit yang sudah banyak digunduli dan berubah fungsi jadi kebun, maka sumber air juga jadi rusak. Di wilayah ini air bersih sulit diperoleh. Maybe we could do something, bukan hanya membantu supply air tapi juga mengedukasi warganya supaya lebih baik. Mudah-mudahan bisa direalisasikan.

Di lokasi istirahat Kendhee langsung bongkar amunisi. Dalam sekejap kompor dan minyak buat goreng singkong ungkep bumbu kunyit dan ketumbar sudah siap. Dan enggak lama singkong yang empuk dan luar biasa lezat sudah terhidang. Sementara menunggu, gorengan yang tadi ditenteng Tarto juga bisa disikat. Abis goreng singkong masih ada pula pisang tanduk goreng. Lezatnya seriussss. Pelengkapnya ada teh panas, ada air sereh dingin ada air putih. Nikmat mana lagi coba yang mau didustakan?


Sementara kami leyeh-leyeh nungguin Tarto goreng singkong batch sekian, Kendhee, Effie, Bang Herli, Arif pada turun ke bawah lihat penambangan batu. Titan sih udah keasikan nongkrong di hammock dia. Begitu balik pada cerita kalau di bawah tempat kita duduk-duduk itu ada penambangan batu yang dikerjakan dengan sangat tradisional. Buruh-buruh memecah batu dengan palu. Mereka bekerja dari pagi sampai sore dengan upah minim. Rasanya sedih ya, ini masih belum jauh dari kota tapi masih banyak kehidupan yang jauh di bawah standar. Mendengar begitu bikin jadi bersyukur bahwa saya dan teman-teman masih diberikan kehidupan yang baik. Hopefully we could do something untuk membantu mereka ya.


Jam 9 pagi, matahari sudah tinggi. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke tikum. Setelah beres-beres dan memastikan tidak ada sampah tertinggal kami jalan ke bawah. Titan di jalan turunan langsung aja ngibrit. Nah, karena merasa jalan di jalur jalan aspal saya meleng. Mau manggil Titan sambil meleng lihat pemandangan cantik di lembah sebelah kiri jalan kaki salah pijak. Daaan yang saya kuatirkan terulang, kaki saya terkilir. Rasanya mual banget saking sakitnya. Mana masih jauh pula.

Akhirnya terpaksa minggir dulu dan dibebat pakai plester besar punya Kendhee. Darurat yang penting nahan otot biar gak banyak terguncang. Sambil pincang-pincang saya jalan. Sorry guys, jadi sangat lambat tripnya.




Sekitaran 2K saya jalan, kaki makin ngilu. Rasanya berat sekali mau diangkat dan digerakkan. Untunglah akhirnya ketemu Hadi yang naik karena mau nyusul kita tapi kitanya keburu turun (jadi semapat selisihan jalan karena googlemap meleset titiknya), jadilah saya dievakuasi alias dibonceng motor sampai ke lokasi parkir mobil. Sampe mobil buka sepatu susah sampe pake dibantuin. Alhamdulillah enggak bengkak cuman enggak tahu kenapa rasanya ngilu sangat.


Setelah semuanya lengkap, kami balik ke masjid dan ngobrol-ngobrol sambil disuguhin yoghurt made in Cijambe dari Effie dan ambil titipan jeruk sunpride yang enak itu (saya abis 5 biji selama jalan-jalan hahaha, ini rakus apa doyan udah gak ada bedanya). Abis ngobrol-ngobrol karena Titan udah kelaparan akhirnya kami pulang. Sesuai rekomendasi buat penangkal lapar, walaupun kaki diseret seret kami mampir makan dulu di Bakso Padasuka (ini lupa enggak difoto, udah laper soalnya). Alhamdulillah setelah puas baru balik rumah.

Kalau menurut Garmin yang telat saya nyalain, perjalanan dari tempat parkir sampe tempat kami istirahat adalah 3,8K dengan elevasi 209m. Sementara menurut stravanya Kendhee ini berjarak 4.5K. Well, artinya bolak balik sekitaran 9K dengan elevasi lumayan buat bikin paru-paru kaum rebahan berasa beraat. Over all, not bad lah buat buang kalori di pagi hari hahaha.


Perjalanan ini walaupun rutenya banyak melewati jalan raya, rumah penduduk tapi asik. Siapa yang duga kalau di Bandung bagian Timur ada tempat secantik ini. Enggak jauh dari pusat kota, masih reachable, dan masih doable banget dalam kata lain masih mamah prenly banget lah. Kalau sudah begini lagi-lagi pasti saya bilang: no wonder kalau dibilang Tuhan menciptakan alam parahyangan ini sambil tersenyum. Yes, indeed.

Thanks buat geng Pasir Impuners yang bikin trip ini jadi asik. Thanks for Kendhee dan Tarto yang helpful dan chef yang baik. This trip kudu diremed nih, walau maybe nanti saya gojekan dulu yaa. 



2 comments:

  1. Reportasenya menarik sekali, bang Herli fikir membuat orang lain ingin juga trekking.
    Foto foto nya juga nice pic

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun. Mudah2an sih ini jadi membuat terutama keluarga dan anak muda kembali ke alam ya. Sehat lahir batin sekalian mana tahu bisa berbuat sesuatu buat komunitas.

      Delete